Manusia yang Berhak atas Hari Raya
Oleh: Sulistiawati Ummu Salamah
MuslimahNews.com, TSAQAFAH – Ramadan sudah memasuki 10 hari terakhir. Tidak terasa waktu cepat berlalu. Kaum muslimin tetap menikmati Ramadan walau wabah melanda. Bahkan rasa lapar seringkali dirasa sebagai nikmat. Walau dikelilingi kesulitan ekonomi, utang, dan beban kehidupan yang semakin menekan kian hari.
Tapi inilah umat Islam, memiliki kesabaran yang luar biasa menghadapi beban ini. Kesabaran akan meraih janji Allah SWT sajalah yang menghiasi malam malam ibadah bulan Ramadan. Dan Allah SWT tidak pernah mengingkari janji-Nya.
Rasul saw bersabda,
«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
“Siapa saja yang berpuasa Ramadan karena iman dan semata-mata mengharap rida Allah, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Siapa saja yang menghidupkan lailatulkadar karena iman dan semata-mata mengharap rida Allah, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad).
Namun tidak sedikit pula masyarakat yang sudah kehilangan makna Ramadan. Suasana berganti menuju persiapan hari raya Idulfitri. Selayaknya hari raya atau hari besar, maka penyambutan terhadapnya dilakukan secara serius. Namun sayangnya, melupakan persiapan belajar kembali fiqih puasa. Ramadan dilaksanakan tanpa makna.
Begitu pula menjelang lebaran. Banyak yang tidak menyadari, Idulfitri adalah hari bagi orang orang spesial saja.
Bagaimanakah Makna Idulfitri Sebenarnya?
Dalam pandangan Islam, selesainya Ramadan dan datangnya 1 Syawal, adalah saatnya menyongsong kemenangan. Umat Islam menyambutnya dengan takbir, tahlil, dan tahmid. Bahkan Imam Asy Syafi’i dalam kitab Al Umm, menambahkan dalam lafaz takbir dengan:
“Allahu Akbar kabiro, wal hamdu lillahi katsira wa subhanallahi bukrataw wa ashila, la ilaha illallahu wa la na’budu illa iyyahu, mukhlishina lahuddin wa lau karihal kafirun, la ilaha illallahu wahdah, shadaqa wa’dahu wa nashara ‘abdahu wa hazama al-ahzaba wahdahu, la ilaha illallahu wallahu Akbar”
Tambahan lafaz ini sangat memaknai bahwa hari raya ini identik dengan kemenangan. kekalahan pasukan Ahzab dan kemenangan umat Islam dalam jihad fi sabilillah.
Idulfitri sejatinya mengakhiri Ramadan dengan mengagungkan Allah SWT atas hidayah Islam yang telah sampai kepada seluruh manusia. Seperti yg termaktub dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 185:
وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ﴿البقرة :١٨۵﴾
“…Dan agar kalian mengagungkan Allah atas hidayah yang datang kepada kalian dan agar kalian bersyukur.”
Al Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya,
لعلكم تشكرون :إذا قمتم بما أمركم الله من طاعته بأداء فرائضه ، وترك محارمه ، وحفظ حدوده ، فلعلكم أن تكونوا من الشاكرين بذلك.
“Bersyukur adalah apabila kalian melaksanakan semu perintah Allah dengan ketaatan dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban-Nya, dan meninggalkan keharaman-Nya, dan menjaga hudud-Nya (batasan batasan syariat). Maka inilah menjadi orang yang bersyukur.”
Perkataan Ulama tentang Idulfitri
Terdapat perkataan beberapa Ulama tentang siapakah yang berhak untuk berhari raya, yang senada dengan tuntutan di dalam Alquran.
قول الحسن من كتاب لطائف المعارف: “كل يومٍ لا يُعصى الله فيه فهو عيد
Perkataan Al Hasan dalam kitab Lathoiful Ma’arif: “Hari raya adalah setiap hari di mana Allah tidak dimaksiati. Maka itulah hari raya.”
كل يوم يقطعه المؤمن في طاعة مولاه وذِكره وشُكره فهو له عيد”.
“Setiap harinya di mana secara pasti seorang yang beriman berada dalam ketaatan pada Allah, selalu mengingat Allah, dan bersyukur pada Allah, maka itulah hari raya.”
قول وكيع من كتاب الورع عن سُفيان الثوريّ أنّه كان يقول لهم في يوم العيد: “إنّ أوّل ما نبدأ به في يومنا غضّ أبصارنا”.
Perkataan Imam Waki’ dalam kitab Al Wara’, dari Sufyan Ats Tsauri, bahwa Idulfitri adalah sebuah awal di mana kita memulai hari kita dengan “gadhdhul bashar” (menjaga pandangan)
Perkataan Sahabat Radhiyallahu’anu, Ibnu Mas’ud, ketika akhir malam Ramadan, ia berkata,
“Siapa yang pada malam ini diterima, maka berbahagialah ia, dan siapa yang terlarang dan tertolak pada malam ini, maka kami turut berduka. Wahai yang diterima, berbahagialah, wahai yang diharamkan dan tertolak, Allah Mahakuasa atas maksiatmu.”
Pernyataan Salafus Salih ini menunjukkan hari raya adalah bagi orang orang yang taat. Tunduk dan patuh kepada seluruh aturan yang telah ditetapkan Allah SWT. Salah satu gambaran keterikatan dengan syariat ini adalah menjaga pandangan. Di mana mata tidak memandang terhadap apa saja yang diharamkan oleh Allah SWT. Bukankah ini merupakan bentuk penjagaan seorang hamba dari perbuatan maksiat?
Jika soal pandangan mata saja selalu dikaitkan dengan syariat, tentu perbuatan yang lain pun akan senantiasa diupayakan agar terjaga dari maksiat.
Jika ia seorang ibu rumah tangga, maka ia akan menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Jika ia seorang kepala rumah tangga, ia akan senantiasa menjalankan tugas pentingnya sebagai pemimpin dalam ketakwaan. Jika ia seorang gubernur, maka ia akan menjaga rakyatnya dari kehancuran dan penderitaan. Siapa pun dia, jika ia seorang muslim, ia akan sekuat tenaga melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.
Lihatlah bagaimana pedulinya para Sahabat Rasulullah, sepeninggal Rasulullah SAW, mereka menyibukkan diri memilih pengganti Rasulullah sebagai kepala negara. Padahal mereka adalah orang orang yang tidak mencintai dunia. Namun, apa jadinya dunia jika berada dalam genggaman orang orang kafir? Ini mencerminkan ketaatan yang maksimal hamba Allah.
Hari raya sesungguhnya hak atas orang yang saleh. Bukan bagi orang yang gemar melakukan maksiat. Kesalehan ini akan berbuah menjadi kesadaran akan butuhnya pada pelaksanaan seluruh syariat.
Kemaksiatan akan berbuah banyaknya kejahatan dan kezaliman. Wajarlah jika berulang ulang Allah SWT menitipkan dunia ini hanya pada orang yang saleh.
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِن بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
“Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS Al Anbiya’: 105)
Dalam tafsir Al Muyassar:
“Dan sungguh telah Kami tulis dalam kitab-kitab yang Kami turunkan kepada rasul-rasul setelah Kami menuliskannya dalam Lauḥ Maḥfuẓ; bahwasanya bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba Allah yang saleh dan beramal ketaatan kepada-Nya, mereka itu lah umat Muhammad Saw.”
Syariat Islam merupakan jaminan bagi keamanan, kebaikan, dan kesejahteraan umat manusia. Bagi kita umat Islam, berupaya menegakkannya dalam kehidupan ini adalah syarat bagi kita agar berhak disebut pemenang dan menjadi orang yang patut berbahagia di hari raya nanti. [MNews]
Maasyaallah, semoga kita termasuk orang yang shaleh dan berserah diri
Semoga lebaran terakhir tanpa khilafah
Masya Allah…
hari raya idul fitri hari raya bagi umat islam.hari kemenangan alangkah indah nya bila tahun depan khilafah sdh tegak.Aamiin
Semoga kita mendapatkan kemuliaan dibulan ramadhan ini.Aamiin….
Hari raya adalah setiap hari di mana Allah tidak dimaksiati. Maka itulah hari raya.. Dalam sekali maknanya :((
Masya Allah sejatinya hari raya itu adalah hari kemenangan untuk orang-orang yang senantiasa taat kepada Allah.
Ma syaa Allah, semoga kita termasuk orang yang diterima segala amal ibadahnya oleh Allah SWT, aamiin ya Allah
Layakkah kita jadi pemenang jika kita msh jauh dari syariat Allah SWT,semoga kita bisa mengupayakan untuk layak menjadi pemenang dihari Ied senantiasa taat KPD Allah SWT dan menjalankan Sunnah Rasulullah Saw
Semoga kita sekeluarga kembali fitri setelah ramadhan
In syaa Allaah, kemenangan hakikib akan segera kita raih…Allahu akbar..