Opini

Merdeka Seharga 75 Ribu?

Oleh: Kanti Rahmillah, M.Si.

MuslimahNews.com, OPINI – Pandemi belum usai. Penderitaan semakin dalam. Angka kematian karena kelaparan mengalahkan angka kematian akibat terinfeksi Covid-19.

Kehidupan bermasyarakat penuh dengan ketakutan. Rasa aman yang begitu mahal lantaran kriminalitas yang terus menggila. Seiring dengan angka kemiskinan yang semakin menganga.

Di tengah itu semua, semarak HUT RI kali ini begitu menyesakkan dada kaum papa. Bukan panjat pinang atau balap karung dan makan kerupuk yang viral kali ini. Karena kegiatan semacam itu dianggap dapat memicu kerumunan massa sehingga tidak boleh diselenggarakan meski sangat dinanti masyarakat.

Namun kali ini, yang viral di hari kemerdekaan adalah tampilan mata uang edisi spesial kemerdekaan. Yang tak sama sekali menjanjikan maslahat bagi rakyat miskin!

Berfaedahkah seremonial tersebut? Lantas benarkah kita sudah merdeka? Apa sebenarnya makna merdeka di mata syariat?

Seremonial Mengalahkan Esensial

Bank Indonesia menerbitkan uang rupiah baru Rp75.000 khusus dalam rangka peringatan ulang tahun ke-75 Republik Indonesia.

Bagi masyarakat yang ingin mendapatkan uang Rp75.000 edisi spesial kemerdekaan ini dapat menukarkan uang rupiah senilai Rp75.000 secara tunai. Pemesanan harus melalui aplikasi PINTAR dan setiap satu KTP hanya dapat memperoleh satu lembar uang tersebut. (kompas.com 1708/2020)

Tentu kebijakan BI menerbitkan mata uang edisi spesial dalam kondisi kritis saat ini menuai kontroversi. Di tengah perdebatan Indonesia sudah masuk resesi atau belum, dan di tengah perdebatan antara cetak uang atau cetak utang untuk menyelesaikan persoalan ekonomi bangsa. BI dengan dalih seremonial HUT RI seolah tak mengenal empati malah mengeluarkan uang edisi khusus.

Memang ini bukan yang pertama, dahulu pun di HUT RI ke-25 dan 50 telah diterbitkan uang edisi spesial HUT RI. Namun tetap saja seremonial ini menyakiti perasaan rakyat miskin, seolah uang Rp75.000 dengan tampilan yang menarik ini, dianggap “mainan” yang harus dikoleksi.

Apakah BI tak mengetahui bagaimana berartinya uang Rp75.000 bagi rakyat miskin? Uang sebesar itu bisa digunakan untuk menyambung napas mereka.

Banyak pengamat yang menyayangkan kebijakan BI kali ini. Seperti disampaikan Heri Gunawan, Legislator Partai Gerindra, bahwa uang pecahan baru ini patut dipertanyakan efektivitasnya dalam mendorong perbaikan ekonomi bangsa yang berada di ambang resesi. (pelitakarawang.com 17/08/2020)

Baca juga:  Hijrah dan Kemerdekaan Hakiki Hanya dalam Islam

Mengapa BI tak fokus pada usahanya untuk memperbaiki ekonomi bangsa? Walaupun betul sudah banyak usaha yang dilakukan BI untuk memperbaiki ekonomi seperti menurunkan suku bunga hingga ke level empat persen.

Lalu BI pun melakukan quantitative easing sebesar Rp633,24 triliu, menjadi pembeli SBN di pasar perdana, juga mengikuti program burden sharing dengan pemerintah. Namun, semua itu masih menjadi catatan besar terhadap keberhasilannya.

Minusnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2020 telah menjadi bukti atas kegagalan usaha BI, pemerintah, dan lembaga terkait. Seharusnya BI dan pemerintah fokus pada permasalahan bagaimana cara memulihkan perekonomian Indonesia, bukan malah “bermain-main” dengan “uang”.

Ini baru bicara pertumbuhan ekonomi. Bagaimana dengan problem pengangguran yang diperparah buruknya perekonomian bangsa?

Pengangguran yang semakin tinggi telah menciptakan keluarga miskin baru. Kemiskinan yang terus tercipta telah mendorong angka kelaparan yang berujung pada kematian akibat kelaparan.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan jumlah pengangguran Indonesia pada 2021 meningkat antara 10,7 sampai 12,7 juta orang.

Angka ini naik dibandingkan posisi Februari 2020 yang mencapai 6,88 juta orang. Jika tanpa intervensi, angka kemiskinan naik sekitar 4 juta orang dari 24 ke 28 juta orang. (tirto.id 22/06/2020)

Pengangguran yang diakibatkan memburuknya perekonomian bangsa pun memengaruhi keharmonisan keluarga. Tingkat perceraian dan KDRT didominasi motif ekonomi.

Jika keluarga sebagai benteng terakhir dalam perlindungan manusia telah hancur, sudah bisa dipastikan akan berpengaruh terhadap kualitas generasi yang dihasilkan. Belum lagi kemiskinan yang menyebabkan gizi buruk pada balita yang semakin memprihatinkan.

Pengangguran dan kemiskinan pun memicu kriminalitas. Rasa aman yang begitu mahal menyelimuti kehidupan bermasyarakat. Rasa takut atas keamanan dan rasa lapar terus menghantui mayoritas masyarakat Indonesia. Maka, kacaunya kehidupan sosial di masyarakat pun tak bisa terlepas dari persoalan ekonomi bangsa.

Inilah yang esensial. Inilah problem utama bangsa. Inilah penderitaan mayoritas masyarakat Indonesia. Seharusnya BI, pemerintah dan pihak-pihak pemangku kebijakan berkutat menyelesaikan problem tersebut. Bukan malah mengurusi sesuatu yang sifatnya seremonial yang tak berfaedah sama sekali.

Baca juga:  Meraih Kemerdekaan Hakiki

Indonesia Belum Merdeka

Mengutip informasi resmi dari Bank Indonesia, uang kertas edisi spesial ini mengusung tiga tema besar yaitu; mensyukuri kemerdekaan, memperteguh kebinekaan, dan menyongsong masa depan gemilang.

Pertanyaannya kini, apakah benar Indonesia sudah merdeka? Benarkah kita sudah terbebas dari penjajahan?

Memang benar, moncong senapan tak lagi ada di depan mata kita. Belanda dan Jepang bukan lagi negara yang menjajah negeri ini dengan brutal. Namun, “moncong” korporasi yang mengendalikan negara-negara besar telah menguasai negeri ini atas nama investasi. Pembiayaan dan pembangunan yang digadang-gadang dapat meningkatkan ekonomi bangsa, nyatanya adalah jebakan agar negeri ini terjerat utang.

Kebijakan dikangkangi kepentingan korporasi besar. Penguasa berteduh di “ketek” korporasi, agar kepentingan diri dan partainya mulus tak ada gangguan.

Korporasi memastikan “bonekanya” tetap patuh agar penguasaan terhadap kekayaan negeri ini terus berlanjut dan berjaya. Wajarlah seluruh kebijakan berputar pada kepentingan mereka.

Lihat saja kebijakan di masa pandemi ini. Alih-alih pemerintah sibuk mengurusi rakyat dan sibuk menyelesaikan agar persoalan pandemi ini selesai. Namun yang terjadi, pemerintah malah sibuk mengurusi korporasi yang “berisik”. Lihat saja UU Minerba yang disahkan saat pandemi. Padahal telah jelas UU tersebut tak ada kaitannya dengan pandemi dan hanya menguntungkan pengusaha.

Maka dari itu, secara hakikat Indonesia belum terbebas dari penjajahan. Karena seluruh kebijakannya masih disetir oleh kepentingan asing. Indonesia belum berdikari. Indonesia belum berdaulat. Indonesia belum merdeka. Lantas seperti apakah negara merdeka menurut syariat?

Merdeka menurut Syariat

Rasulullah Saw. pernah menulis surat kepada penduduk Najran, di antara isinya:

“Amma ba’du. Aku menyeru kalian ke penghambaan kepada Allah SWT dari penghambaan kepada hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian ke kekuasaan (wilayah) Allah SWT dari kekuasaan hamba (manusia).” (Ibn Katsir, Al-Bidyah wa an-Nihayah. v/553, Maktabah al-Ma’arif, Beirut)

Dari hadis di atas telah jelas bahwa kemerdekaan dalam Islam memiliki makna pembebasan manusia dari segala bentuk kesirikan. Manusia tak boleh menyembah manusia dan yang lainya.

Artinya, Allah SWT-lah satu-satunya yang harus disembah dan ditaati. Tak ada ketaatan pada manusia dalam kemaksiatan, yaitu hal-hal yang dilarang Allah SWT.

Baca juga:  Syariah Islam Mewujudkan Kemerdekaan Hakiki

Manusia yang telah merdeka adalah manusia yang tidak bisa didikte manusia lainnya. Tak peduli apakah hal demikian menguntungkan atau malah merugikannya, dia akan senantiasa istikamah menjalankan syariat Allah SWT.

Dengan demikian, manusia merdeka adalah seorang muslim yang berislam dengan kaffah. Menjalankan syariat tanpa takut pada manusia. Hanya Allah SWT-lah fokusnya dalam beramal.

Namun sayangnya, makna ubuidiyyah (penghambaan) acap kali dipersempit maknanya sekadar sebagai ibadah mahdhah. Sehingga banyak dari muslim yang salat dan beramal sunah, namun di luar ritual ibadahnya, mereka “menyembah” dan menghambakan diri pada sesuatu yang thaghut.

Misal demokrasi yang merupakan sistem thaghut. Mengapa dikatakan thaghut? Karena demokrasi menyerahkan kekuasaan dan kedaulatan pada rakyat. Undang-undang yang berlaku tak menjadikan aturan Allah SWT di atas segala-galanya. Telah jelas dalam surah Al Maidah ayat 49 bahwa seluruh perkara harus diputuskan sesuai dengan aturan Allah SWT.

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al Maidah: 49)

Maka dari itu, manusia merdeka adalah dia yang bukan hanya menyembah Allah SWT dalam hal ibadah mahdhah saja. Tapi juga dia yang berusaha agar seluruh aturan Allah SWT diterapkan dalam setiap kehidupannya, termasuk bernegara. Karena sesungguhnya tak akan mungkin seluruh syariat Allah SWT tegak jika negara tak mengambil Islam sebagai asasnya.

Oleh karena itu, negara merdeka adalah negara yang terbebas dari penghambaan pada manusia, terbebas dari dikte asing, terbebas dari sistem demokrasi. Dan negara yang merdeka adalah negara yang menerapkan hukum Allah SWT secara keseluruhan, termasuk memiliki sistem pemerintahan yang sesuai syariat Islam, yaitu Sistem Khilafah Islamiyah. [MNews]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *