Fikih

[Tanya-Jawab] Saling Berjauhan dalam Salat Merupakan Bid’ah, Dosanya Dipikul Penguasa

Oleh: Syekh ‘Atha’ bin Khalil Abu Ar-Rasytah

بسم الله الرحمن الرحيم

MuslimahNews.com, FIKIH – Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah (Saw.), keluarga dan para sahabat beliau, serta orang yang mengikuti beliau. Wa ba’du.

Kepada semua orang yang mengirimkan kepada saya pertanyaan tentang saling berjauhan dengan jarak dua meter di antara makmu            n               m di dalam salat jemaah dan salat Jumat.

Mereka mengatakan bahwa para penguasa di beberapa negeri kaum muslim menutup masjid-masjid, dan ketika mereka membukanya mereka mengharuskan orang-orang yang salat untuk saling berjauhan dengan jarak dua meter.

Penguasa menjustifikasi yang demikian itu bahwa penyakit itu menjadi uzur. Jadi sebagaimana orang boleh salat sambil duduk, maka diqiyaskan kepadanya, orang berjauhan dari orang di sampingnya dengan jarak dua meter, bahkan hingga seandainya orang itu tidak sakit, melainkan dikhawatirkan penyakit maka dia saling menjauh.

Mereka bertanya-tanya, apakah boleh penguasa mengharuskan orang-orang yang salat untuk saling berjauhan menurut jarak yang disebutkan sebelumnya? Atau, saling berjauhan ini adalah bidah yang mana penguasa akan memikul dosanya? Dan para penanya mendesak untuk segera mendapatkan jawaban.

Dan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka, saya katakan dan dengan taufik dari Allah SWT:

Kami telah memublikasikan lebih dari satu jawaban mengenai bid’ah.

Seandainya para penanya merenungkannya, niscaya menjadi jelas untuk mereka jawaban bahwa saling berjauhan menurut gambaran yang disebutkan itu adalah bidah yang penguasa akan memikul dosanya jika mengharuskan masyarakat dengan saling berjauhan ini.

Penjelasan yang demikian itu sebagai berikut:

Pertama, kami telah memublikasikan pada 28 Rajab 1434 H/7 Juni 2013 M, yang di situ dinyatakan: (… bid’ah adalah menyalahi perintah asy-Syâri’ yang dinyatakan tata cara penunaiannya. Bid’ah secara bahasa seperti dicantumkan di Lisân al-‘Arab: al-mubtadi’ alladzî ya’tî amran ‘alâ syubhin lam yakun… –Orang yang melakukan bid’ah adalah orang yang melakukan suatu perkara menurut kemiripan (syibhin) yang belum ada… Wa abda’ta asy-syay’a: ikhtara’tahu lâ ‘alâ mitsâlin –Anda melakukan bid’ah: Anda melakukan inovasi tidak menurut yang dicontohkan”.

Bid’ah itu secara istilah juga demikian. Yakni, di situ ada “contoh” yang dilakukan Rasulullah (Saw.) dan seorang muslim melakukannya dengan menyelisihinya. Ini berarti menyelisihi tata cara syar’i yang telah dijelaskan oleh syara’ untuk menunaikan perintah syara’.

Makna ini ditunjukkan oleh hadis:

«وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ» [البخاري ومسلم]

“Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tidak ada ketentuan kami atasnya maka tertolak.” (HR al-Bukhari dan Muslim, dan ini adalah lafazh al-Bukhari).

Begitulah. Siapa yang sujud tiga kali dalam salatnya dan bukannya sujud dua kali, maka dia telah melakukan bid’ah. Sebab dia menyalahi perbuatan Rasul (Saw.).

Siapa yang melempar jumrah delapan kali lemparan, bukan tujuh kali lemparan, ke Jamarât Mina, maka dia telah melakukan bid’ah. Sebab ia juga menyalahi perbuatan Rasul (Saw.).

Siapa yang menambah lafaz azan atau menguranginya, maka ia telah melakukan bid’ah, sebab ia menyalahi azan yang ditetapkan Rasulullah (Saw.).

Adapun menyalahi perintah syara’ yang tidak dinyatakan tata caranya, maka itu masuk dalam bab hukum syara’. Maka dikatakan, itu adalah haram atau makruh, jika itu merupakan khithab taklif; atau dikatakan batil atau fasad, jika merupakan khithab wadh’i. Dan yang demikian itu menurut qarinah yang menyertai perintah tersebut.

Sebagai contoh, imam Muslim telah mengeluarkan hadis dari Aisyah ra., yang mana beliau menggambarkan salat Rasulullah (Saw.). Aisyah ra. berkata, Rasulullah (Saw.) itu:

«… وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ، حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا، وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ، لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ جَالِسًا… » 

“Rasulullah (Saw.) jika beliau mengangkat kepala dari rukuk, beliau tidak sujud hingga tegak berdiri, dan jika beliau mengangkat kepala dari sujud, beliau tidak sujud hingga duduk tegak.”

Di dalam hadis ini Rasulullah (Saw.) menjelaskan bahwa seorang muslim setelah bangkit dari rukuk, ia tidak sujud hingga ia berdiri tegak, dan jika ia mengangkat kepala dari sujud, ia tidak sujud lagi hingga ia duduk tegak.

Baca juga:  Kaidah Dharar dan Hubungannya dengan Wabah Corona dan Berjarak dalam Salat Jemaah

Tata cara ini dijelaskan Rasulullah (Saw.). Maka siapa saja yang menyalahinya, maka ia telah melakukan bid’ah. Jadi jika orang yang sedang salat bangkit dari rukuk kemudian sujud sebelum berdiri tegak, maka ia telah melakukan bid’ah sebab ia menyalahi tata cara yang telah dijelaskan oleh Rasulullah (Saw.).

Akan tetapi contoh lain, Imam Muslim telah mengeluarkan hadis dari Ubadah bin ash-Shamit ra., ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah saw.:

«يَنْهَى عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرِّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرِ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرِ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحِ بِالْمِلْحِ، إِلَّا سَوَاءً بِسَوَاءٍ، عَيْنًا بِعَيْنٍ، فَمَنْ زَادَ، أَوِ ازْدَادَ، فَقَدْ أَرْبَى»

“Beliau melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali harus sama, berupa bendanya dengan bendanya, maka siapa saja yang menambah atau minta tambah maka sungguh telah melakukan riba”.

Seandainya seorang Muslim menyalahi hadis ini, lalu ia menjual emas dengan emas tapi berlebih satu dengan lain, dan bukannya sama timbangannya, maka tidak dikatakan ia telah melakukan bid’ah, melainkan dikatakan bahwa ia telah melakukan keharaman yakni riba.

Ringkasnya: Bahwa menyalahi tata cara yang telah dijelaskan Rasulullah (Saw.) adalah bid’ah. Sementara menyalahi perintah Rasul (Saw.) yang bersifat mutlak tanpa ada penjelasan tata caranya, maka hal itu ada pada bab hukum syara’: haram, makruh, batil, dan fasad. Hal itu sesuai dalil yang menunjukkannya). Selesai…

Dan kami juga telah mengeluarkan yang lebih rinci tentang bid’ah pada 8 Dzulhijjah 1436 H/22 September 2015 M. Demikian pula, kami telah mengeluarkan jawaban lainnya sebelum dan setelah itu, dan itu mencukupi dan memadai dengan izin Allah.

Kedua: atas dasar itu, maka negara-negara di negeri kaum muslim, jika mengharuskan orang-orang yang menunaikan salat agar saling berjauhan satu di samping yang lain sejarak satu atau dua meter, baik apakah yang demikian itu di dalam salat Jumat atau salat jemaah karena khawatir penularan, khususnya tanpa ada gejala-gejala patologis, maka dengan itu dia telah melakukan dosa besar yang mana saling berjauhan ini merupakan bid’ah.

Yang demikian itu karena saling berjauhan dalam salat itu merupakan penyimpangan yang jelas terhadap tata cara shaf dan merapatkannya yang telah dijelaskan oleh Rasulullah (Saw.) dengan dalil-dalil syar’i, di antaranya:

– Imam al-Bukhari telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari Abu Sulaiman Malik bin al-Huwairits, ia berkata: “Nabi (Saw.) mendatangi kami dan kami para pemuda yang sebaya maka kami tinggal bersama beliau selama dua puluh malam, dan beliau seorang yang lemah lembut dan penyayang. Beliau bersabda:

«فَقَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ».

“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian dan ajarkan mereka ilmu dan latihlah mereka dan salatlah kalian sebagaimana kalian lihat aku salat, dan jika waktu salat telah datang maka hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan azan untuk kalian, kemudian orang paling tua di antara kalian yang mengimami kalian”.

– Imam al-Bukhari telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari Anas bin Malik ra., ia berkata: “Dibacakan iqamat salat lalu Rasulullah (Saw.) menghadap kepada kami, lalu beliau bersabda,

«أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ، وَتَرَاصُّوا، فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي»

“Luruskan shaf kalian, dan rapatkanlah, dan aku melihat kalian dari belakang punggungku”.

– Imam Muslim telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari an-Nu’man bin Basyir ra., ia berkata: Rasulullah (Saw.) meluruskan shaf kami hingga seolah-olah beliau meluruskan anak-anak panah, sampai beliau melihat bahwa kami telah memahaminya. Kemudian beliau keluar pada suatu hari dan beliau berdiri (untuk salat), sampai hampir-hampir beliau bertakbir lalu beliau melihat seorang laki-laki dadanya menonjol dari shaf, maka beliau bersabda:

«عِبَادَ اللهِ لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ، أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ»

“Hai hamba-hamba Allah, sungguh kalian meluruskan shaf kalian atau sungguh Allah akan memperlain-lainkan wajah-wajah kalian”.

– Imam Muslim juga telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari Jabir bin Samurah, ia berkata: “Rasulullah (Saw.) bersabda:

Baca juga:  Kaidah Dharar dan Hubungannya dengan Wabah Corona dan Berjarak dalam Salat Jemaah

«أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟» فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟ قَالَ: «يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ».

“Mengapa kalian tidak berbaris sebagaimana para malaikat berbaris di hadapan Rabb mereka?” Kami katakan: “ya Rasulullah, bagaimana para malaikat berbaris di hadapan Rabb mereka?” Beliau bersabda; “mereka melengkapi shaf pertama dan lurus dalam shaf”.

– Al-Hakim telah mengeluarkan, dan ia berkata: “hadis shahih menurut syarat Muslim, dari Abdullah bin Amru, bahwa Rasulullah (Saw.) bersabda:

«مَنْ وَصَلَ صَفّاً وَصَلَهُ اللَّهُ، وَمَنْ قَطَعَ صَفّاً قَطَعَهُ اللَّهُ»

“Siapa yang menyambung shaf maka Allah menyambungnya, dan siapa yang memutus shaf, maka Allah memutusnya”.

– Imam Ahmad telah mengeluarkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah (Saw.) bersabda:

«أَقِيمُوا الصُّفُوفَ فَإِنَّمَا تَصُفُّونَ بِصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفّاً وَصَلَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَمَنْ قَطَعَ صَفّاً قَطَعَهُ اللَّهُ»

“Luruskanlah shaf, tidak lain kalian (harus) berbaris dengan shafnya para malaikat, luruskan antar bahu-bahu, tutuplah celah yang kosong, lunakkan pada tangan saudara kalian dan jangan biarkan ada celah untuk setan, dan siapa yang menyambung shaf maka Allah menyambungnya dan siapa yang memutus shaf maka Allah memutusnya”.

Ini merupakan penjelasan sempurna dari Rasulullah (Saw.) untuk tata cara penunaian salat jamaah. Dan para sahabat ridhwânullâh ‘alayhim patuh (terkat) dengan yang demikian.

Imam Malik telah meriwayatkan di al-Muwatha’ dan al-Baihaqi di as-Sunan al-Kubrâ:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ “يَأْمُرُ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ، فَإِذَا جَاءُوهُ فَأَخْبَرُوهُ أَنْ قَدِ اسْتَوَتْ، كَبَّرَ

Bahwa Umar bin al-Khaththab ra. memerintahkan pelurusan shaf-shaf. Dan jika mereka datang kepadanya, mereka memberitahunya bahwa shaf-shaf telah lurus, (maka) Umar bertakbir.

Ketiga: Tidak dikatakan bahwa penyakti yang menular adalah uzur yang memperbolehkan saling berjauhan di dalam salat.

Tidak dikatakan demikian. Sebab penyakit yang menular adalah uzur untuk tidak pergi ke masjid dan bukan uzur untuk pergi dan saling berjauhan dari orang yang salat di sampingnya satu atau dua meter!!

Penyakit menular terjadi pada masa Rasulullah (Saw.) (Tha’un) dan tidak ada dari Rasul (Saw.) bahwa orang yang terinfeksi Tha’un pergi ke salat dan menjauh dari temannya sejarak dua meter. Tetapi, dia diberi uzur sehingga dia salat di rumahnya…

Daerah yang di situ tersebar penyakit maka diintensifkan pengobatannya secara gratis dengan serius dan penuh kesungguhan dengan pemeliharaan negara, dan orang yang sakit tidak dicampurkan dengan orang-orang yang sehat…

Rasulullah (Saw.) bersabda dalam apa yang dikeluarkan oleh Muslim di Shahîhnya dari Usamah bin Zaid, ia berkata: “Rasulullah (Saw.) bersabda:

«الطَّاعُونُ آيَةُ الرِّجْزِ ابْتَلَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ نَاساً مِنْ عِبَادِهِ، فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَفِرُّوا مِنْهُ»

“Tha’un merupakan ayat siksaan, dengannya Allah azza wa jalla menguji manusia di antara hamba-Nya. Maka jika kalian mendengarnya, jangan kalian masuk ke dalamnya dan jika terjadi di suatu negeri sementara kalian ada di situ maka jangan lari darinya”.

Yakni bahwa orang yang sakit dengan penyakit menular tidak dicampur dengan orang-orang yang sehat, dan untuknya disediakan pengobatan yang cukup dan memadai dengan izin Allah. Adapun orang yang sehat, maka dia pergi ke masjid menunaikan salat Jumat dan salat jamaah seperti biasa tanpa saling berjauhan.

Keempat, demikian juga tidak dikatakan bahwa saling berjauhan di dalam salat ketika terjadi wabah diqiyaskan terhadap rukhshah salat sambil duduk ketika sakit.

Ini bukan qiyas syar’i. Yang demikian itu karena orang yang sakit, dia salat sambil duduk merupakan rukhshah dari Allah SWT, yakni karena uzur yaitu penyakit.

Uzur merupakan sebab dan bukan ‘illat. Syara’ tidak menjadikannya ‘illat, tetapi syara’ menjadikan setiap uzur sebagai uzur untuk hukum yang uzur itu didatangkan untuknya, bukan untuk hukum lainnya. Jadi itu dinilai sebagai uzur khusus dengan hukum yang uzur itu datang untuknya, dan bukan uzur yang umum untuk semua hukum. Dan uzur itu tidak memberi pemahaman aspek peng’illatan.

Oleh karena itu tidak bisa diqiyaskan kepadanya. Jadi sebab itu bersifat khusus dengan apa yang sebab itu menjadi sebab eksistensinya, dan tidak melampaui berlaku kepada yang lainnya, sehingga tidak bisa diqiyaskan kepadanya.

Baca juga:  Kaidah Dharar dan Hubungannya dengan Wabah Corona dan Berjarak dalam Salat Jemaah

Ini berbeda dengan ‘illat. ‘Illat tidak bersifat khusus dengan hukum yang disyariatkan karenanya. Tetapi ‘illat itu melampauinya berlaku kepada yang lainnya dan diqiyaskan kepadanya.

Dari sini menjadi jelas bahwa apa yang dinyatakan tentang ibadah, dari sisi keberadaannya sebagai sebab dan bukan sebagai ‘illat, menjadikan ibadah itu bersifat tauqifiyah, tidak disertai ‘illat dan tidak diqiyaskan terhadapnya, karena sebab itu khusus dengan apa yang dia menjadi sebab untuknya.

Kelima: kemudian rukhshah itu merupakan bagian dari hukum wadh’i.

Dan itu merupakan seruan asy-Syâri’ berkaitan dengan perbuatan hamba menurut kondisi (wadh’u). Selama dia sendiri merupakan seruan asy-Syâri’, maka di situ harus ada dalil syar’i yang menunjukkannya. Misalnya berkaitan dengan salat orang yang sakit sambil duduk. Imam al-Bukhari telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari Imran bin Hushain ra., ia berkata: saya punya wasir lalu aku bertanya kepada Nabi (Saw.) tentan salat, maka Beliau bersabda:

«صَلِّ قَائِماً فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِداً، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ»

“Salatlah dengan berdiri dan jika kamu tidak mampu maka sambil duduk, dan jika kamu tidak mampu maka sambil berbaring”.

Rukhshah ini, yakni uzur ini, dinyatakan oleh dalil syar’i. Semua yang dinyatakan oleh dalil syar’i bahwa itu merupakan uzur untuk hukum tertentu maka dinilai sebagai uzur. Dan apa yang tidak ada dalil syar’i tentangnya maka tidak ada nilainya dan tidak dinilai sebagai uzur syar’i sama sekali … dan karena tidak ada dalil bahwa orang yang sakit boleh menjauh di dalam salatnya dari orang yang ada di sampingnya sejarak satu atau dua meter, maka secara syar’i ucapan ini tida punya nilai, dan tidak boleh … Lalu bagaimana jika orang tidak sakit tetapi hanya diprediksi bisa sakit?!

Keenam: ringkasnya dari apa yang telah dijelaskan di atas adalah sebagai berikut:

1- Mengubah tata cara untuk salat yang telah dijelaskan oleh Rasul (Saw.) dinilai sebagai bid’ah. Tetapi hukum syar’i dalam kondisi ini adalah orang yang sehat badannya, dia pergi untuk salat seperti biasa di shaf-shaf yang lurus, tanpa renggang. Sedangkan orang yang sakit dengan penyakit menular, dia tidak pergi sehingga tidak menulari yang lain.

2- Jika negara menutup masjid-masjid, dan berikutnya orang-orang yang sehat terhalang dari datang ke masjid untuk salat Jumat dan salat jamaah maka negara berdosa besar karena menelantarkan salat Jumat dan salat jamaah. Jadi masjid-masjid wajib dibuka untuk salat sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasul saw.

3- Demikian juga jika negara melarang orang-orang yang salat dari menunaikan salat sesuai tatacara yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw, tetapi negara mengharuskan mereka untuk saling berjauhan satu atau dua meter di antara orang yang salat dan orang ada di sampingnya karena khawatir penularan, khususnya tanpa gejala-gejala patologis, maka negar berdosa besar.

Ini adalah hukum syara’ yang saya rajihkan dalam masalah ini, wallâh a’lam wa ahkam … dan saya memohon kepada Allah SWT agar memberi petunjuk kaum Muslim kepada perkara mereka yang paling lurus dan agar kaum Muslim menyembah Dia sebagaimana yang Dia perintahkan, dan agar mereka terikat dengan ketaatan kepada Rasul-Nya (Saw.) Dan agar mereka menegakkan syariah yang hanif tanpa penyimpangan dengan tegaknya al-Khilafah ar-Rasyidah … Dan sungguh di dalam yang demikian itu ada kebaikan dan pertolongan dengan izin Allah yang sesuatu pun di muka bumi dan di langit tidak bisa melemahkan-Nya dan Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saudaramu, 17 Syawal 1441 H/08 Juni 2020 M [MNews] Sumber: https://s.id/jPpf8

8 komentar pada “[Tanya-Jawab] Saling Berjauhan dalam Salat Merupakan Bid’ah, Dosanya Dipikul Penguasa

  • Alhamdulillah…syukron ilmu y…luar biasa atas penjabaran y…

    Balas
  • Afwan Syekh..

    Saya kira penjelasannya belum mempertimbangkan fakta bahwa dalam pandemi ini ada risiko dari Orang Tanpa Gejala (OTG) yaitu orang yang merasa dirinya sehat (sehingga dia wajib shalat berjamaah di masjid dengan meluruskan dan merapatkan shafnya) padahal sebenarnya dia merupakan pembawa (carrier) virus yg bisa menularkannya kepada jamaah lainnya. Mohon pencerahannya atas fakta tersebut

    Balas
    • Abdullah

      Yaa jgn shalat ke masjid, di rmh saja…

      Balas
  • Smg Khilafah segera tegak

    Balas
  • Alhamdulillah dapat ilmu baru

    Balas
  • Ummu ahsan

    Hanya khilafah yang mampu menerapkan Islam secara total.

    Balas
  • Maa syaa Allah luar biasa penjelasannya.

    Balas
    • Ummu 3Az 2Al

      Akibat ketiadaan peran negara dalam penanganan masalah wabah, maka akhirnya menimbulkan kekacauan di semua bidang kehidupan masyarakat. Jika negara berperan sebagaimana Rasulullah saw dan para shahabat menangani wabah, maka akan bisa terdeteksi mana yang bisa k masjid mana yang dilarang k masjid, bahkan tidak akan meluas menjadi pandemi. Sehingga teratasi dengan lebih baik.
      Saya kira semuanya sudah jelas

      Wallahua’lam

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *