Lupakan “New Normal”, Saatnya Khilafah Hadir Kembali (1/2)
Membongkar Kepalsuan Agenda “New Normal” di Balik Pandemi Tidak Terkontrol (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Oleh: Dr. Rini Syafri (Doktor Biomedik dan Pengamat Kebijakan Publik)
MuslimahNews.com, ANALISIS – Bahaya agenda “New Normal” (Kenormalan Baru) di depan mata. Sebab, meski baru seumur jagung, dicanangkan PBB 25 April lalu[1], dan berada di fase transisi, namun yang dikhawatirkan para ahli[2],[3] benar adanya. Yakni, pandemi yang makin tak terkendali.
Hal itu disebut WHO (World Health Organization) sebagai fase baru berbahaya. “Lebih dari 150.000 kasus baru Covid-19 dilaporkan pada WHO kemarin, sebagai angka tertinggi dalam sehari. Dunia berada pada fase baru yang berbahaya…..[4]”
Demikian news release WHO tertanggal 19 Juni bertajuk “Pidato pembukaan Direktur Jenderal WHO pada briefing media tentang Covid-19, 19 Juni 2020”.
Tiga hari kemudian, pada 22 Juni 2020, WHO pun mengakui bahwa agenda “New Normal” berupa pelonggaran pembatasan sosial di tengah pandemi adalah yang bertanggung jawab atas peningkatan kasus baru yang semakin tinggi.
Dinyatakannya, “Tampaknya hampir setiap hari kita mencapai rekor baru yang suram. Lebih dari 183.000 kasus Covid-19 dilaporkan ke WHO kemarin, sebagai angka tertinggi dalam sehari. Lebih dari 8,8 juta kasus sekarang dilaporkan pada WHO, dan lebih dari 465.000 jiwa kehilangan nyawa. Beberapa negara terus menunjukkan peningkatan yang cepat dalam kasus dan kematian. Sejumlah negara yang berhasil menekan penularan sekarang terlihat meningkat dalam kasus ketika mereka membuka kembali masyarakat dan ekonominya[5]”
Fase Baru Berbahaya Tengah Mengancam Dunia dan Indonesia
Agenda “New Normal” telah mengantarkan dunia pada fase baru berbahaya. Itu tampak di berbagai negara di dunia hari ini. Amerika pengusung peradaban sekuler kapitalisme. Selama beberapa pekan terakhir setelah pembukaan ekonomi dan sosial terjadi peningkatan kasus baru yang signifikan.
Per 1 Juli Amerika Serikat mencatat 50.000 kasus baru[6]. Sementara negara-negara Eropa yang dinilai berhasil menekan penularan namun kondisinya sama saja. Seperti Italia, pembukaan sosial dan ekonomi telah memunculkan klaster baru di utara hingga selatan[7] dan per 4 Juli 2020 tercatat 14.884 yang terinfeksi[8].
Di Spanyol, terjadi peningkatan 1.902 kasus baru selama 7 hari terakhir, sementara data yang dirilis pada 20 Juni sebelum “New Normal” menunjukkan ada 1.450 kasus baru selama 7 hari[9].
Sementara Swedia, tercatat 947 kasus baru dan terjadi lonjakan kasus baru selama sebulan terakhir seiring perluasan pengujian[10].
Di Indonesia, kondisinya tidak kalah mengkhawatirkan. Sejak pelaksanaan transisi, kasus baru mencapai rekor tertinggi harian. Yakni, pada 6 Juni dengan 993 kasus baru, melebihi angka tertinggi pada 21 Mei dengan 973 kasus. Bahkan, penambahan ribuan kasus baru mulai terjadi sejak 9 dan 10 Juni, yaitu 1.043 kasus dan 1.240 kasus[11].
Kondisi suram ini terus berlanjut hingga saat ini, sebagaimana terlihat dari data resmi pemerintah beberapa hari terakhir. Yaitu Sabtu, 27 Juni 2020 ada 1.385 kasus[12], pada 2 Juli 2020 ada 1.624 kasus[13], dan 3 Juli ada 1.301 kasus[14].
Positivity rate yang tidak meningkat bahkan menurun dibandingkan bulan Mei[15] tidaklah mengurangi fakta persoalan. Sebab, nyawa satu orang di antara seratus orang tidak ada bedanya dengan nyawa satu orang di antara sejuta orang.
Memakai formulasi ini sama saja membenarkan logika sekularisme yang mengentengkan kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, karenanya harus dikoreksi.
Bukan Sekadar Masalah Teknis dan Saintifik
Adapun pandangan bukan agenda “New Normal” yang bermasalah akan tetapi lebih karena pelaksanaannya yang salah, seperti pelaksanaan tidak berbasis data saintifik serta waktu yang tidak tepat[16],[17], berikut penjelasannya:
Sedikitnya ada tiga hal yang menunjukkan bahwa agenda “New Normal” adalah penyebab pandemi Covid-19 hari ini semakin tidak terkontrol.
Pertama, Agenda “New Normal” Mengharuskan Dunia Menanggulangi Wabah dengan Konsep yang Terbukti Gagal.
Bahkan, yang bertanggung jawab atas pandemi berkepanjangan yakni penanggulangan pandemi sekularisme WHO. Konsep sekuler ini[18] menihilkan peran wahyu dan mencukupkan pada upaya pendeteksian, pengujian, isolasi, perawatan, dan pelacakan kontak. [19]
Akibatnya, melalui imported case (kasus impor), local imported case (kasus impor lokal), dan local transmition (penularan lokal), wabah semula di Wuhan-Cina dan semestinya dapat dicegah, meluas dengan cepat ke seluruh penjuru dunia.
Sementara itu upaya tambal sulam physical distancing atau social distancing sia-sia belaka. Tampak dari pandemi yang masih terus berlanjut melebihi dua periode masa inkubasi terlama virus bahkan lebih dari enam bulan.
Tidak saja soal panjangnya waktu pandemi, yang tidak kalah serius adalah sudah puluhan juta jiwa yang terinfeksi dan jutaan orang telah terbunuh.
Adapun sejumlah pedoman yang ditetapkan WHO bagi pelaksanaan “New Normal” [20], tidak berarti WHO meninggalkan prinsip yang salah itu, sebaliknya, justru mengukuhkan.
Ini terlihat dari pedoman ke-2, yaitu “Kesehatan masyarakat dan kapasitas sistem kesehatan termasuk rumah sakit tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina”.
Diperkuat oleh pedoman ke-1, yaitu, “Bukti menunjukkan transmisi Covid-19 terkontrol,” dan pedoman ke-5, yaitu, “Kasus impor dapat dikelola.”
Jadi, bukan wabah benar-benar terbasmi baru kemudian beraktivitas seperti biasa. Tambahan, ukuran “terkontrol” dan “terkelola” juga absurd sebagaimana tampak pada penolakan sebagian ahli epidemiologi terhadap penggunaan indikator Ro (Reproduksi dasar, prediksi rata-rata orang yang ditularkan dari seorang terinfeksi) dan Rt (Reproduksi efektif, rata-rata orang yang dapat ditularkan dari satu orang terinfeksi sesudah intervensi pemerintah). Sebab, indikator ini tidak tepat bagi wabah yang penularannya dari orang ke orang[21].
Sementara itu, wabah sekecil apa pun berpotensi menjadi besar, bagaikan setitik api di antara kayu yang kering. Itulah yang dapat disaksikan di Korea Selatan dan di Cina baru-baru ini.
Karenanya, tidak heran pelonggaran pembatasan atau AKB sebagai awal pelaksanaan “New Normal” mengakibatkan peningkatan kasus baru yang cepat.
Kedua, Agenda ‘New Normal” Mengharuskan Dunia Tetap Berada dalam Sistem Kesehatan Kapitalisme.
Sementara, terbukti sistem kesehatan kapitalisme begitu rapuh menghadapi hantaman pandemi, hingga pada negara-negara yang dinilai memiliki sistem kesehatan terbaik di dunia[22] seperti Amerika Serikat[23] dan Italia[24].
Sebab, Industrialisasi sistem kesehatan telah menihilkan sistem kesehatan dari ketulusan dan bersandar pada pilar yang lemah. Seperti fungsi negara sebagai regulator, pembiayaan berbasis asuransi, dan faskes sebagai korporasi atau badan usaha.
