KeluargaOpiniPernikahan

Antre Cerai Kala Pandemi

Oleh: Ragil Rahayu, S.E.

MuslimahNews.com, OPINI – Pandemi Covid-19 di Indonesia telah berlangsung selama tujuh bulan. Wabah penyakit ini tak hanya berdampak pada aspek kesehatan dan ekonomi, tapi juga pada keharmonisan rumah tangga. Di masa pandemi ini, banyak pasangan suami-istri yang bercerai. Bahkan jumlahnya kian meningkat.

Di media sosial, viral sebuah video antrean perceraian yang mengular di Pengadilan Agama Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Video ini beredar di akun instagram @bandung.update.

Sebagaimana diberitakan kompas.com (24/8/2020), pihak Pengadilan Agama (PA) Soreang membenarkan hal tersebut. Rata-rata setiap hari memang penuh.

Antrean tersebut terjadi lantaran jumlah ruang sidang yang terbatas. Sementara para pengaju gugatan cerai terbilang cukup tinggi. Dalam satu hari, PA Soreang melayani lebih dari 150 gugatan cerai. Sementara antrean bisa sampai 500 orang.

Tingkat perceraian di Kabupaten Bandung melonjak di masa pandemi Covid-19. Terutama pada bulan Maret, April sampai Mei 2020. Saking tingginya tingkat perceraian, PA Soreang bahkan menutup sementara pendaftaran gugatan cerai sampai dua minggu di bulan Mei 2020. PA Soreang sempat kewalahan melayani sidang gugatan cerai di bulan Juni 2020 karena jumlahnya mencapai 1012 gugatan cerai. Biasanya berkisar 700 sampai 800 gugatan cerai per bulan.

Problem Ekonomi

Maraknya perceraian tidak hanya terjadi di Bandung. Gejala ini merata di seluruh Indonesia. Tingginya tingkat perceraian tidak terlepas dari faktor anjloknya perekonomian masyarakat di tengah pandemi Covid-19.

Menurunnya penghasilan dan bahkan maraknya PHK menyebabkan kondisi finansial rumah tangga terguncang. Ketika gaji makin “mini”, sementara pengeluaran semakin “maksi” karena pandemi, terjadilah krisis finansial dalam sekup rumah tangga. Konflik pun muncul dan akhirnya berujung pisah.

Jika ditelisik lebih jauh, maraknya perceraian di masa pandemi ini bukan melulu karena efek wabah. Adanya wabah ibarat ujian pada rumah tangga. Jika sebelumnya fondasi rumah tangga sudah kukuh, tentu tak akan ada kata pisah meski ujian pandemi mendera.

Baca juga:  Jangan Sebut Istrimu Pengemis

Maraknya talak ini menunjukkan bahwa sejak sebelum pandemi, fondasi keluarga Indonesia sudah rapuh. Sehingga dengan datangnya krisis ekonomi, bangunan rumah tangga akhirnya goyah dan bahkan ambruk.

Bubrah karena Kapitalisme

Sungguh ironi, rumah tangga modern rentan bubrah, padahal suami istri rata-rata memiliki taraf pendidikan yang tinggi. Penyebabnya adalah kehidupan yang sekuler kapitalistik. Doktrin kapitalisme meyakini bahwa produksi adalah kunci kesejahteraan.

Itulah sebabnya ukuran kesejahteraan negara adalah Produk Domestik Bruto (PDB/GDP). Dalam kapitalisme, produksi digenjot terus. Agar produksi terserap, promosi digencarkan.

Keluarga modern dijejali iklan produk setiap detik. Hingga rancu antara kebutuhan dan keinginan. Semua dianggap penting dan mendesak. Penguasa pun memfasilitasi dengan kemudahan kredit. Ingin beli apa-apa tinggal gesek kartu, mudah saja. Keluarga terbiasa bergaya hidup konsumtif. Ini adalah bom waktu.

Saat pandemi datang, bom waktu itu pun meledak. Ekonomi goncang. Pemasukan berkurang, tapi cicilan kredit tidak ada keringanan. Akibatnya keuangan keluarga jadi nombok alias tekor. Tagihan kredit terus datang, sementara uang untuk membayar tidak ada.

Suami stres, istri lebih stres. Akhirnya cekcok dan anak jadi korban. Menjadi pelampiasan emosi dan kehilangan keluarga utuh saat orang tua memutuskan pisah. Generasi broken home mengalami utang pengasuhan. Sehingga  mencari pelampiasan di luar rumah. Pelampiasan itu bisa saja gank, tempat hiburan malam, jalanan, atau narkoba.

Padahal, andai kata hidup dengan aturan Islam, semua akan terasa mudah. Karena makna keluarga bahagia itu bukan kecukupan materi, tapi keridaan Ilahi. Ridha dan qanaah terhadap rizki pemberian Allah.

Istri rida terhadap gaji suami, berapa pun nominalnya. Anak rida terhadap pemberian orang tua, berapa pun jumlahnya, asalkan halal. Keluarga rida atas harta yang dimiliki, meski sederhana. Sikap qanaah dan rida akan qadha’ Allah SWT ini hanya akan terwujud pada individu yang berideologi Islam.

Baca juga:  Perpanjangan Tangan Rezim di Negeri Muslim Bekerja untuk Merusak dan Menyekularisasi Keluarga!

Sementara kapitalisme justru merangsang kerakusan manusia terhadap materi. Manusia dibuat selalu kurang, sehingga waktu habis untuk mengejar dunia nan fana. Sayangnya, dunia seperti bayangan. Makin dikejar, makin berlari.

Manusia pun terus terengah-engah mengejar dunia. Saat dunia yang diraih tak sesuai harapan, karena ada ujian pandemi, manusia kapitalis kehilangan arah hidup. Merasa gagal dan putus asa. Hingga stres melanda. Ujungnya meluapkan emosi, meski menyakiti orang tercinta.

Sistem hidup kapitalisme ini harus dibongkar dari masyarakat dan dibuang jauh-jauh. Selanjutnya diganti dengan sistem Islam. Yakni sistem hidup yang berlandaskan akidah Islam.

Makna kebahagiaan adalah rida Allah Swt. Tidak silau pada tawaran harta, jika mensyaratkan riba. Lebih suka bergaya hidup zuhud, demi rida Allah Swt. Tawaran produk tidak akan menggoda untuk berperilaku konsumtif.

Membeli berdasar kebutuhan, bukan semata keinginan. Keluarga tidak akan dihantui bom waktu berupa cicilan ribawi. Sudahlah memberatkan di dunia, sengsara pula di akhirat kelak.

Sistem Islam memang membolehkan perceraian/talak. Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat dari kata الْإِطْلَاق “ithlaq”, yang berarti melepas atau meninggalkan.

Secara syar’i, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan. Talak hukumnya boleh, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.(QS Al Baqarah: 229)

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (QS Ath Tholaq: 1)

Sementara itu di dalam Sunah, telah diriwayatkan dari Umar bin Khaththab Ra.,

“Bahwa Nabi Saw pernah menceraikan Hafshah, kemudian merujuknya kembali.” (HR al Hakim dan Ibnu Hibban).

Baca juga:  Jika Anak Cuek

Para sahabat Nabi Saw juga telah berijmak atas disyariatkannya talak (perceraian).

Meski perceraian itu boleh, namun tak boleh menjadi gaya hidup di tengah masyarakat. Kawin-cerai-kawin-cerai enteng sekali dilakukan hanya karena alasan sepele. Negara harus menaruh perhatian serius jika perceraian menjadi tren di masyarakat.

Negara harus menyelidiki penyebab tingginya perceraian. Jika masalah utamanya kesulitan ekonomi, negara harus bekerja keras untuk menyejahterakan rakyatnya.

Khilafah adalah model pemerintahan yang terbukti berhasil mewujudkan kemakmuran selama ribuan tahun. Negara Khilafah memiliki 12 sumber pemasukan yang akan cukup untuk menyejahterakan rakyat. Walhasil, di dalam khilafah, tidak akan banyak perceraian yang disebabkan faktor ekonomi.

Jika perceraian disebabkan KDRT dan perselingkuhan, maka negara harus mendidik suami istri agar taat syariat. Suami bersikap makruf pada istrinya. Istri taat pada suaminya, selama tidak melanggar aturan Allah Swt.

Orang tua berbuat makruf pada anak-anaknya. Laki-laki dan perempuan juga diwajibkan menutup aurat, menjaga pandangan dan pergaulan. Sehingga tidak ada celah untuk perselingkuhan dan zina.

Mengembalikan Benteng Pelindung

Keluarga adalah benteng terakhir umat Islam. Benteng yang pertama yaitu negara khilafah, saat ini tidak ada setelah diruntuhkan tahun 1924 oleh agen Inggris Mustafa Kamal.

Benteng kedua adalah amar makruf nahi mungkar oleh masyarakat. Benteng ini juga tak berfungsi karena masyarakat sudah tidak menjalankan fungsi kontrolnya.

Masyarakat sudah terjangkiti individualisme akibat penerapan kapitalisme. Tinggallah keluarga menjadi benteng terakhir yang melindungi generasi muslim.

Namun, benteng ini pun mulai koyak karena serangan pemikiran dan peradaban. Atas kondisi ini, kita harus bersegera mewujudkan kembali sistem Islam yakni Khilafah.

Agar tiga benteng tersebut berfungsi, generasi Islam pun terwujud. Terwujud sakinah pada keluarga muslim. Kebahagiaan pun melingkupi masyarakat. Wallahu a’lam bishshawab. [MNews]

6 komentar pada “Antre Cerai Kala Pandemi

  • yayu narolita

    Negara harus menyelidiki penyebab tingginya perceraian. Jika masalah utamanya kesulitan ekonomi, negara harus bekerja keras untuk menyejahterakan rakyatnya.

    Balas
  • Rani Ruli Ashari

    Masya Allah. Islam memberikan solusi tuntas atas segala permasalahan.

    Balas
  • Dunia sprti bayangan semakin dikejar semakin berlari

    Balas
  • Dunia sprti bayangan smkn dikejar semakin berlari

    Balas
  • Assyifa fauzia

    Masyaa Allah..islam memang solusi..yg luar blasa

    Balas
  • syamsinar. Aris

    SubhanAllah, memang perlu Benteng yg kokoh. Benteng ke Imanan

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *