Anak Sekolah Daring, Emak-emak “Darting”
Oleh: Ragil Rahayu, S.E.
MuslimahNews.com, OPINI – Seorang guru taman kanak-kanak (TK) melakukan eksperimen sosial. Di akun Facebook, dia membuat pertanyaan: “Apa yang ada di pikiran Anda tentang sekolah daring?”
Hampir 100 komentar yang mayoritas adalah ibu-ibu wali murid merespons pertanyaan itu. Jawaban yang muncul adalah: emosi jiwa, salto, menguji kesabaran, ribet, ruwet, pengeluaran membengkak, dan bikin darting.
Eksperimen sosial tersebut mungkin tidak mewakili populasi seluruh wali murid di Indonesia, namun cukup mewakili perasaan orang tua, khususnya emak-emak.
Pembelajaran daring yang dilakukan selama pandemi, terasa bagai buah simalakama. Jika anak-anak sekolah secara normal dengan tatap muka di sekolah, bahaya virus Corona dipastikan mengancam.
Sekolah bisa menjadi klaster baru penularan Covid-19 sebagaimana terjadi di beberapa negara seperti Korea Selatan, Prancis, Belanda, Finlandia, dan Inggris.
Tanpa sekolah tatap muka saja, sudah banyak anak tertular Covid-19. Berdasarkan data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 51 kasus anak meninggal karena virus corona sejak 17 Maret hingga 20 Juli 2020.
Jumlah kasus infeksi terkonfirmasi pada anak seluruhnya dalam periode yang sama 2.712 (tempo.co, 24/7/2020). Jika sekolah dilakukan secara normal, tentu penderita akan makin banyak.
Namun, ketika pembelajaran dilakukan daring, banyak orang tua mengeluh kesulitan. Hingga muncul ungkapan: “Sekolah daring bikin darting (darah tinggi)”.
Ada beberapa keluhan orang tua terkait pembelajaran daring.
- Anak mengakses gadget.
Selama ini beredar info bahaya gadget bagi anak-anak. Mulai dari potensi mengakses konten porno, konten unfaedah, kecanduan game, isu radiasi ke otak, hingga masalah penglihatan.
Kini, mau tidak mau, anak-anak justru dikondisikan untuk mengakses gadget. Mulai dari menyimak penjelasan guru hingga mengerjakan tugas. Hal ini tentu kontraproduktif. Jika orang tua tak memantau ketat, anak dikhawatirkan terkena potensi negatif gadget tersebut.
- Pengeluaran melonjak.
Sejak pandemi, ekonomi lesu. Pendapatan masyarakat turun. Emak-emak harus berhemat agar anggaran rumah tangga bisa cukup.
Namun, pembelajaran daring justru menjadikan kebutuhan kuota data meningkat. Akibatnya, emak-emak makin pusing memikirkan pengeluaran yang membengkak.
- Orang tua bekerja.
Banyak anak yang kedua orang tuanya bekerja dari pagi hingga sore. Beberapa anak tidak dibekali gadget karena khawatir dampak negatifnya juga karena keterbatasan pengadaan gadget.
Akibatnya, anak mengerjakan tugas menunggu kedatangan orang tua. Pembelajaran yang sifatnya live seperti zoom meeting tak bisa diikuti. Akhirnya, anak ketinggalan materi pelajaran.
- Tidak punya gadget atau terbatas.
Tidak semua rumah tangga di Indonesia punya gadget canggih sehingga bisa digunakan untuk pembelajaran daring. Ada juga yang satu rumah hanya ada satu gadget, sehingga harus dipakai bergantian antara pekerjaan orang tua dan tugas anak.
- Kendala jaringan.
Jaringan masih menjadi persoalan di berbagai daerah di Indonesia. Ketika jaringan tidak ada, pembelajaran daring tentu tidak bisa diakses.
- Sulit memahami materi.
Bagi mahasiswa atau siswa SMA/MA, mungkin materi yang disampaikan secara daring bisa dipahami. Namun bagi anak SD/MI, faktanya tidak demikian. Biasanya setelah lima menit mereka mulai mengutak-atik layar atau memperhatikan hal lain.
Akhirnya orang tua harus menjelaskan materi pada anak. Hanya saja, tak semua orang tua punya kompetensi untuk menjelaskan. Jika anak tak kunjung paham, tak jarang emak-emak jadi emosi. Hal ini tentu tak sehat untuk suasana rumah.
- Tidak bisa menggantikan matpel yang harus praktik.
Ada sekolah yang melaksanakan pembelajaran secara daring, tapi khusus mengaji dilakukan secara tatap muka, dengan menjalankan protokol kesehatan. Karena guru perlu memastikan makharijul huruf dengan memperhatikan mulut murid. Hal ini sulit dilakukan via daring.
