Fokus

Kebijakan “New Normal”: Di Mana Peran Sains?

Oleh: Permadina Kanah Arieska, M.Si.

MuslimahNews.com, FOKUS-Mulai 1 Juni 2020, pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan yang disebut sebagai New Normal atau normal baru atau tatanan kehidupan baru. Kebijakan New Normal merupakan kebijakan untuk membuka tempat publik seperti sekolah, perkantoran, pelabuhan, bandara, tempat ibadah dan lain-lain dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.

Presiden Joko Widodo sendiri bahkan sempat menyampaikan dengan istilah berdamai dengan Corona. Tak hanya itu, Mahfud MD, Menkopolhukam menganalogikan bahwa virus corona itu seperti istri: “Sebelum menikah, seseorang berpikir untuk menaklukkan wanita yang akan menjadi istrinya. Namun setelah menikah, ternyata dia tidak berhasil menaklukkannya. Maka tak ada pilihan lain selain menjalani kehidupan bersama istrinya tersebut.”

Analogi ini mengisyaratkan bahwa kebijakan New Normal tak memiliki dasar sains dan terkesan terburu-buru. Kenapa bisa dikatakan demikian? Alasan yang bisa memperkuat pernyataan ini adalah bahwa kebijakan New Normal tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan WHO.

New Normal hanya berlaku bagi negara-negara yang sudah sukses melawan Covid-19 seperti Cina, Taiwan, Vietnam, dan Jerman. Sementara di Indonesia? Data per Selasa 26 Mei 2020 ada 415 kasus baru dengan total 23.165 pasien positif. Bagaimana bisa menerapkan New Normal sementara grafik pasien positif corona semakin meroket?

Sejak awal Maret 2020, kebijakan penanganan percepatan Covid-19 di Indonesia, memang terkesan sporadis dan berubah-ubah. Mulai dari galaunya pemerintah antara definisi pulang kampung dan mudik, masih longgarnya Tenaga Kerja Asing (TKA) yang masuk ke Indonesia, pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga berdamai dengan corona yang dimaknai sebagai kondisi “New Normal”.

Banyak pakar menyatakan kebijakan sporadis ini tidak dibarengi pertimbangan validasi data dan sains, namun dominan pada pertimbangan ekonomi dan politik semata. Bahkan para peneliti dan ilmuwan menyampaikan kesulitan ketika berupaya menyampaikan analisisnya tentang data di lapangan yang ditemukan. Pemerintah lebih percaya pada staf ahli mereka dan cenderung meremehkan saran untuk pengambilan kebijakan dari para saintis.

Kebijakan yang jelas telanjang kesalahannya adalah kebijakan pembelian alat rapid test dari Cina yang efektivitasnya diragukan. Ahmad Rusdan, pakar dan juga peneliti biomolekuler dari Stem Cell and Cancer Institute, menyebutkan bahwa ilmuwan tidak dilibatkan dalam kebijakan pembelian alat rapid test ini.

Pasalnya rapid test yang dibeli dari Cina tidak mendeteksi adanya virus corona di dalam tubuh seseorang, namun hanya mendeteksi antibodi saja. Sedangkan tes yang akurat adalah tes berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR), yang dapat mendeteksi keberadaan virus corona dalam tubuh pasien.

Baca juga:  Sekolah Zona Hijau Tetap Bikin Galau

Koordinasi dan mobilisasi aset yang dimiliki semua kampus di Indonesia dan juga lembaga peneliti lainnya pun tidak dilakukan sejak awal, padahal jika hal tersebut dilakukan, pemerintah bisa optimal melakukan tes berbasis PCR hingga kurang lebih 10.000 tes per hari.

Tak salah jika masyarakat menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19 ini lebih didominasi kepentingan ekonomi dan politik dibanding kepentingan kesehatan dan keselamatan warga negaranya.

Sekalipun demikian, sikap plinplan dan galau ini tak menyurutkan kinerja para ilmuwan dan peneliti untuk terus berinovasi. Sejumlah ilmuwan Indonesia telah menghasilkan penemuan berbasis teknologi untuk membantu tenaga kesehatan dalam menangani penularan virus corona.

Dr. Syarif Hidayat, Dosen STEI Institut Teknologi Bandung (ITB) telah berhasil membuat ventilator yang dinamai Vent-I untuk digunakan dokter dan perawat dalam upaya mencegah memburuknya pasien.

Selain ITB, ada juga robot RAISA karya Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya yang memiliki fungsi untuk mengurangi interaksi dengan pasien Covid-19. Robot RAISA telah ditempatkan di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RS UNAIR) sebagai robot servis pada highly infectious patient yang dikendalikan dari alat kontrol jarak jauh.

Tugas rutin yang dijalankan robot RAISA adalah datang dari kamar pasien satu ke kamar pasien lainnya, membunyikan bel, hingga kemudian pasien membuka pintu dan mengambil makanan. Selain untuk meminimalkan interaksi antartenaga medis dan pasien, RAISA juga sangat berguna dalam rangka penghematan Alat Pelindung Diri (APD).

Selain ITB dan ITS, Telkom University bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga mengembangkan sebuah robot disinfeksi dengan sinar ultraviolet.

Berbagai prediksi dan pemodelan terkait jumlah lonjakan pasien Covid-19 dari pakar dan juga akademisi telah dirilis ke publik. Pandu Riono, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) menyatakan bahwa adalah sebuah tantangan besar ketika kita menyampaikan hasil temuan akademis dan ilmiah kepada sang pengambil kebijakan.

Dalam melakukan prediksi tentu akan ditanya input data yang digunakan. Ketika input data tidak sesuai dengan “keinginan” pemerintah, dibilang angkanya tidak cocok dan prediksinya tidak diterima. Padahal prediksi dan juga modeling berkenaan lonjakan pasien ini ini sangat diperlukan untuk estimasi kebutuhan rumah sakit dan juga obat.

Tak heran jika kemudian pemerintah membuka layanan transportasi dan berakhir pada masyarakat yang “ambyar” memadati mal dan juga jalan raya karena mudik. Bahkan beberapa pemerintah daerah mengakui kebijakan pemerintah pusat telah merusak apa yang selama ini direncanakan oleh pemerintah daerah untuk memutus mata rantai penyebaran virus.

Baca juga:  [Telaah Kitab] Antara Ilmu dan Tsaqafah (Natural Sciences & Social Sciences)

Situasi pandemik Covid-19 ini membuat banyak orang merasa sangat frustrasi sebab berubah-ubahnya kebijakan pemerintah yang semakin memperparah penyebaran virus. Reaksi pragmatis dari masyarakat pun mulai bermunculan, mulai dari viralnya tagar #IndonesiaTerserah, penggalangan petisi untuk menolak anak masuk sekolah di kala pandemi, hingga pemblokiran jalan yang dilakukan mandiri oleh masyarakat di wilayah masing-masing.

Lantas, bagaimana seharusnya penanganan wabah didasarkan pada basis data ilmiah dan sains menurut syariat Islam?

Untuk memberikan gambaran keunggulan syariat Islam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi rakyat, termasuk dalam situasi krisis, selanjutnya akan dipaparkan peran sains dan ilmuwan dalam pengambilan kebijakan negara.

  1. Islam memberikan porsi bagi para pakar atau yang biasa disebut dengan khubaro’ dalam mengambil kebijakan negara untuk menyelesaikan masalah masyarakat yang rumit dan membutuhkan analisis mendalam.

Tak semua kebijakan negara diselesaikan dengan voting, adakalanya memang harus diselesaikan para pakar yang berkemampuan lebih dibandingkan lainnya, sehingga suara mayoritas tidak lagi diperhatikan.

Islam mengambil pendapat para pakar untuk menyelesaikan hal rumit. Selain itu, penentuan kebijakan dalam Islam juga didasarkan pada tasyri’ yaitu kesesuaian dengan sumber hukum Islam: Alquran, Sunah, Ijmak Sahabat, dan Qiyas.

Pada masa Kekhilafahan Islam pernah terjadi wabah Tha’un (sejenis penyakit kolera) saat dipimpin oleh Umar bin Khaththab. Beliau tidak memberikan keputusan sendiri melainkan meminta pendapat dari para pakar dan orang-orang yang berilmu berkaitan dengan wabah ini.

Amr bin Ash, seseorang yang terkenal cerdik dalam mengatasi masalah-masalah rumit, mulai melakukan analisis terkait wabah ini. Dia menyimpulkan bahwa penyakit ini menular saat orang-orang berkumpul sehingga rekomendasi yang diberikan adalah dengan melakukan karantina kepada masyarakat.

Masing-masing diperintahkan untuk berpisah, ada yang ke gunung, ada yang ke lembah, dan ke tempat-tempat lainnya. Hasilnya hanya berselang beberapa hari, jumlah orang yang terkena wabah ini mulai sedikit dan wabah pun lenyap.

Umar bin Khaththab selaku Khalifah, pemimpin negara kala itu, taat dengan rekomendasi Amr bin Ash sebab Amr bih Ash yang memang memiliki keilmuan yang lebih dibandingkan dengan lainnya.

  1. Fokus ilmuwan dan sains digunakan untuk menyelesaikan masalah masyarakat, bukan sekadar memenuhi target keuntungan dunia industri semata.

Pada abad 9/10 M, Abu Bakr Ahmed ibn ‘Ali ibn Qays al-Wahsyiyah (sekitar tahun 904 M) menulis Kitab al-falaha al-nabatiya. Kitab ini mengandung 8 juz yang kelak merevolusi pertanian di dunia, antara lain tentang teknik mencari sumber air, menggalinya, menaikkannya ke atas hingga meningkatkan kualitasnya.

Baca juga:  Pandemi Covid-19, “New Normal”, dan Kebutuhan Dunia terhadap Peradaban Islam

Di Barat, teknik ibn al-Wahsyiyah ini disebut “Nabatean Agriculture”. Para insinyur Muslim merintis berbagai teknologi terkait dengan air, baik untuk menaikkannya ke sistem irigasi, atau menggunakannya untuk menjalankan mesin giling.

Dengan mesin ini, setiap penggilingan di Baghdad abad X sudah mampu menghasilkan 10 ton gandum setiap hari. Pada 1206 al-Jazari menemukan berbagai variasi mesin air yang bekerja otomatis. Berbagai elemen mesin buatannya ini tetap aktual hingga sekarang, ketika mesin digerakkan dengan uap atau listrik.

Pada awal abad XIII, Abu al-Abbas al-Nabati dari Andalusia mengembangkan metode ilmiah untuk botani, mengantar metode eksperimental dalam menguji, mendeskripsikan, dan mengidentifikasi berbagai materi hidup dan memisahkan laporan observasi yang tidak bisa diverifikasi.

Muridnya Ibnu al-Baitar (wafat 1248) mempublikasikan Kitab al-Jami fi al-Adwiya al-Mufrada, yang merupakan kompilasi botani terbesar selama berabad-abad. Kitab itu memuat sedikitnya 1400 tanaman yang berbeda, makanan, dan obat, yang 300 di antaranya penemuannya sendiri.

Ibnu al-Baitar juga meneliti anatomi hewan dan merupakan bapak ilmu kedokteran hewan, sampai-sampai istilah Arab untuk ilmu ini menggunakan namanya. Penemuan ini menghasilkan adanya revolusi pertanian bahkan revolusi ini dapat menaikkan panenan hingga 100 persen pada tanah yang sama.

  1. Support penuh negara Islam dalam pengembangan sains dan teknologi.

Daulah Islam merupakan negara yang mendukung penuh pengembangan sains dan teknologi. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian Islam (Syakhsiyyah Islam) yang menjadikan setiap peserta didik memiliki pola pikir dan pola sikap Islam.

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, Khilafah Islam memberikan layanan penuh mulai dari pembiayaan, fasilitas pendidikan, tenaga pendidik, beasiswa, perpustakaan hingga balai penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Semua ini ditopang oleh sistem politik dan sistem ekonomi Islam yang kuat dan independen.

Islam adalah agama sempurna dan paripurna. Setiap rincian di dalamnya memang ditujukan untuk memberikan kontribusi terhadap peradaban dunia. Akan tiba masanya sains dan teknologi kembali berjaya di masa Khilafah Islam dan sains diberikan porsi dalam pengambilan kebijakan.

“…Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (TQS Ali Imran: 140) [MNews]

65 komentar pada “Kebijakan “New Normal”: Di Mana Peran Sains?