“Save the Children”, Slogan Kosong Tanpa Bukti
Oleh: Rindyanti Septiana, S.Hi.
MuslimahNews.com, OPINI – Keppres No. 44/1984 memutuskan Hari Anak Nasional diperingati setiap tanggal 23 Juli, yang selaras dengan tanggal diterbitkannya UU kesejahteraan anak pada 23 Juli 1979. Sejak itu pula pemerintah Indonesia berupaya mewujudkan Indonesia sebagai negara ramah anak.
Tetapi justru yang terjadi, cita-cita tersebut masih jauh panggang dari api sebab kekerasan pada anak kian hari kian meningkat. Tingginya kasus kekerasan pada anak, dilansir Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).
Selama masa pandemi Covid-19 terdapat 3.000 kasus sejak 1 Januari hingga 19 Juni 2020. Di antaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual, angka ini tergolong tinggi. Ungkap Asisten Deputi Bidang perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Valentina Gintings. (tirto.id, 24/6/2020)
Padahal, peringatan Hari Anak Nasional (HAN) diharapkan dapat dimaknai sebagai kepedulian seluruh bangsa Indonesia terhadap perlindungan anak Indonesia.
Melalui kepedulian dalam menghormati, menghargai, dan menjamin hak-hak anak tanpa diskriminasi, serta memastikan segala hal yang terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan 79,55 juta anak Indonesia secara optimal apalagi di masa pandemi Covid-19.
Hingga pemerintah pun mengangkat tema HAN 2020 “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” dengan tagline #AnakIndonesiaGembiradiRumah.
Tampaknya, setiap peringatan HAN diperingati, maka pada saat itu pula kasus kekerasan anak diinformasikan terus meningkat. Tak ada perubahan signifikan untuk menanggulangi kekerasan yang terjadi pada anak.
Menurut Direktur Rehabilitasi Sosial Anak, Kanya Eka Santi, kekerasan anak disebabkan masih banyaknya pihak yang tidak tahu pola pengasuhan yang baik dan benar.
Sebagai contoh, kekerasan anak yang terjadi di Medan (Sumatera Utara), IF (10) dan RA (5) tewas mengenaskan di tangan ayah tirinya. Menurut penyelidikan, kedua anak malang itu mengalami luka parah di bagian kepala.
Sementara ayah tiri korban mengaku menghabisi nyawa kedua anaknya lantaran sakit hati atas ucapan mereka. Karena tidak memiliki uang untuk membeli es, anaknya mengatakan sesuatu yang membuatnya sakit hati. (kompas.com,23/6/2020)
Tingginya angka kekerasan anak pun terjadi di Nusa Tenggara Barat, selama masa pandemi Covid-19, kasus kekerasan seksual terhadap anak merangkak naik. Persentase peningkatan kasusnya mencapai hampir 40 persen. Berdasarkan data, terhitung dari Januari hingga Mei 2020 ada sebanyak 89 kasus yang ditangani. (lombokpos.jawapos.com,15/6/2020)
Kekerasan Anak Terus Berulang, Negara Lepas Tangan
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Leny Nurhayati Rosalim mengatakan kekerasan terhadap anak meningkat selama pandemi disebabkan orang tua yang mengalami stres. Orang tua kehilangan sumber pendapatan, cemas tidak mampu membayar tagihan, dan banyak yang tidak mampu mengelola mentalnya. (nasional.tempo.co, 16/5/2020)
Sebelum masa pandemi pun kasus kekerasan pada anak bertambah banyak. Hal ini menunjukkan ada kesalahan dalam menyelesaikan masalah ini. Ada akar masalah yang tidak pernah tersentuh, hingga menyebabkan dalam kondisi apa pun kekerasan pada anak akan terus berulang.
Secara keseluruhan, satu miliar anak menderita akibat kekerasan fisik, seksual, atau psikologis setiap tahun, khususnya di tempat di mana negara gagal membuat program-program pendukung. Pandemi ikut memperburuk keadaan ini.
Di Indonesia diperkirakan ribuan anak kini menjadi yatim piatu saat pandemi Covid-19. Hal itu diungkapkan Deputy Program Impact and Policy Save the Children Indonesia Tata Sudrajat dalam diskusi daring tentang anak yang kehilangan orang tua karena Covid-19. (suara.com, 21/6/2020)
Bila dicermati program pemerintah lebih banyak mengembalikan tanggung jawab perlindungan anak dari kekerasan kepada orang tua dan keluarga. Tanggung jawab pemerintah seolah cukup mewujudkan dengan pemberian sanksi yang lebih berat pada pelaku kejahatan dan pemberian fasilitas agar korban kekerasan mendapatkan bantuan pengobatan dan pemulihan kondisi mental.
Ditambah lagi banyak kebijakan yang kontradiktif dan kontraproduktif dengan misi perlindungan anak. Merevisi perundang-undangan anak atau menggagas peraturan baru bukan solusi terhadap kekerasan anak. Sejatinya yang dibutuhkan adalah perubahan sistem yang mendasar.
