Dispensasi Nikah: Maju Kena, Mundur Kena

Oleh: Chusnatul Jannah

MuslimahNews.com, OPINI — Berita mengejutkan datang dari Jepara, Jawa Tengah. Sepanjang Januari sampai 25 Juli 2020, ada 236 perkara pengajuan dispensasi nikah. Jumlah pengajuan itu meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Kepala Pengadilan Agama Jepara, Faiq, menyebut peningkatan perkara tersebut lantaran perubahan aturan dalam UU Perkawinan yang disahkan pada Oktober 2019 lalu.

”Dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, disebutkan usia minimal untuk menikah 19 tahun bagi kedua mempelai. Sedangkan UU sebelumnya, UU Nomor 1 Tahun 1974, usia nikah minimal 16 tahun bagi perempuan dan 18 tahun bagi laki-laki. Peningkatan pengajuan ini juga tidak hanya terjadi di Jepara,” katanya, seperti dilansir jawapos.com, 28/07/2020.

Di Ponorogo, Jawa Timur, ada sebanyak 97 pasangan anak yang mengajukan dispensasi nikah. Senada dengan pernyataan Kepala PA Jepara, meningkatnya angka dispensasi nikah di Ponorogo juga dipicu adanya perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Undang-Undang Perkawinan.

Pada aturan baru, usia minimal pernikahan bagi kedua calon mempelai adalah 19 tahun. Rata-rata alasan permohonan dispensasi nikah selain hamil di luar nikah, hubungan erat kedua pasangan kerap menjadi alasan pengajuan dispensasi ini.

Orang tua khawatir jika tidak dilangsungkan pernikahan, anak-anak mereka makin terjerumus ke perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam.

Dilema Nikah Dini

Tingginya permohonan dispensasi nikah menyisakan sejumlah permasalahan yang tak kunjung terurai. Sepanjang 2018, berdasarkan catatan BPS, provinsi dengan jumlah persentase pernikahan muda tertinggi adalah Kalimantan Selatan sebanyak 22,77%, Jawa Barat (20,93%), dan Jawa Timur (20,73%).

Ada beberapa aspek yang patut menjadi catatan merah atas fenomena dispensasi nikah pada pasangan anak:

Pertama, aspek ekonomi.

Alasan ini banyak terungkap karena pemahaman orang tua yang kurang tepat. Mereka menganggap anak perempuan adalah beban ekonomi.

Agar tak lagi menjadi beban keluarga, mereka memilih menikahkan anak-anak mereka di usia yang masih muda. Tak ayal, pernikahan dini menjadi pilihan pragmatis di tengah himpitan ekonomi.

Hal ini diungkapkan Susilowati dalam Webinar “Dispensasi Nikah pada Masa Pandemi Covid-19: Tantangan Terhadap Upaya Meminimalisir Perkawinan Anak di Indonesia” yang digelar FH Unpad, Jumat (3/7).

Baca juga:  Agar Nikah Muda Tetap Bahagia

Mengapa masih ada orang tua berpikiran instan semacam ini? Sulitnya menjalani kehidupan dalam sistem kapitalisme adalah fakta tak terbantahkan.

Biaya sekolah tak punya, anak berpotensi putus sekolah. Solusi paling instan ya menikahkan mereka. Hilang satu beban keluarga.

Itulah pemahaman yang berkembang di tengah masyarakat. Sadar atau tidak, sistem kapitalisme berkontribusi terhadap maraknya dispensasi nikah atau nikah dini.

Kedua, aspek pendidikan.

Hingga detik ini, dunia pendidikan kita masih buram. Tak jelas tujuan, arah, dan visinya. Kurikulum pendidikan hari ini tak mengajarkan bagaimana membentuk kepribadian saleh dan salihah bagi anak.

Ditambah, orang tua yang abai terhadap pendidikan anak. Ada yang abai lantaran minimnya ilmu mendidik anak. Ada pula yang abai karena kesibukan orang tua dalam bekerja. Alhasil, anak tidak terawasi dan terkontrol dengan baik. Peran sentral orang tua sebagai madrasah pertama bagi anak pun hilang.

Dr. Sonny Dewi Judiasih, M.H.CN., mengatakan, praktik perkawinan di bawah umur rentan terjadi pada perempuan di pedesaan yang berasal dari keluarga miskin serta tingkat pendidikan yang rendah.

Kondisi demikian terjadi didukung sistem sekuler yang menjauhkan manusia dari agama. Agama tak lagi djadikan pedoman dalam kehidupan. Perannya termarginalkan.

Agama sebagai fondasi dan benteng keimanan gagal terbangun akibat penerapan sistem sekuler. Akibatnya, ketahanan iman keluarga rapuh dan mudah runtuh.

Ketiga, aspek sosial.

Tak dapat pungkiri, tumbuhnya anak di lingkungan yang serba sekuler-kapitalistik turut menyumbang kerusakan generasi hari ini. Tontonan tak layak banyak tersaji di layar kaca maupun media sosial.

Pergaulan bebas tanpa batas. Standar perbuatan tak lagi memandang halal haram. Liberalisasi sistem sosial membuat remaja terombang-ambing dalam perbuatan amoral.

Kehidupan hedonis dan permisif juga turut membentuk perilaku seks bebas. Semua itu berpangkal dari sistem sosial yang sekuler dan liberal.

Keempat, aspek hukum.

Pada mulanya UU Perkawinan dibuat untuk menekan angka nikah dini pada anaknya. Usia minimal pernikahan yang semula 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki dianggap diskriminatif.

Hal ini digugat LSM dan masyarakat sipil melalui uji materi undang-undang. Pada Oktober 2019, UU itu pun direvisi dengan mengubah usia pernikahan menjadi minimal 19 tahun untuk kedua calon mempelai.

Baca juga:  Sekularisme Menyuburkan HIV/AIDS, Islam Membasmi Sampai Akarnya

Maksud hati mencegah pernikahan dini, malah berakhir dengan peningkatan nikah dini. Maksud hati memberi kelonggaran dispensasi, apa daya solusi itu justru memicu persoalan baru.

Angka kehamilan di luar nikah turut meningkat. Sebabnya adalah anak-anak yang melakukan hubungan di luar nikah hingga hamil merasa mendapat solusi dari perbuatan mereka, yaitu pemohonan dispensasi nikah.

Secara tidak langsung, dispensasi nikah menjadi peluang menjalarnya seks bebas di kalangan pelajar. Maju kena, mundur kena, itulah efek domino adanya UU ini.

Kelima, aspek ketahanan keluarga.

Nikah dini jika tak disipakan sejak dini, hanya akan memunculkan persoalan cabang tiada henti. Salah satunya adalah perceraian.

Bila ilmu tak cukup, anak belum siap -seperti dipaksa menikah karena ekonomi atau terpaksa menikah karena hamil lebih dulu-, bisa menjadi penyebab perceraian pasangan muda.

Jika ini terjadi, ketahanan keluarga terancam. Lahirlah generasi lemah karena minimnya ilmu dan pemahaman terkait pendidikan anak.

Kelima aspek ini bila tak dicari solusinya, hanya akan menambah ruwet persoalan. Pokok persoalannya bukanlah pada nikah dini atau dispensasi nikahnya. Masalah utamanya adalah apa yang menyebabkan dispensasi nikah makin marak?

Seperti apa solusinya dalam Islam?

Solusi Tuntas Islam

Islam memiliki seperangkat aturan lengkap yang mengatur tentang kehidupan personal dan komunal. Aturan Islam diberlakukan bagi individu dan masyarakat.

Sementara negara, berperan sebagai pelaksana dan pengontrol agar hukum Islam diterapkan secara keseluruhan.

Fenomena dispensasi nikah berawal dari rusaknya tatanan sistem pergaulan yang berlaku di tengah masyarakat. Islam memilki solusi tuntas dalam mengatasi hal ini:

Pertama, aspek ekonomi.

Islam akan memenuhi kebutuhan dasar setiap rakyat. kebutuhan itu berapa pemberian sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan kepada setiap individu.

Jika kebutuhan dasar terjamin, adakah para orang tua masih berpikir pragmatis dengan cara menikahkan anak perempuan mereka lantaran menjadi beban keluarga? Selama kebutuhan dasar mereka terpenuhi, orang tua tak akan bingung dengan apa mereka memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Dengan pemberian pendidikan secara gratis, beban orang tua menyekolahkan anak juga menjadi ringan.

Kedua, aspek pendidikan.

Negara akan menerapkan kurikulm pendidikan yang seragam, yaitu kurikulum berbasis akidah Islam, bukan akidah sekuler. Pendidikan dalam Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian yang Islami, yakni pola pikir dan pola sikap sesuai tuntunan Islam.

Baca juga:  Kemaksiatan Marak dalam Sistem Sekuler-Kapitalis

Materi pelajaran terintegrasi dengan akidah Islam. Tak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu terapan. Anak-anak dibentuk menjadi faqih fiddin dan cerdas dalam sains dan teknologi.

Ketiga, aspek hukum.

Sistem sanksi dalam Islam memiliki dua fungsi, yakni sebagai zawajir dan jawabir. Zawajir adalah kedudukan sanksi sebagai pencegah tindak kejahatan. Jawabir adalah fungsi sanksi sebagai penebus dosa bagi pelakunya kelak pada Hari Kiamat.

Pelanggaran terhadap syariat akan diberikan sanksi sesuai ketetapan Islam. Tujuan diberlakukannya sistem sanksi dalam Islam sebagi perwujudan tindakan preventif dan kuratif.

Seringkali, sanksi terhadap pelaku seks bebas tak berlaku bila menimpa anak-anak di bawah umur. Padahal sanksi dalam Islam berlaku bagi mereka yang sudah memasuki masa akil balig.

Dalam Islam, klasifikasi usia anak dan dewasa dinilai dengan tanda balig yang melekat pada diri perempuan dan laki-laki. Bila sudah balig, maka ia menanggung tanggung jawab sebagai seorang mukallaf (orang yang terbebani hukum).

Keempat, aspek sosial.

Islam memiliki sejumlah tindakan preventif. Di antaranya:

[1] Allah telah menetapkan hubungan seksual (shilah jinsiyah) diharamkan sebelum pernikahan (QS Al-Isra : 32, An-Nuur: 2); [2] Perintah menundukkan pandangan (QS An-Nuur : 30-31); [3] Kewajiban menutup aurat untuk perempuan (QS An-Nuur : 31 dan Al-Ahzab : 59); [4] Kewajiban menjaga kesucian diri (QS An-Nuur : 33); [5] Larangan khalwat; [6] Larangan tabarruj bagi perempuan; [7] Aturan safar bagi perempuan; [8] Perintah menjauhi perkara syubhat.

Selain itu, kontrol masyarakat melalui pembiasaan amar makruf nahi mungkar akan turut mencegah perbuatan maksiat. Negara juga akan melakukan pencegahan terhadap hal-hal yang merangsang naluri jinsiyah (seksual) seperti konten pronografi, pornoaksi, tayangan TV, media sosial, dan sebagainya.

Di sinilah peran penting tiga pilar: individu yang bertakwa, masyarakat yang berdakwah, dan negara yang menerapkan sistem politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan secara menyeluruh.

Semua itu hanya bisa terintegrasi dalam satu institusi yang melaksanakan syariat Islam secara utuh yaitu negara Khilafah Islamiyah. [MNews]

One thought on “Dispensasi Nikah: Maju Kena, Mundur Kena

  • 4 Agustus 2020 pada 04:58
    Permalink

    Begitulah sistem sekuler
    Jelas terlihat hasilnya
    Masih mau di pakai..???

    Kenapa masih juga sangsi dg sistem Islam..? Selalu ada solusi d setiap permasalahan itulah sistem Islam..

    Back to Islam Kaffah?

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.