Analisis

Negara Pelayan Swasta

Oleh: Pratma Julia Sunjandari

MuslimahNews.com, ANALISIS – Tanpa krisis, fundamental ekonomi Indonesia sudah mengkhawatirkan. Apalagi resesi 2020, yang disebut Gita Gopinath —Chief Economist IMF— sebagai the Great Lockdown membuat kegiatan berekonomi seluruh dunia kolaps.

Runtutan krisis —kesehatan, keuangan, dan jatuhnya harga komoditas— menghasilkan ketidakpastian lanskap ekonomi. Akibat paling nyata bagi Indonesia adalah kemiskinan. Berdasarkan perkiraan Bappenas, penduduk miskin bakal bertambah dua juta pada akhir tahun 2020.[1]

Ketika menghadapi nestapa rakyat, semestinya negara kian menguatkan posisi sebagai pelayan rakyat. Sayangnya, yang mampu merealisasikan idealisme itu hanya negara Khilafah, terkhusus representasi Khalifah sebagai ri’ayatu syu’uninnaas; Penjamin kebutuhan rakyat.

Sedangkan realitas hari ini membuat rakyat harus berhadapan dengan negara yang “ridho” berposisi sebagai pelayan swasta, pemodal kuat yang sanggup mengendalikan negara. Korporatokrasi.

Demi korporatokrasi, pemerintah selalu punya alibi. Pandemi Covid-19 disebut Menkeu Sri Mulyani telah menciptakan ancaman nyata bagi keselamatan rakyat yakni ancaman sosial ekonomi dan stabilitas sistem keuangan.[2]

Selain utang, investasi swasta selalu dianggap sebagai penyelamat krisis. Apalagi Indonesia tak pernah lagi mengalami lonjakan investasi. Karena itu pemerintah perlu menjaga kepercayaan investor dan stabilisasi pasar (bebas). Termasuk keterlibatan perbankan yang dianggap mampu merestrukturisasi kredit, baik di sektor keuangan maupun sektor riil dan informal.[3]

Dalam hal ini yang diandalkan adalah korporasi bisnis finansial yang dianggap mampu memutar roda ekonomi melalui pinjaman modal usaha.

Tentu tak hanya bisnis keuangan tapi semua lini bisnis yang bakal mendapat karpet merah. Sebagaimana kesepakatan para menteri luar negeri 13 negara yang tergabung dalam Ministerial Coordination Group on Covid-19 (MCGC).

Pada pertemuan dwimingguan (14/5/2020) bertema Role of Private Sector in Supply Chain, Menlu Retno Marsudi menekankan pelibatan multi-stakeholders, khususnya kalangan swasta, dalam mengatasi situasi global pandemi.[4] Swasta maupun BUMN dianggap lebih kompeten dalam memetakan keahlian, kapasitas, maupun sumber daya.[5]

Tidak hanya kerja sama multilateral, pasti TNC (Trans National Corporation) dari negara maju bakal tetap mengincar Indonesia sebagai jaminan global value chain. Pembicaraan telpon Donald Trump dan Jokowi (24/4/2020) ternyata tidak hanya membahas kiriman ventilator, tapi juga membicarakan kesiapan Indonesia menampung relokasi sejumlah industri AS dari Cina.[6]

Demi rencana tersebut, pemerintah Kabupaten Brebes tengah menyiapkan 3.976 hektare lahan untuk kawasan industri yang akan dikelola PT Kawasan Industri Wijaya Kusuma (KIW)[7].

Efek Korporatokrasi: Korupsi – Kesenjangan – Impunitas

Tidak ada yang berubah pada fundamental ekonomi Indonesia dalam mengatasi resesi 2020. Bahkan kian mereduksi peran kenegaraannya akibat ketergantungan pada swasta. Korporatokrasi melekat erat pada praktik ekonomi dan politik di Indonesia. Tercermin pada pemerintahan yang dikendalikan perusahaan atau kepentingan perusahaan.

Indonesia “tertular” praktik ini karena posisinya sebagai negara pengekor yang menelan mentah-mentah ide kapitalisme. Patronnya, AS dan negara Barat lain, dikritisi Edmund Phelps –peraih Nobel ekonomi 2006- sebagai the new corporatism.

Karakternya, perusahaan kakap memiliki pengaruh besar pada pemerintah, yang bakal menyambut hangat saran para pelobi, terutama jika mereka datang dengan suap.[8] Korupsi, tak bisa lepas dari jejak korporatokrasi.

Korupsi pebisnis sudah jamak di Indonesia. Pada tahun 2019 ditandai dengan kasus suap Perum Perikanan Indonesia (Perindo) yang mencapai 30 ribu dolar AS. Diikuti suap pada sejumlah pejabat PT Garuda terkait pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce sebesar Rp100 miliar, hingga kasus suap migas Pertamina Energy Services (PES) Pte. Limited yang disinyalir bernilai 2,9 juta dolar AS dari Kernel Oil terkait kegiatan perdagangan minyak mentah kepada PES di Singapura.[9]

Korupsi merajalela karena para pemimpin bisnis menghabiskan banyak uang untuk memastikan bahwa pemerintah tidak mengatur kegiatan mereka. Lumrah terjadi pula bila korporasi memengaruhi peraturan dan regulator yang memantau mereka.

Apalagi, menurut Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang, partai politik cenderung mencari orang berduit untuk menjadi caleg, baik bersumberkan uang pribadi atau dari perusahaan tertentu.[10]

Lihat saja, setengah dari total anggota DPR periode 2019—2024 berlatar belakang pengusaha.[11] Padahal, caleg yang mendapat pendanaan dari perusahaan biasanya mendapatkan tugas untuk memperjuangkan proyek dan mengamankan kegiatan perusahaan tersebut.[12]

Fenomena pengesahan Revisi UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) usai rapat paripurna DPR (12/5/2020) disinyalir publik lekat dengan kepentingan perusahaan tambang. Korporasi tambang banyak diuntungkan melalui wacana usulan pemotongan tarif royalti kepada negara, insentif fiskal dan nonfiskal, perpanjangan otomatis bagi pemegang izin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) tanpa pengurangan luas wilayah plus lelang, termasuk menghapuskan pasal 165 tentang sanksi pidana bagi pelanggaran penerbitan izin.[13]

Akibatnya, plutokrasi -penumpukan kekayaan sekelompok kecil orang sangat kaya yang menguasai negara- turut terjadi di Indonesia. Melansir Forbes, 5 (lima) orang terkaya di Indonesia memiliki bisnis yang berasal dari sektor pertambangan, baik batubara ataupun migas.[14]

Brid Brennan dari Transnational Institute (TNI) dalam Public Eye -sebagai forum tandingan WEF- di Davos, Swiss tahun 2014 menjelaskan bagaimana konsentrasi korporasi mampu meningkatkan pengaruh mereka terhadap pemerintah.[15]

Aset yang sangat besar terutama milik TNC, digunakan untuk mempertahankan kepentingan komersial dengan cara memaksakan deregulasi selama 30 tahun terakhir, perubahan konstitusi dan legislasi nasional, bahkan tatanan internasional. Semua itu telah menciptakan atmosfer bagi korporasi untuk melakukan kejahatan kemanusiaan dan lingkungan.[16]

Ironisnya, justru di saat krisis ekonomi dan keuangan tahun 2013, TNC, khususnya yang bergerak dalam industri migas dan perbankan terus mendapat keuntungan yang luar biasa.[17] Penumpukan aset yang luar biasa itu kian menciptakan kesenjangan sosial ekonomi akibat praktik korporatokrasi.

Data statistik menunjukkan bahwa ketidakmampuan mengatasi kemiskinan, ketidaksetaraan, dan membiayai pendidikan gratis bukan disebabkan kurangnya uang. Tetapi disebabkan, siapa yang memiliki uang itu.

Para konglomerat telah melakukan penyedotan besar-besaran sumber daya milik bersama, dari warga negara dan lembaga publik demi memperkaya orang yang sudah sangat kaya. Fenomena ini merupakan bagian integral dari fase restrukturisasi model ekonomi neoliberal.[18]

Sekali lagi, Indonesia pun mengalami fenomena ini. Laporan The Interpreter, situs milik Lowy Institute dalam rilisnya “Indonesia: the not so good news” (3/2/2020) mengutarakan kekayaan empat miliarder terkaya di Indonesia (USD25 miliar) setara dengan pendapatan 40 persen orang miskin di Indonesia (100 juta orang).[19]

Tak hanya kesenjangan, akibat buruk korporatokrasi selanjutnya adalah impunitas (kekebalan hukum). Korporasi papan atas dunia tidak terlepas dari tuntutan, denda, tuduhan pencucian uang, penipuan, penyuapan, ataupun spionase.

Namun mereka memiliki impunitas karena berlindung pada Lex Mercatoria (kerangka hukum yang melindungi kepentingan investor). Bahkan International financial institution (IFI), IMF, Bank Dunia dan WTO turut menjadi arsitektur impunitas ini[20].

Untuk menutupi kejahatan korporasi, dikembangkanlah Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai tanggapan palsu terhadap pelanggaran HAM dan kejahatan korporasi.[21]

Demikianlah kapitalisme bekerja. Tak memberi kesempatan bagi rakyat untuk memberi andil terhadap pengaturan negara sebagaimana kredo demokrasi. Semuanya tergantung pada kendali korporasi.

Demikian pula PBB, yang memiliki bagian khusus untuk korporasi yang disebut Global Compact[22] yang didirikan saat World Economic Forum 31 Januari 1999[23] oleh Sekjen PBB Kofi Annan dan Presiden Nestle saat itu. Bahkan FAO, WHO, UNESCO dan lain-lain ditugaskan untuk berkoordinasi dan memfasilitasi kepentingan perusahaan.

PBB tidak pernah memonitor laporan kemajuan korporasi-korporasi tersebut demi memenuhi 10 prinsip terkait HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, dan antikorupsi. Padahal Corpwatch[24] telah menuduh Global Compact melakukan bluewashing, yakni menutupi kecurangan korporasi untuk meningkatkan pengaruh terhadap organisasi internasional melalui kegiatan amal.

Khilafah Sajalah yang Mampu Menghapuskan Korporatokrasi

Jelaslah, korporatokrasi adalah penyalahgunaan wewenang. Semua terjadi akibat liberalisme sekuler yang menyerahkan kewenangan pemerintahan, bahkan pengaturan dunia pada sekelompok “penggarong” milik umat sejagat.

Kapitalisme meniscayakan gerombolan orang kaya mengatur negara bahkan dunia sesuai kehendaknya. Padahal semestinya, mereka sungguh tak berhak memiliki harta yang diperoleh dengan cara jahat dan batil, hingga membuat penguasa dunia ketiga tak berdaya.

Islam telah memiliki solusi untuk menangkal korporatokrasi. Dalam kitab Muqaddimah ad Dustur pasal 126 dinyatakan, “Harta adalah milik Allah semata. Allah memberikan penguasaan kepada manusia di dalamnya.”

Namun penguasaan itu tidak membuat manusia lantas seenakperutnya mengklaim kepemilikan harta. Karena kelanjutan pasal 126 menunjukkan, “Dialah Yang memberikan izin kepada seorang individu untuk memperoleh harta.”

Dengan demikian, setiap manusia tidak bisa menguasai dan memiliki harta secara langsung. Kepemilikan harta hanya dibolehkan jika sesuai dengan ketentuan Allah, Sang Pemilik bumi, langit, dan seisinya.

Sehingga pemilik korporasi atau pemilik saham terbesar –terlepas dari kebatilan perseroan terbatas yang menjadi penyangga sistem kapitalisme- semestinya tidak bisas menguasai sumber kekayaan seluas-luasnya untuk menjajah mayoritas manusia lainnya.

Inilah yang menjadi asal muasal ketidakadilan pemilikan, pemiskinan, dan instabilitas politik-ekonomi-sosial sebagai realitas yang selalu melekat pada kapitalisme.

Apalagi kekayaan itu didapat karena mengangkangi aset yang semestinya dikuasakan dalam kepemilikan umum; Atau mengembangkan bisnis yang terkait dengan hajat orang banyak seperti bisnis kesehatan, telekomunikasi, internet, transportasi publik, pendidikan, penjualan alutsista untuk hankam, perbankan ataupun bisnis finansial lain.

Sayangnya, aturan yang menegasikan konglomerasi dan plutokrasi hanya akan terwujud bila sistem Khilafah Islamiyah tegak di atas bumi. Tidak hanya mencegah aspek batil dalam politik ekonomi, Khilafah memiliki format khas dalam pemerintahan dan membangun peradaban.

Independensi Khilafah yang hanya menjadikan wahyu Allah SWT sebagai rujukan tunggal dalam bernegara, meniscayakan sistem ini unggul dalam menjalankan pemerintahan, termasuk menempatkan manusia dalam posisi mulia, bukan menganggapnya sebagai objek politik atau faktor produksi semata.

Kapitalisme adalah sistem rusak yang telah menggali kuburnya sendiri. Absurditasnya telah dirasakan seantero dunia. Selalu terbuka kesempatan untuk mengungkap kebusukannya, demi memberikan kesadaran pada seluruh umat untuk melenyapkannya dan menggantikannya dengan sistem unggul, Khilafah Islamiyah. [MNews]

Referensi:

[1] https://www.voaindonesia.com/a/bappenas-perkirakan-pengangguran-tambah-4-2-juta-pada-akhir-2020/5416650.html

[2] https://www.voaindonesia.com/a/dpr-setujui-perppu-nomor-1-tahun-2020-menjadi-undang-undang/5417617.html

[3] https://money.kompas.com/read/2020/05/15/202020026/dukung-dunia-usaha-dan-perbankan-di-tengah-corona-ini-kebijakan-ojk.

[4] https://kemlu.go.id/portal/id/read/1292/berita/ministerial-coordination-group-on-covid-19-mcgc-menlu-ri-sektor-swasta-berperan-penting-dalam-menjamin-ketersediaan-rantai-pasokan-medis-global

[5] https://www.voaindonesia.com/a/pentingnya-kolaborasi-sektor-swasta-untuk-penuhi-pasokan-medis/5419340.htm)

[6] https://www.voaindonesia.com/a/luhut-jika-as-relokasi-industri-dari-Cina-kita-siap-tampung/5420397.html

[7] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200515205833-92-503946/sekda-ungkap-rencana-investor-as-bangun-pabrik-ke-brebes

[8] Oxford Dictionaries. https://en.wikipedia.org/wiki/Corporatocracy

[9][9] https://news.detik.com/kolom/d-4867647/sisi-gelap-suap-korporasi

[10] https://www.antaranews.com/berita/372035/formappi-parpol-cenderung-cari-caleg-berduit

[11] https://kabar24.bisnis.com/read/20191002/15/1154709/separuh-anggota-dpr-pengusaha-pks-akui-ada-potensi-konflik-kepentingan

[12] Ibidem 10

[13] https://tirto.id/uu-minerba-dibahas-kilat-dpr-manjakan-oligarki-tambang-istana-fr3i

[14] https://republika.co.id/berita/q1daxn5717000/orang-kaya-ri-banyak-dari-pertambangan-siapa-saja-mereka

[15] Insights into the Power of Corporations. A speech by Brid Brennan, at the Public Eye Awards Press Conference, Davos, Switzerland January 23, 2014. https://www.tni.org/en/article/state-corporate-power

[16] Susan George, State of Corporations The rise of illegitimate power and the threat to democracy. https://www.tni.org/files/download/state_of_corporation_chapter.pdf

[17] Ibidem 15

[18] Ibidem 16

[19] https://www.suara.com/news/2020/02/14/173159/aktivis-4-orang-terkaya-indonesia-setara-100-juta-penduduk

[20] Ibidem 15

[21] Ibidem 16

[22] Ibidem 16

[23] https://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Global_Compact

[24] kelompok riset yang berbasis di San Francisco, California, AS. Misi yang dinyatakannya adalah untuk mengekspos penyimpangan perusahaan, dan untuk mengadvokasi akuntabilitas dan transparansi perusahaan multinasional.

61 komentar pada “Negara Pelayan Swasta