Negara pula yang memiliki kemampuan dengan segala perangkat yang dimilikinya untuk melakukan perubahan sistem tersebut. Tidak mungkin bisa menyelesaikan masalah kekerasan dan kejahatan anak jika yang melakukannya hanya individu dan keluarga.
Negara memiliki beban sebagai pengayom, pelindung, dan benteng bagi keselamatan seluruh rakyatnya, demikian juga anak. Nasib anak menjadi kewajiban negara untuk menjaminnya.
Kekerasan pada anak akan terus berulang selama negara berlepas tangan dan tidak segera menyelesaikannya hingga mengubah sistem yang mendasar.
Buang Jauh-jauh Sekuler-Liberal, Ganti dengan Islam
Kekerasan pada anak merupakan buah dari penerapan sistem sekuler dan liberal yang rusak, yang hanya melahirkan kerusakan dan kebobrokan di semua lini kehidupan. Bila sistem sekuler yang berjalan saat ini terbukti hanya melahirkan maraknya tindakan kekerasan pada anak, selayaknya sistem ini dibuang jauh-jauh dari kehidupan umat yang mayoritas muslim ini.
Islam memiliki mekanisme perlindungan pada anak yang sistemis, lewat berbagai peraturan.
Pertama, Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja yang layak agar setiap kepala keluarga dapat bekerja dan mampu menafkahi keluarganya. S
ehingga tidak ada anak yang telantar, krisis ekonomi yang memicu kekerasan anak oleh orang tua yang stres bisa dihindari, para ibu akan fokus menjalankan fungsi keibuannya dalam mengasuh, menjaga, dan mendidik anak karena tidak dibebani tanggung jawab mencari nafkah.
Kedua, negara menetapkan kurikulum berdasarkan akidah Islam yang melahirkan individu bertakwa. Salah satu hasil dari pendidikan ini adalah kesiapan orang tua menjalankan salah satu amanahnya yaitu merawat dan mendidik anak-anak, serta mengantarkan mereka ke gerbang kedewasaan.
Ketiga, Negara juga menerapkan sistem sosial yang akan menjamin interaksi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan ketentuan syariat.
Perempuan diperintahkan untuk menutup aurat dan menjaga kesopanan, serta menjauhkan mereka dari eksploitasi seksual, larangan khalwat, larangan memperlihatkan dan menyebarkan perkataan, serta perilaku yang mengandung erotisme dan kekerasan serta merangsang bergejolaknya naluri seksual.
Dapat dipastikan ketika sistem sosial Islam diterapkan tidak akan memunculkan gejolak seksual yang liar memicu kasus pencabulan, perkosaan, serta kekerasan pada anak.
Keempat, media massa juga berperan menginformasikan sesuatu yang berguna untuk membina ketakwaan dan menumbuhkan ketaatan pada Allah SWT. Apa pun yang akan melemahkan keimanan dan mendorong terjadinya pelanggaran hukum syara’ akan dilarang keras.
Kelima, negara memberikan hukuman tegas terhadap pelaku kejahatan, termasuk orang-orang yang melakukan kekerasan dan penganiayaan anak. Hukuman tegas akan membuat jera pelakunya dan mencegah orang lain melakukan kemaksiatan yang sama.
Di samping kelima aturan tersebut ditempuh negara untuk menyelesaikan persoalan kekerasan pada anak, orang tua juga berperan penting dalam menyayangi anak-anaknya, mendidiknya, serta menjaganya dari ancaman kekerasan, kejahatan, dan terjerumus pada azab neraka .
Sebagaimana firman Allah SWT:
أَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim [66]:6)
Pemahaman yang menyeluruh terhadap hukum-hukum Islam menjadi salah satu benteng yang akan menjaga anak terjebak pada kondisi yang mengancam dirinya.
Masyarakat juga wajib melindungi anak-anak dari kekerasan dengan melakukan amar makruf nahi mungkar. Tidak akan membiarkan kemaksiatan terjadi di sekitar mereka.
Negara juga tak luput dari kontrol masyarakat, jika ada indikasi negara abai terhadap kewajibannya berdasarkan aturan Islam, maka masyarakat akan mengingatkannya.
Penyebab utama kekerasan pada anak tidak lain dari penerapan ekonomi kapitalis, penyebaran budaya liberal, serta politik demokrasi.
Sudah seharusnya menghilangkan sumber masalahnya dengan menerapkan Islam dalam naungan Khilafah. Khilafah akan menjamin keberlangsungan kehidupan manusia, sejahtera, serta aman dari segala tindakan kekerasan pada setiap individu rakyatnya.
Segera buang jauh-jauh sistem rusak dan merusak sendi-sendi kehidupan manusia yaitu Sekuler-Liberal. Ganti dengan Islam yang menenangkan jiwa serta menjaga anak-anak kita dari berbagai bahaya yang mengancam. [MNews]
Mengerikan kasus kekerasan anak meningkat
Sunhanallah
anak berhak hidup sampai Allah yang menentukan kapan ia kembali