OpiniPolitik

Sistem Desentralisasi Produksi Politik Dinasti

Oleh: Endiyah Puji Tristanti, S.Si. (Pemerhati Politik Islam)

MuslimahNews.com, OPINI – Konsolidasi politik dinasti era desentralisasi mengonfirmasi khayalan tingkat tinggi sistem demokrasi. Demokrasi mengobral sesumbar pembagian kekuasaan politik.

Pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia, dan lain-lain) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dipastikan akan menutup probabilitas otoritarianisme dan diktatorisme kekuasaan sentralistis.

Maka, sistem Khilafah yang sentralistis dijadikan bulan-bulanan praktik bullying para pengasong demokrasi yang hipokrit.

Tarian striptis politikus-politikus sekuler mempertontonkan dinamisasi politik dinasti dalam sistem desentralisasi yang terealisasi dalam pesta pilkada langsung.

Sebut saja, majunya putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming dalam pemilihan wali kota Solo. Di Tangerang Selatan, Banten, putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah maju dalam pemilihan wali kota.

Nama-nama lain turut meramaikan bursa pilkada 2020 ini. Di antaranya putra bupati Serang Ratu Tatu Chasanah (adik Atut), Pilar Saga Ichsan. Pun adik wali kota Tangsel Airin Rachmi Diani, Aldrin Ramadian; menantu Jokowi, Bobby Nasution (Pilkada Medan); anak Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Hanindhito Himawan Pramono (Pilkada Kediri); istri Bupati Banyuwangi Azwar Annas, Ipuk Fiestiandani (Pilkada Banyuwangi); dan adik Mentan Syahrul Yasin Limpo, Irman Yasin Limpo (Pilkada Makassar).

Dari riset Nagara Institute, sedikitnya 99 orang anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti politik karena memiliki hubungan keluarga dengan pejabat publik. Sementara pada Pemilu 2014 terdapat 51 kasus dan Pemilu 2009 ada 27 kasus.

Masih menurut Nagara Institute, dari 541 wilayah meliputi provinsi dan kabupaten/kota yang menggelar pilkada sepanjang tiga periode terakhir (2015, 2016, 2017), sebanyak 80 wilayah atau 14,78 persen terpapar dinasti politik

Filsuf era Renaisanse, Nicollo Machiavelli dalam salah satu adikaryanya, Il Principe (Sang Pangeran): “Kekuasaan harus digapai dan dipertahankan, meski harus membuang bab etika ke tong sampah.”

Menurut hemat penulis, politik dinasti bukan saja soal etika politik, namun ini soal kesalahan konsep politik yang melahirkan kelemahan di tataran praktis.

Baca juga:  [Editorial] Jika Bukan Nabi saw., Lantas Siapa yang Pantas jadi Teladan untuk Urusan Pemerintahan?

Bila dirunut, pangkal masalah politik dinasti terletak pada kapasitas sistem politik dan pemerintahan demokrasi itu sendiri dalam menjawab tantangan zaman.

Tak cukup berhasil dengan trias politika -pembagian kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif-, demokrasi kemudian menyempurnakan konsep untuk menghindari pemusatan kekuasaan politik kepala negara beserta kabinet.

Demokrasi memunculkan konsep tambahan pendistribusian kewenangan politik dan administrasi antara pusat dan daerah (desentralisasi).

Di Indonesia, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974, desentralisasi diadopsi semata- mata untuk
mencapai pemerintahan yang efisien.

Pelimpahan wewenang ini menghasilkan suatu otonomi yakni kebebasan masyarakat yang tinggal di daerah untuk dapat mengatur serta juga mengurus kepentingannya sendiri.

Otonomi daerah diberlakukan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Berikutnya, UU ini dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Selanjutnya, hingga sekarang, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini telah mengalami beberapa kali perubahan. Terakhir kali dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Apa hasil jalan panjang otonomi daerah? Kekuasaan politik tetap berputar disekitar elite tertentu, bahkan menjadi legal konstitusional. Sebut saja politik dinasti, selalu berlindung di balik alasan konstitusional hak politik warga negara.

Mahkamah Konstitusi pada 2015 telah menghapus pasal antipolitik dinasti pada UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan syarat calon kepala daerah tak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.

Jadi, mekanisme demokrasi sendiri telah menghalalkan undang-undang direvisi dan diganti oleh elite kekuasaan agar sejalan dengan kepentingan mereka.

Mengapa bisa terjadi? Sebab demokrasi menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, sekaligus menempatkan kekuasaan di tangan rakyat pada saat yang sama.

Baca juga:  Jelang Ajal Demokrasi, Songsong Fajar Khilafah

Khilafah, Menutup Peluang Politik Dinasti

Sistem Khilafah adalah sistem Islam. Islam menempatkan kedaulatan di tangan syara’, as-siyadah li as-syar’i dan kekuasaan di tangan umat, as-sulthon lil ummat.

Islam juga mewajibkan umat Islam memiliki seorang kepala negara, Khalifah, dan hanya seorang saja. Islam pun meletakkan hak untuk mengadopsi undang-undang, tabanni di tangan seorang khalifah.

Sistem pemerintahan Islam menjadi sistem pemerintahan yang khas, unik, dan berbeda dengan sistem mana pun yang ada di dunia.

