Pandemi, Momentum Membingkai Transformasi Digital Menjadi Instrumen Ketakwaan
Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si. (Koordinator LENTERA)
MuslimahNews.com, OPINI — Pandemi Covid-19, bagaimanapun telah menjadi bagian keseharian masyarakat di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.
Di tengah pandemi yang hingga kini belum bisa dipastikan kapan akan berakhir, pemanfaatan teknologi dianggap menjadi cara paling tepat agar roda kehidupan tetap berputar.
Alhasil, jaringan internet menjadi hal yang begitu penting. Seyogianya pemerintah memastikan jaringan internet di Indonesia bisa dinikmati rakyat dari Sabang hingga Merauke.
Wilayah-wilayah yang jumlah penduduknya sedikit dan pengguna jaringan telekomunikasinya sedikit, mereka punya hak untuk bisa mendapatkan akses jaringan internet yang baik.
Ini pula yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa masa pandemi Covid-19 bisa menjadi batu loncatan percepatan transformasi digital yang perlu segera dipersiapkan secara matang. Berdasar survei IMD World Digital Competitiveness, peringkat Indonesia berada di posisi 56 dari 63 negara.
Jokowi pun menargetkan penyediaan layanan internet di 12.500 desa. Menurutnya, masa pandemi telah mengubah secara struktural, mulai dari cara kerja, beraktivitas, berkonsumsi, belajar, bahkan cara bertransaksi, yang sebelumnya offline dengan kontak fisik, menjadi lebih banyak ke daring (online) dan digital. (detik.com,03/08/2020)
Tersebab hal itu, percepatan perluasan akses dan peningkatan infrastruktur digital perlu dilakukan. Jokowi berharap adanya penyediaan internet di desa; juga road map transformasi digital di sektor strategis, mulai dari pemerintahan, layanan publik, bantuan sosial, pendidikan, kesehatan, perdagangan, industri, hingga penyiaran.
Menteri Koordinator Perekonomian yang juga Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Airlangga Hartarto turut mengatakan pentingnya transformasi di sejumlah sektor utama dalam masyarakat.
Transformasi yang dimaksud Airlangga adalah transformasi digital khususnya bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan birokrasi.
Menurutnya, tugas komite bukan hanya memulihkan ekonomi yang menurun karena Covid-19, namun juga mentransformasi ekonomi menuju era digital. (rmol.id, 03/08/2020)
Ia juga menjelaskan pentingnya digitalisasi di sejumlah sektor tersebut di atas. Pengguna internet di Indonesia mencapai 180 juta, potensi dari ekonomi digital di Indonesia hingga 2024 diperkirakan bisa mencapai 130 miliar dolar AS.
Pada transformasi digital sektor kesehatan, diharapkan digitalisasi dunia kesehatan semakin menjadi tren dan bertujuan meningkatkan pelayanan kesehatan secara lebih baik.
Begitu pun transformasi sektor pendidikan, dilakukan khususnya di masa pandemi saat ini, yang mana kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring (online).
Terakhir di sektor birokrasi. Banyak ASN bekerja dari rumah dan banyak pula kegiatan yang harus dilakukan secara daring sebagai efisiensi dan penyederhanaan regulasi.
Alasannya, pemerintah terus membenahi infrastruktur digital, meningkatkan layanan di sektor informasi, komunikasi, dan telekomunikasi (ICT).
Memang, saat ini sektor telekomunikasi, teknologi, dan media, berhasil meraih profit di tengah minusnya ekonomi negara akibat pandemi Covid-19. Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia rontok hingga minus 5,32 persen pada kuartal II 2020.
Selain sektor telekomunikasi dan teknologi, sektor lain yang juga mendulang untung saat pandemi yang mengancam terjadinya resesi ekonomi ialah sektor barang konsumsi, farmasi, dan keuangan.
Karenanya, mimpi besar hidup daring tak lain agar masyarakat bisa saling terhubung secara digital. Sungguh, ini adalah alasan yang tampak tanpa cacat dan cela, karena hidup terfasilitasi dengan teknologi tinggi.
Tapi jangan lupa, dalam kacamata kapitalis, profit selalu menjadi tujuan utama perusahaan-perusahaan penyedia teknologi digital tersebut.
Di satu sisi, ada hal yang patut dicermati dengan masifnya teknologi digital ini. Tentu saja masifitas ini menjadi bagian realisasi arus Revolusi Industri (RI) 4.0. Pada sektor-sektor tertentu, tugas manusia selaku pelaksana akan digantikan teknologi.
Perkara pesan makanan ke pedagang kaki lima, misalnya, sekarang bisa diakses melalui aplikasi di ponsel pintar (smartphone) tanpa harus keluar rumah untuk memesan langsung kepada pembeli.
Juga belanja perlengkapan rumah tangga, bisa langsung pesan melalui aplikasi dan pelanggan tinggal menunggu barang diantar ke rumah.
Dalam konteks manufaktur, tugas manusia akan digantikan robot. Dalam sebuah pabrik produsen suatu barang, tugas manusia akan dikurangi, yakni hanya sebagai pengawas. Tugas manufaktur seperti pada perusahaan perakitan akan digantikan teknologi robotik.
Secara jangka pendek, fakta ini tampak sebagai kemudahan perilaku kehidupan. Namun secara jangka panjang, ada suatu kekhawatiran di mana peran dan fungsi manusia akan digantikan alat, bahkan oleh properti dunia maya bernama aplikasi.
Di sini letak masalahnya. Jika konsep ini diadopsi oleh ideologi kapitalisme, maka kembali lagi, target utama adalah profit semata.
Di sisi lain, dampak terburuk dari realitas ini ialah peluang adanya dehumanisasi. Sejumlah peran dan fungsi manusia sebagai pelaksana kehidupan, akan digantikan teknologi. Padahal, tidak semua hal yang bisa digantikan teknologi alias robot. Imam salat, tentu tidak bisa digantikan. Belaian ibu pada anak-anaknya, tentu berbeda bila dilakukan robot.
Begitu pula dalam pembelajaran, pendampingan guru terhadap siswa tentu masih lebih efektif bila dilakukan secara tatap langsung, bukan daring.
Hal inilah yang mulai membayangi kebijakan pemerintah. Sejak beberapa waktu lalu, pemerintah berkali-kali merencanakan efisiensi fungsi ASN. Yang sempat mengemuka adalah moratorium ASN. Tentu saja dampak jangka panjangnya adalah pengurangan jumlah ASN sedikit demi sedikit.
Belum lagi sektor wiraswasta dan usaha mandiri, tak ubahnya jadi liberalisasi tenaga kerja. Setiap orang langsung dihadapkan pada pasar bebas. Ekonomi berjalan dengan arusnya yang deras.
Yang punya modal, dialah yang menang. Yang tak punya modal, akan jadi pecundang, bahkan bisa-bisa terperosok menjadi sampah peradaban. Mereka tak berguna bagi dunia kapitalis yang meniscayakan kerja, kerja, dan kerja.
Wajar jika akhirnya kebijakan ketenagakerjaan negeri ini lebih banyak berkutat seputar pengiriman pekerja migran ke luar negeri dan impor tenaga kerja asing (TKA) ke dalam negeri.
Inilah sejatinya konsekuensi pasar global berbasis regional semacam MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan kawan-kawannya. Padahal logikanya, tak perlu mendatangkan TKA jika pemberdayaan sumber daya rakyat berjalan dengan baik, sehingga rakyat dapat memiliki pekerjaan yang memadai di negeri sendiri.
Sayangnya, di sisi lain, negara pun tak lagi kuat menanggung beban ekonomi untuk membayar gaji para aparatur sipil. Masa pensiun tak lagi menjadi masa tenang, malah menjadi masa yang dianggap tak produktif bagi profit kapitalisme.
Akibatnya, isu entrepreneur, UMKM, ekonomi kreatif, berikut “preneur-preneur” lainnya, juga makin dideraskan. Padahal, semua itu untuk menopengi kian derasnya kapitalisasi berdalih aktualisasi teknologi ala RI 4.0.
Sejatinya, teknologi adalah instrumen pendukung kehidupan. Makin luas teknologi, semestinya berbanding lurus dengan makin luas pula penyediaan lapangan pekerjaan dan pengelolaan kehidupan yang membaik.
Ini tentu saja jika teknologi menjadi instrumen untuk mengurusi urusan masyarakat dengan sebaik-baiknya dan sepenuh hati. Dan hal ini tidak harus dilakukan dengan mengorbankan fungsi manusia sebagai pelaku peradaban.
Di balik gemerlap kecanggihan teknologi digital, selayaknya kaum muslimin juga cermat. Ketika teknologi digital dibingkai sebagai komoditas kapitalis, maka profit akan terus menjadi fokus.
Dalam atmosfer kehidupan kapitalisme, pemilik teknologi adalah yang punya modal besar. Dan mayoritas mereka adalah swasta.
Ironisnya, negara kita bukanlah negara yang memiliki niat tulus untuk mengurus dan memberdayakan rakyatnya melalui distribusi teknologi.
Akibatnya, rakyat yang tak melek teknologi harus tersingkir dan tetap saja harus berkutat dengan hidup berteknologi manual, alih-alih teknologi digital. Benar-benar jauh panggang dari api.
Inilah yang terjadi ketika teknologi diformat dalam sistem kapitalisme, yang ternyata berwujud kehidupan yang jauh dari kata manusiawi.
Karena bagi kapitalisme, teknologi adalah komoditas ekonomi. Orang harus mengeluarkan sejumlah uang untuk dapat menikmati teknologi. Akibatnya, lambat laun manusia malah dianggap tak punya fungsi hanya gara-gara mereka gagap teknologi (gaptek).
Padahal, Allah telah memilihkan peran agung bagi manusia untuk menjalankan peran di muka bumi. Allah SWT berfirman,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (TQS Al-Baqarah [02]: 30)
Ayat di atas mencantumkan peran khusus bagi manusia yang telah ditetapkan Allah SWT, Al-Khaliq Al-Mudabbir.
Bingkai Instrumen Ketakwaan
Islam sendiri sebenarnya sangat tidak antiteknologi digital. Islam mengajarkan teknologi sangat boleh untuk diadopsi bagi kehidupan. Bahkan dasar-dasar teknologi mutakhir yang ada saat ini, hampir semuanya bersumber dari para ulama dan ilmuwan Islam.
Namun dalam hal ini, Islam memberikan rambu-rambu, agar penggunaan teknologi tetap berbasis keimanan. Karena itu, Islam juga harus tampil sebagai ideologi dalam mengelola teknologi digital.
Tentu ini tak boleh dilepaskan dari peran agung manusia selaku “khalifatu fil ardh“. Sebagaimana ayat di atas (QS Al-Baqarah ayat 30), yang mana peran tersebut dikuatkan melalui ayat berikut ini:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (TQS Al-Hujurat [49]: 13)
Allah juga telah menetapkan mekanisme pengaturan bumi dalam ayat:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS Al-A’raf [07]: 96)
Demikianlah, pengaturan bumi telah Allah serahkan pada manusia. Dengan catatan, bumi ini harus dikelola sesuai aturan Allah.
Dan manusia yang mampu mengelola bumi sesuai aturan Allah, tentu saja adalah orang-orang yang bertakwa, mereka inilah yang jelas-jelas memiliki posisi paling mulia di sisi Allah.
Inilah sejatinya tata kelola kehidupan berbasis ketakwaan. Semata agar kehidupan manusia tidak begitu saja dikapitalisasi melalui teknologi. Manusia harus memosisikan teknologi sebagai objek menuju ketaatan kepada aturan Allah SWT.
Satu-satunya sistem yang dapat mewujudkan hal ini adalah Khilafah. Khilafah adalah masa depan bagi peradaban manusia, sebagaimana telah dijanjikan Allah dan Rasul-Nya.
Firman Allah SWT:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan-Ku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (TQS An-Nuur [24]: 55). [MNews]
Rindu khilafah