Di Indonesia, bahaya industrialisasi sistem kesehatan semakin nyata seiring lonjakan kasus positif baru yang dramatis. Mulai dari mahalnya harga test PCR (Polymerase Chain Reaction)[25], hasil yang lambat karena keterbatasan fasilitas laboratorium dan kelengkapannya termasuk SDM[26], keterbatasan fasilitas kesehatan sesuai standar penanganan Covid-19[27], klaim tagihan terlambat[28], hingga mahalnya biaya perawatan penderita Covid-19 khusus di rumah sakit swasta.[29].
Karena Covid-19 termasuk penyakit menular yang mematikan, maka semua ini tidak saja membahayakan kesehatan dan nyawa penderita, namun juga menjadi sumber penularan baru dan memperpanjang rantai penularan16.
Ketiga, Agenda “New Normal” Mengunggulkan Nilai Materi di Atas Kesehatan dan Keselamatan Jiwa Manusia.
Hal ini terlihat dari peran PBB yang selama ini hadir untuk peradaban barat yang hanya mengakui nilai materi. Terlebih lagi, teks yang berisi pernyataan resmi PBB terkait peta jalan “new normal” menyatakan secara tegas bahwa ekonomi (baca: nilai materi) harus menjadi fokus.
Dinyatakan, “Segala sesuatu yang kita lakukan selama dan setelah krisis ini harus difokuskan secara kuat untuk pembangunan ekonomi dan masyarakat yang lebih setara, inklusif dan berkelanjutan…”[30]. Demikian sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutteres.
Sementara maksud frase “membangun masyarakat yang lebih setara, inklusif, dan berkelanjutan” dalam pernyataan tersebut tidak dapat dimaknai lain kecuali masyarakat sekuler, yang hanya mengakui nilai materi.
Karena itu, demi kepentingan ekonomi dan pemilik modal fase transisi atau AKB dilakukan, sementara pandemi sedang mengganas. Seperti di Amerika[31],dan Inggris,[32] juga di Indonesia seperti di DKI[33], Surabaya[34], Pekanbaru[35], dan sejumlah kota besar lainnya.
Ini semua cukup menjadi bukti bahwa pandemi Covid-19 yang semakin tidak terkontrol di negeri ini adalah buah pahit kelalaian pemerintah. Dan di dunia, ini tidak lepas dari peran PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan underbow-nya, yang sejak awal berdedikasi bagi kepentingan barat.
Terlebih, “New Normal” hanyalah agenda penjajahan yang diharamkan Islam. “Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS An Nisa [4]:141).
Karenanya, jika pemerintah tulus bermaksud mengakhiri pandemi dan menyejahterakan negeri ini, maka jalan satu-satunya adalah bersegera mengakhiri semua agenda hegemoni khususnya “New Normal”. Hal ini jelas membutuhkan hadirnya negara berkarakter sebagai perisai/pelindung, yakni Khilafah.
Sebagaimana ditegaskan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang artinya, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).
Tidak saja bagi Indonesia, bahkan Khilafah akan hadir untuk dunia. “…Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin…” (TQS Al Munafiquun [63]:8). Allahu A’lam. [MNews]
Bersambung ke bagian dua: “Prinsip Islam dalam Penanggulangan Pandemi dan Pemutusan Rantai Penularan yang Efektif”.
Pranala referensi:
[1] https://www.un.org/africarenewal/news/coronavirus/new-normal-un-lays-out-roadmap-lift-economies-and-save-jobs-after-covid-19
[2] https://www.financialexpress.com/world-news/donald-trump-presses-for-schools-to-reopen-makes-dig-at-anthony-fauci-1958512/
[3] https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200525125056-20-506678/kerja-diperbolehkan-idi-ingatkan-gelombang-kedua-corona
[4] http://www.who.int/dg/speeches/deteil/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19–19-june-2020
[5] https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19–22-june-2020
[6] https://www.nytimes.com/2020/07/01/world/coronavirus-updates.amp.html
[7] https://www.aa.com.tr/en/latest-on-coronavirus-outbreak/italy-for-1st-time-sees-single-digit-daily-deaths-from-covid-19/1892183
[8] https://www.worldmeters.info/coronavirus/country/italy/
[9] https://www.spainenglish.com/2020/7/01/coronavirus-spain-1-july/
[10] https://www.thejakartapost.com/news/2020/07/03/swedens-confirmed-covid-19-cases-surpass-70000.html
[11] https://www.thejakartapost.com/news/2020/06/16/indonesia-records-new-daily-highs-in-cases-during-trantition-to-new-normal.html
[12] https://covid19.go.id/p/berita/pasien-sembuh-covid-19-jadi-21909-kasus-positif-bertambah-1385
[13] https://www.covid-19.go.id/p/berita/update-perkembangan-kasus-covid-19-positif-1624-meninggal-53-dan-sembuh-1072-orang
[14] https://covid19.go.id/p/berita/pasien-sembuh-covid-19-jadi-27.568-kasus-positif-bertambah-1301
[15] https://covid.go.id/p/berita/perkembangan-covid-19-juni-dr-dewi-angka-positivity-rate-lebih-rendah-dari-bulan-mei
[16] https://nasional.tempo.co/read/1357211/jokowi-tunjukkan-data-sains-kebijakan-new-normal-wabah-covid-19
[17] https://amp/kompas.com/nasional/read/2020/06/10/12490321/jokowi-minta-pemda-tak-sembarangan-putuskan-berlakukan-new-normal
[18] https://apps.who.int/iris/rest/bitstream/1031116/retieve. 9789241580496-eng.pdf. IHR Pasal 3, butir ke 1. “The implementation of these Regulations shall be with full respect for dignity, human rights and fundamental freedoms of persons.
[19] https://www.who.int/southeastasia/news/detail/15-05-2020-local-epidemiology-should-guide-focused-action-in-new-normal-covid-19-world. “Dalam setiap skenario penularan langkah inti kesehatan masyarakat tetap diberlakukan melalui deteksi cepat (rapidly detect), tes (test), isolasi (isolate), perawatan (care), dan penelusuran kontak (trace contact).”
[20] https://www.who.int/southeastasia/new/detail/15-05-2020-local-epidemiology-should-guide-focosed-action-in-new-normal-covid-19-world
[21] https://www.vivanews.com/berita/nasional/51553-pakar-epidemiologi-tidak-tepat-rt-dan-ro-jadi-patokan-new-normal-corona?medium=autonext
[22] https://hub.jhu.edu/2020/02/27/trump-johns-hopkins-study-pandemic-coronaviruscovid-19-649-emo0-art-dtd-health
[23] https://www.washingtonpost.com/business/economy/the-us-health-system-is-showing-why-is-not-ready-for-a-c-oronavirus-pandemic/2020/03/04/7c307bb4-5d6111ea-b29b-9db42f7803a7_story.html
[24] https://www.nytimes.com/2020/03/12/world/europe/12italy-coronavirus-health-care-html.
[25] https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/21/070800965/harga-tes-covid-19-mahal-ini-kata-kemenkes-dan-ylki;
[26] https://amp.kompas.com/megapolitan/read/2020/05/27/09520831/deteksi-dini-covid-19-kota-tanggerang-terkendala-hasil-test-pcr-yang-lambat
[27] https://theconversition.com/mengapa-rumah-sakit–kewalahan-hadapi-pandemi-covid-19-dan-apa-dampaknya-bagi-keselamatan–pasien-136522
[28] https://www.radarcirebon.com/2020/06/08/tagihan-rumah-sakit–pasien-covid-19-rp4-m-baru-dibayar-rp40-juta
[29] https://www.viva.co.id/berita/nasional/1221319-mengapa-tagihan-rawat-corona-covid-19-di-rs-swasta-bisa-rp-70-juta
[30] https://www.un.org/africarenewal/news/coronavirus/new-normal-un-lays-out-roadmap-lift-economies-and-save-jobs-after-covid-19
[31] https://:www.kff.org/coronaviruspolicy-watch/stay-at-home-orders-to-fight-covid-19
[32] https://www.theguardian.com/world/2020/jun/14/who-cautions-against-futher-lifting-lockdown-england
[33] https://m.bisnis.com/amp/read/20200610/77/1250952/5-hari-psbb-tansisi-dki-penambahan-kasus-positif-covid-19-jakarta-masih-saja-tinggi
[34] https://surabaya.tribunews.com/2020/06/15/dokter-dan-tenaga-medis-surabaya-persoalkan-new-normal-saat-pandemi-covid-19-tinggi-khawatirkan-ini
[35] https://m.bisnis.com/amp/read/20200623/533/1256341/kasus-corona-naik-jubir-gugus-tugas-riau-kritik-angka-negarif-palsu-rapid-test
MasyaAllah, saatnya Khilafah memimpin dunia
Astagfirullah, new normal hanya memperburuk keadaan
New Normal adalah kembali kepada Syariah Kaffah
Sistem kapitalisme gagap hadapi corona..
Hnya islam yang memiliki solusi tuntas dlm penanganan wabah.
Semoga pandemi segera berakhir, dan khilafah segera hadir
Khilafah adalah melanjutkan kehidupan islam
Benar new normal bkn solusi
Back to Khilafah ajah
MasyaAllah
Wajah buruk kapitalisme terpampang jelas, saatnya meninggalkannya & kembali ke Islam kaffah
Islam solusi segala persoalan
Kata dr Nazreen apa
We do not need new normal we need new paradigm and vision
Kehiduoan saat ini penuh dengan keterpaksaan
Astaghfirullah. new normal hanya menguntungkan pemodal asing
masyaAllah
Masya Allah
umat harus dididik lebih kritis dalam menghadapi problem pandemi ini dan memahami akar masalahnya
Subhanallah…..sungguh….khilafah hadirnya semakin dinanti….masa pandemi yang tidak bisa diprediksi sampai kapan , dikarenakan juga tidak ada itikad baik dari seluruh negara di dunia ini untuk benar2 mengatasi dan mengakhirinya, membuat sistem khilafah jadi satu2 nya harapan,karena hy khilafah yang akan dengan IKHLAS melakukan seluruh langkah untuk mengatasi, mengobati penderita covid19, bahkan menghentikan pandemi ini scr global…. Semoga Allah segera menurunkan pertolongan untuk tegaknya ….amiin
“New Normal” hanyalah agenda penjajahan yang diharamkan Islam. Istilah yg seolah2 memberi harapan pdhal ia membawa byk racun bagi umat dan itu sudh nampak
Khilafah come Backkk..
New normal adalah hegemoni di masa pandemi
Allahu Akbar
Solusi tambal sulam, masalah semakin numpuk #UninstallCapitalism
BACK TO KHILAFAH….
Semoga khilafah segera tegak
Memang khilafah solusi problematika kehidupan<3
Sepakat new system
Khilafah sudah dekat. Janji Allah itu pasti
astgafirullah… Sudah saatnya khilafah tegak karena sdh bnyak kedzoliman tampak dimasyarakat
Umat butuh pemimpin yg bnr2 meriayah rakyatnya, semua itu hanya ada dlm sistem khilafah.
Solusi penanganan covid-19 oleh ideologi kapitalis-sekuler terbukti gagal!! Terlihat dr adanya kebijakan new normal ini. Sungguh tolak ukur materi lbh berharga dibanding keselamatan nyawa manusia. Sungguh ideologi zalim, nah maka dr it sdh saatnya Khilafah kembali memimpin dunia ?
Jika pemerintah tulus bermaksud mengakhiri pandemi dan menyejahterakan negeri ini, maka jalan satu-satunya adalah bersegera mengakhiri semua agenda hegemoni khususnya “New Normal”. Hal ini jelas membutuhkan hadirnya negara berkarakter sebagai perisai/pelindung, yakni Khilafah.
Khilafah wa’dullah
New normal sebagai solusi yang ditawarkan PBB dalam menyelesaikan pandwmi terbukti gagal, hanya khilafah yang menjadi solusi alternatif.
Hanya KHILAFAH solusi TUNTAS problem manusia.
Nyawa di sistem ini tidak ada harganya
Back to islam, need khilafah.
Agenda ‘New Normal’ meniscayakan diperpanjangnya sistem kufur kapitalisme yang mengundang musibah..
New normal di tengah kondisi wabah yg semakin mencekam menunjukan ketidakmampuan kapitalisme memberi solusi atas penanganan wabah..