Konsekuensinya, penguasa yang dipilih dan diangkat (dibaiat) oleh rakyat/umat hanyalah kepala negara, khalifah.

Khalifah memiliki syarat pengangkatan (syarat in’iqad) yakni laki-laki, muslim, akil, balig, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tanggung jawab Khilafah. Bila telah dibaiat seorang khalifah dengan baiat in’iqad, maka terdeklarasikanlah Khilafah.

Adapun penguasa (hukkam) lain, penguasa daerah tidak dipilih rakyat, namun diangkat Khalifah. Mengapa? Sebab sekalipun kekuasaan di tangan rakyat, namun kedaulatan di tangan syara’.

Oleh karena itu, dalam Islam tidak diterima sistem pewarisan (putra mahkota). Peluang munculnya politik dinasti ditutup rapat sistem Islam.

Adapun syarat seorang kepala daerah sama dengan syarat khalifah, sebab masing-masing adalah hukkam (penguasa), yakni laki-laki, muslim, akil, balig, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tanggung jawab.

Memang benar, pernah sebagian tarikh Islam menunjukkan riwayat pengangkatan putra khalifah dalam pemerintahan. Namun tarikh (sejarah) bukanlah sumber hukum Islam. Tarikh hanyalah bagian dari realitas penerapan suatu sistem politik di suatu wilayah, di suatu masa.

Sebagai bagian dari realitas, tarikh ada untuk dihukumi kesesuaiannya dan ketidaksesuaiannya dengan konsep sistem pemerintahan Islam yang secara baku lahir dari dalil-dalil syariat.

Keunggulan sistem sentralistis dalam politik dan kekuasaan pada sistem khilafah –di mana kewenangan kepala negara wajib tunduk di bawah ketentuan syariat, “ayat konstitusi” haram mengangkangi ayat suci Alquran, dan diangkatnya kepala daerah atas penunjukan kepala negara khilafah–, menutup peluang munculnya raja-raja kecil di daerah.

Baca juga:  [News] Masa Depan Afganistan, Akankah Menjadi "Ansharullah" bagi Tegaknya Islam?

Hanya pemimpin berintegritas (ber-syakhshiyah Islamiyah) dan memiliki kelayakan (kemampuan dan kelayakan) yang akan menjadi penguasa (hukkam).

Sulaiman bin Buraidah menuturkan riwayat dari bapaknya yang berkata,

“Rasulullah Saw. itu jika mengangkat seorang amir pasukan atau detasemen, senantiasa berpesan, khususnya kepada mereka agar bertakwa kepada Allah, dan kepada kaum muslim yang ikut bersamanya agar berbuat baik.” (HR Muslim)

Secara umum sistem pemerintahan Khilafah bersifat sentralistis, sedangkan sistem administrasinya bersifat desentralistis. Sehingga kita pun mendapati sistem Khilafah juga mengadopsi sistem desentralisasi pada sebagiannya.

Kepala daerah memiliki kewenangan pemerintahan di wilayahnya saja. Pengangkatannya oleh khalifah dan semua wewenang administrasi di bawah kontrol dan monitor khalifah. Wewenang pemerintahan kepala daerah dikecualikan dalam urusan pasukan, peradilan, dan keuangan.

Kepala daerah tidak berwenang menjalin hubungan dan menerima dana bantuan dari pihak lain, baik negara maupun lembaga asing.

Seseorang tidak bisa menjadi kepala daerah atas dukungan pemodal dan asing. Kepala daerah tidak bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah dari kedudukannya sebagai penguasa daerah.

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Humaid as-Sa’idi:

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah mengangkat Ibn Lutbiyah sebagai amil zakat untuk mengurusi zakat Bani Sulaim. Ketika ia datang kepada Rasulullah Saw. dan beliau meminta pertanggungjawabannya, ia berkata, “Ini untuk Anda dan ini adalah hadiah yang dihadiahkan kepadaku.” Lalu Rasulullah Saw. bersabda, “Apakah tidak lebih baik engkau duduk-duduk saja di rumah bapakmu dan rumah ibumu sehingga datang kepadamu hadiahmu itu jika kamu memang orang yang jujur?” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Jelaslah sistem demokrasi adalah sistem yang lemah sejak konsepnya. Pelaksanaannya tentu lebih bobrok lagi.

Sementara sistem Khilafah adalah sistem yang sahih sejak konsepnya. Jika ada titik-titik kelemahan dalam pelaksanaannya, semata karena negara Khilafah adalah negara manusiawi (daulah basyariyah) bukan negara malaikat. Wallaahu a’lam bishawab. [MNews]

2 komentar pada “Sistem Desentralisasi Produksi Politik Dinasti

  • When I initially commented I clicked the “Notify me when new comments are added” checkbox and now each time a comment is added I get three emails
    with the same comment. Is there any way you can remove
    me from that service? Thank you! http://ow.ly/ceyo50AJok2

    Balas
  • Ayu Setiyowati

    Masyaa Allah, manusia diciptakan Allah sudah dengan aturannya. Maka sekuat apa ketika seseorang memilih menggunakan aturan selain Allah daripada yang telah ditetapkan kepadanya 🙁

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *