Data Pasien Tes Covid-19 Bocor, Pakar Biomedik: RUU PDP Solusi Palsu
MuslimahNews.com, NASIONAL — Sekitar 230 ribu data pasien Covid-19 di Indonesia diklaim telah diretas pihak tidak bertanggung jawab. Dilansir Republika.co.id, data tersebut mencakup tanggal laporan, status pasien, nama responden, kewarganegaraan, jenis kelamin, usia, nomor telepon, alamat tinggal, keluhan yang dialami, bahkan nomor induk kependudukan (NIK). (21/06/2020).
Hal ini diperparah dengan beredarnya kabar data Covid-19 Indonesia diperjualbelikan di situs gelap. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pun langsung membantah kebocoran ini dan memastikan tidak ada akses ilegal yang dilakukan pihak tidak bertanggung jawab berkenaan data pasien tersebut.
Meski demikian, pakar hukum telematika Universitas Indonesia Edmon Makarim mengusulkan pembentukan komisi perlindungan data pribadi. Pembentukannya dapat diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP).
Edmon mengatakan komisi tersebut harus bersifat independen agar dapat bertugas dengan baik dalam melindungi data pribadi yang dapat disalahgunakan pemerintah dan korporasi.
“RUU PDP yang ada, tidak memiliki rumusan tentang keharusan ada komisi independen untuk melindungi data pribadi. Padahal seharusnya ada komisi independen untuk melindungi data pribadi,” ujar Edmon dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi I DPR (republika.co.id, 02/07/2020).
Menurut Edmon, penyalahgunaan data pribadi dapat dilakukan pihak mana pun, termasuk pemerintah yang memang menampung data pribadi warganya. “Yang dapat melakukan abuse of power ada dua. Selain korporasi, ada administrasi negara,” ujarnya.
Diketahui, RUU PDP (Perlindungan Data Pribadi) masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2020. Komisi I DPR berencana menyelesaikannya pada tahun ini.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menjelaskan, saat ini data menjadi isu yang perlu dipikirkan perlindungannya di era digital. Menurutnya, masyarakat yang memberikan data harus memiliki kepercayaan bahwa datanya aman. Jika kepercayaan tersebut disalahgunakan, RUU PDP dapat menjadi payung hukum bagi korban.
Untuk itu, Johnny berharap besar Komisi I DPR atas RUU PDP ini. Anggota Komisi I DPR sendiri, Willy Aditya menyatakan DPR dan pemerintah sudah sejalan untuk segera merampungkan RUU PDP ini. Hanya tinggal beberapa bagian yang dirasa perlu disempurnakan.
Turut merespons hal ini, pengamat kebijakan publik dan doktor biomedik, Dr. Rini Syafri menegaskan, jika benar terjadi kebocoran (linkage) data pribadi pasien Covid-19, jelas sangat memprihatinkan.
“Hal ini karena mencakup data confidential (rahasia) spesifik yang erat kaitannya dengan kesehatan dan keselamatan jiwa ratusan ribu pasien Covid-19,” jelasnya.
Dr. Rini menyatakan isu ini semestinya menjadi peringatan keras bagi pemerintah sebagai pihak paling bertanggung jawab terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat. Di mana data ini rawan digunakan untuk kepentingan yang membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa pasien.
“Jika bermaksud baik, tentu si pencuri dan pemakai data akan meminta data itu kepada si pemilik secara terus terang, sembari menjelaskan kepentingannya adalah untuk kesehatan dan keselamatan jiwa pasien si pemilik data dan bani insan pada umumnya. Namun faktanya tidak demikian yang dilakukan,” papar Dr. Rini.
Dr. Rini juga menduga bahwa sangat mungkin data itu digunakan oknum korporasi farmasi, dengan alasan hingga hari ini riset Covid-19 masih berlangsung khususnya untuk penentuan standar pengobatan Covid-19 berikut obat-obatannya.
Data hasil tes PCR berikut rekam medik lainnya dari ratusan ribu pasien Covid-19 Indonesia, lanjut Dr. Rini, jelas sangat bermanfaat bagi riset-riset semacam itu. Selain tidak mudah, riset tersebut juga butuh banyak tenaga ahli dan jumlah sampel, serta biaya yang jelas sangat besar.
“Untuk tes PCR satu kali saja bisa ratusan ribu rupiah, nah, berapa biaya yang akan dikeluarkan untuk sejumlah tes PCR pada ratusan ribu pasien? Ini data yang sangat mahal. Sementara bagi korporasi, untung/profit adalah yang utama. Tambahan lagi, pandemi ini dalam pandangan kapitalisme adalah objek bisnis yang menggiurkan,” kritik Dr. Rini.
Adanya kebocoran data dan yang sebelumnya terjadi, menurut Dr. Rini adalah akibat pengarusan global agenda RI 4,0, berikut penggunaan berbagai teknologi era RI 4.0, yakni internet of things (IoT) dan Big Data. Di satu sisi berbagai teknologi tersebut memberikan manfaat, di saat yang bersamaan juga membahayakan bila tidak berada di tangan yang tepat.
“Barat sebagai pemilik riset dan teknologi terkini RI 4.0, tentu akan menggunakan teknologi itu sesuai visi hidup dan karakter peradaban mereka sebagai penghegemoni dunia,” beber Rini.
Dr. Rini menilai, pada kasus Indonesia, khususnya ketika Indonesia hanya sebagai pengguna atau pemanfaat teknologi IoT dan Big Data seperti saat ini, wajar ketika kebocoran server tidak mampu diantisipasi secara teknologi akibat lemahnya penguasaan terhadap riset dan teknologi terkini.
“Belum lagi rawannya kejahatan oleh personal pengendali data (admin server), juga tidak terlepas dari keberadaan sistem kehidupan sekuler yang begitu didominasi nilai materi,” jelas Dr. Rini.
Maka, demi keuntungan materi dan kesenangan individu, seseorang akan mudah terjerumus pada perbuatan yang mencelakakan banyak orang.
Dr. Rini menegaskan, sangat jelas upaya tambal sulam berupa RUU PDP hanyalah solusi palsu yang tidak menyentuh akar masalah.
“Indonesia dan dunia hanya akan bebas dari kejahatan berbasis penggunaan teknologi RI 4.0 manakala riset dan teknologi terkini RI 4.0 khususnya IoT dan Big Data berada di tangan peradaban yang sehat, sejak dari asas hingga karakternya,” jelasnya.
Dr. Rini menegaskan, peradaban tersebut berkarakter penyejahtera bagi seluruh alam, yakni peradaban Islam yang hanya akan terwujud dengan kehadiran Khilafah. [MNews]
Islam solusi hakiki
terus mencari keuntungan di masa yang semakin buntung ini