Emak “Strong” dan Negara “Strong“
Tentu tak semua hal terkait pembelajaran daring bernilai negatif. Banyak juga hal-hal positif. Misalnya kini emak-emak lebih menyadari beratnya tugas guru.
Sebelum pandemi mungkin sebagian orang tua pasrah “bongkokan” pada sekolah. Orang tua hanya mengantar-jemput dan memenuhi kewajiban administrasi. Sedangkan urusan pembelajaran dipasrahkan pada sekolah.
Kini, dengan belajar dari rumah, orang tua jadi lebih tahu potensi dan kekurangan anak. Orang tua merasa ikut bertanggung jawab atas keberhasilan pembelajaran.
Emak-emak pun belajar lagi demi bisa mengajari putra-putrinya. Mulai dari belajar materi pelajaran, membuat keterampilan, melakukan percobaan, praktik seni, hingga membuat video sederhana menggunakan aplikasi.
Bonding antara ibu dan anak terbentuk. Fungsi ibu sebagai madrasah terwujud. Emak-emak kini tak hanya lihai meracik masakan, tapi juga meracik penjelasan. Tak hanya terampil membereskan rumah, tapi juga membereskan tugas sekolah. Tak hanya piawai bikin lantai kinclong, tapi tugas anak juga jadi kinclong.
Namun, emak “strong” tetaplah manusia. Jika terus “dihajar” dengan pembelajaran daring yang bertubi-tubi, jiwa dan raganya pun lelah. Pertahanan jiwa ambrol, stres melanda, keluarga pun kena imbasnya.
Kini emak tak hanya harus cari resep di YouTube, tapi juga harus browsing jawaban tugas di Google. Pekerjaan rumah yang “memanggil” membuat hati emak cemas. Dilema antara membersamai anak dan menuntaskan tugas “negara”. Jika sehari dua hari, emak-emak masih kuat. Namun jika berbulan-bulan, emak-emak pun melambaikan bendera putih.
Oleh sebab itu, selain emak “strong”, dibutuhkan pula negara yang “strong“. Yaitu negara yang punya konsep jelas terkait pendidikan selama pandemi.
Negara harus punya prioritas kerja. Termasuk prioritas dalam penyelenggaraan pendidikan. Tersampaikannya materi ajar memang penting, tapi keselamatan jiwa tentu lebih penting.
Maka negara harus punya target terukur kapan wabah harus tuntas, kapan pula pendidikan harus berjalan normal. Jika keduanya tak bisa berjalan bersamaan maka penyelesaian wabah harus diutamakan.
Kurikulum sekolah harus didesain sedemikian rupa agar mendukung penyelesaian wabah. Maka target pendidikan selama wabah adalah memastikan anak-anak memahami dan melakukan upaya-upaya untuk bertahan hidup.
Materi akidah dan akhlak disampaikan dalam bentuk yang mengukuhkan keyakinan terhadap qadha’ Allah SWT. Materi fikih disampaikan dalam bentuk rincian pelaksanaan syariat selama wabah. Misalnya hukum salat jamaah mengenakan masker/face shield, thaharah, dan lain-lain.
Materi bahasa (baik Indonesia, Arab, maupun Jawa) diisi konten edukasi terkait Covid-19. Sekaligus meluruskan hoaks yang beredar di tengah masyarakat.
Materi sains berisi konten untuk mengenal penyakit, virus, cara menjaga kebersihan, dan lain-lain. Target materi tentu disesuaikan dengan level pendidikan.
Orang tua juga perlu pengarahan dari negara, agar bisa mewujudkan madrasah di rumah. Emak-emak perlu dituntun dan diedukasi agar bisa menjadi guru di rumah selama wabah.
Yang juga penting adalah adanya bantuan ekonomi dari negara sehingga emak-emak tidak pusing memikirkan ekonomi rumah tangga.
Dan yang utama, negara harus bekerja keras dan serius dalam menyelesaikan wabah di aspek kesehatan. Sehingga wabah cepat selesai dan tidak berlarut-larut. Ekonomi bisa dikejar, tapi nyawa manusia tak bisa dikembalikan.
Negara yang “strong” seperti ini hanya bisa terwujud jika pemimpinnya bertakwa dan sistemnya juga bertakwa. Selain khilafah, adakah negara yang demikian? [MNews]
Masyaallah
Sy itu fokus ke poin 6,tidak, memahami kadang materi tersbut. mw g mau hra, membuka Geoogle, mencari solusi.
Kembali lg ke sistem yg berlaku
Robbi.. Kehidupan kami sempit.. Karena kami berpaling dari hukum-hukum-Mu.. Ampunilah kami.. Mari saudara-saudaraku.. Kita kembali kepada sistem Islam..
Akibat tidak kebecusan pemerintah menangani wabah Corona sehingga berdampak buruk disegala lini.. termasuk pendidikan yg sangat mendasar..
Efek Sistem batil kapitalis-sekuler..