Fokus

Maraknya Kekerasan dalam Keluarga, Bukti Gagalnya Negara Penuhi Kemaslahatan Keluarga

Oleh: Najmah Saiidah

MuslimahNews.com, FOKUS – Keluarga harmonis, tentram, penuh dengan kasih sayang adalah dambaan setiap orang. Namun, mewujudkannya dalam masyarakat yang jauh dari nilai-nilai Islam seperti saat ini,tentu tidaklah mudah.

Terbukti, dari tahun ke tahun angka perceraian terus meningkat termasuk pada pasangan muda. Kasus-kasus dekadensi moral yang menjadi sebab sekaligus dampak dari kian lemahnya ketahanan keluarga pun, makin merebak.

Terlebih di tengah kondisi wabah yang menerpa saat ini – bertepatan dengan bulan Ramadan– dalam kondisi pandemi, tentu tidak semua keluarga bisa melewatinya sebagaimana kondisi biasanya. Bahkan beberapa media menyatakan bahwa pandemi ini tidak hanya menyebabkan krisis kesehatan, krisis sosial dan ekonomi, tetapi juga memicu naiknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) (okezone.com 21/04/2020).

Pemerintah menyinyalir jumlah kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat selama pandemi Covid-19 berlangsung di Indonesia. Peningkatan itu terjadi sejalan dengan dampak pandemi yang merembet ke berbagai aspek, terutama ekonomi masyarakat.

 Kondisi itu membuat tekanan psikis masyarakat meningkat dan diduga menjadi salah satu alasan ikut naiknya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengungkapkan, selama kurun waktu 2 Maret hingga 25 April 2020 terjadi 643 kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak. Rinciannya, 275 kasus dialami perempuan dewasa dengan 277 korban, serta 368 kasus terhadap anak-anak dengan 407 korban. Rinciannya, 300 anak perempuan korban dan 107 anak laki-laki. Seluruh data tersebut dihimpun dari Simfoni PPA dan LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan). (republika.co.id  dan liputan6.com)

Melansir dari Huffpost, Vagins mencatat bahwa negara-negara di Amerika Serikat, Prancis, China, Australia, dan Greenland, melaporkan peningkatan KDRT setelah imbauan untuk tingal di rumah. The Straits Times juga melaporkan kejadian serupa terjadi di Jepang.

“Para korban KDRT tidak memiliki tempat lain untuk menghindari kekerasan selama krisis virus corona,” kata Allison Randall, wakil presiden untuk kebijakan dan isu-isu yang muncul di Jaringan Nasional untuk Anti KDRT (suara.com)

Beberapa pihak menilai bahwa permasalahan ini muncul karena pandemi ini, yang mengharuskan lockdown, sehingga menyebabkan munculnya tekanan kepada para ibu, karena anak-anak sekolah di rumah, suami bekerja dari rumah bahkan ada suami yang akhirnya tidak bisa menghasilkan uang, imbasnya mengharuskan para ibu berpikir keras mengelola keuangan, dan sebagainya.

Ini semua berdampak pada relasi dalam keluarga, terutama suami dan istri. Untuk mengatasi ini, Pemerintah menekankan pentingnya melindungi masyarakat dari tekanan psikologi yang muncul selama pandemi. Khususnya kelompok masyarakat yang dianggap rentan mengalami kekerasan, seperti perempuan dan anak-anak.

Karena itu, dipandang perlu adanya layanan konsultasi dan edukasi psikologi. Dengan begitu masyarakat dapat mengadukan masalah dari aspek psikologis yang mereka alami di tengah merebaknya pandemi corona Covid-19.

Kantor Staf Presiden (KSP) yang menginisiasi dibukanya layanan psikologi bagi masyarakat umum yang terdampak Covid-19. Layanan ini bisa diakses melalui sambungan 119 ekstensi 8 dan UPTD Pemberdayaan Perempuan serta P2TP2A di berbagai daerah.

Menurut Mentri PPPA, layanan ini akan memberi tempat bagi perempuan apakah korban KDRT, perempuan pekerja migran, perempuan disabilitas, dan anak yang butuh perlindungan khusus seperti anak korban kekerasan, ekspolitasi, perlakuan salah, dan penelantaran baik secara online atau offline. (republika.co.id)

Sistem Kapitalisme Penyebab Ketidaktentraman

Tidak dapat dipungkiri, bahwa pandemi ini berpotensi menimbulkan pengaruh terhadap relasi keluarga, sebagaimana terjadinya kekerasan dalam keluarga yang berdampak pada ketenteraman keluarga. Hanya saja, kita perlu mencermati apakah benar semata-mata karena masalah pandemi ini saja?

Baca juga:  BPFA+25, Liberalisasi Perempuan dalam Dunia Pendidikan

Sesungguhnya tidak semudah itu kita menyimpulkan. Mengapa?

Pertama, masalah jumlah konflik dalam keluarga bahkan akhirnya berujung pada perceraian di Indonesia memang sudah tinggi.

Kedua, datangnya wabah ini sesungguhnya adalah takdir Allah yang menimpa umat manusia di dunia, termasuk kaum muslimin. Karenanya dibutuhkan keikhlasan dan tawakal untuk menghadapi ujian Allah ini dan berupaya maksimal untuk bisa melampauinya dengan baik.

Ketiga, upaya penyelesaian terhadap masalah pandemi ini bukan masalah yang berdiri sendiri, tapi akan berpengaruh kepada hal-hal lain. Ketika penguasa atau negara abai terhadap dalam penyelesaian wabah ini, yang ini sesungguhnya merupakan kewajibannya, maka akan memunculkan masalah baru yang justru bisa jadi semakin memperparah kondisinya dan, bisa dipastikan rakyatnyalah yang menjadi korban.

Dan penyelesaian terhadap masalah ini sesungguhnya yang menjadi sorotan, apakah penyelesaiannya berpihak pada rakyat atau justru berpihak pada kelompok tertentu.

Sangat kasat mata, masyarakat awam pun bisa menilai, bahwa penyelesaian pemerintah negeri ini terhadap covid 19 ini justru tidak memihak rakyat, bahkan cenderung menzhalimi rakyatnya. Sejak awal, dengan percaya diri, negeri ini cenderung mengambil penyelesaian dengan herd immunity (imunitas kelompok). Mengacu pada teori di mana wabah penyakit akibat infeksi virus akan hilang ketika mayoritas populasi kebal, dan individu berisiko terlindungi oleh populasi umum.

Dengan begitu virus akan sulit menemukan inang untuk menumpang hidup dan berkembang. Sebagian kalangan menilai bahwa herd immunity memiliki manfaat tersendiri, karena memanfaatkan imunitas bawaan dari manusia, akan sangat hemat jika dibandingkan dengan lockdown total yang mensyaratkan peran penuh pemerintah dalam menjamin semua kebutuhan rakyat. Akan tetapi sesungguhnya akan banyak nyawa rakyat yang dikorbankan.

Dan ternyata, wabah ini semakin meluas dan jatuh korban semakin banyak, pemerintah seolah tidak siap untuk menghadapinya, gagap. Lalu mengeluarkan berbagai kebijakan yang berubah-ubah, cenderung tambal sulam, bahkan tidak seragam antara pemerintah pusat dan daerah jika tidak bisa dikatakan kontradiktif.

Berbelitnya kebijakan yang diputuskan menjadikan masyarakat bingung dalam menjalani semua kebijakan yang ada. Mulai dari kebijakan social distancing, physical distancing, sehingga semua kegiatan yang melibatkan kerumunan massa ditiadakan dan digantikan dengan aktivitas di rumah saja.

Kegiatan pembelajaran dan bekerja dikerjakan secara online, bahkan aktivitas ibadahpun dilakukan di rumah. Tapi ironisnya bandara tetap dibuka bahkan pemerintah justru masih terus memberi peluang kepada para TKA Cina –yang sudah jelas sebagai sumber pertama wabah- datang ke negeri ini.

Bisa diduga, kebijakan ini justru memunculkan permasalahan baru, banyak dari kalangan masyarakat menengah ke bawah yang justru semakin kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Akses pendapatan keluarga kian sulit didapat. Para pedagang dan pekerja harian paling merasakan imbas burukya.

Tak terkecuali juga dengan para buruh, di tengah sulitnya masyarakat menjalani kehidupan, menjadikan daya beli terhadap berbagai produk barang dan jasa menurun drastis. Hal ini tentu berujung pada PHK.

Kondisi ini semakin diperburuk dengan kebijakan pemerintah yang jelas-jelas tidak membela rakyatnya, yaitu dengan membebaskan 36.554 orang narapidana dengan alasan untuk menekan penyebaran covid-19 di Lapas dan Rutan, padahal tujuannya menekan anggaran hingga Rp260 miliar. (CNN Indonesia, 11/04/2020). Tentu saja hal ini semakin membahayakan kondisi keamanan masyarakat dan memperumit permasalahan.

Baca juga:  Hentikan Provokasi Ide Kesetaraan Gender kepada Muslimah

Di tengah situasi yang semakin rumit, di mana sesungguhnya rakyat membutuhkan peran penuh penguasa dalam meriayah, semakin nampak keinginan berlepas tangannya pemerintah, dengan mengeluarkan kebijakan darurat sipil yang semakin menihilkan peran negara.

Mengharuskan masyarakat untuk di rumah saja, namun tidak disertai dengan dukungan atas kebutuhan yang teramat diperlukan. Meski pada akhirnya kebijakan ini digantikan dengan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), pemerintah pusat menyerahkan amanah urusan rakyat pada daerah dan model filantropi individu masyarakat.

Hal ini semakin memperkuat berlepastangannya pemerintah terhadap urusan dan kepentingan rakyatnya, rakyat dibiarkan sendiri menyelesaikan urusannya yang sesungguhnya itu merupakan kewajiban negara. Jika pun ada bantuan sosial dari Pemerintah pusat dan daerah, namun nampak jelas prosedurnya rumit, tidak merata dan jauh dari cukup bahkan disinyalir tidak tepat sasaran.

Ibarat kata… sudah jatuh tertimpa tangga.

Situasi ini diperburuk dengan lemahnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam kaaffah. Ajaran Islam terlanjur dipahami sebatas ritual saja, hingga tak mampu berpengaruh dalam perilaku keseharian, baik dalam konteks individu, keluarga, masyarakat maupun negara.

Dengan minimnya pemahaman Islam kaaffah, ketika diuji kesulitan — termasuk pada situasi pandemi ini — tak sedikit individu muslim yang mengalami disorientasi hidup, hingga mereka mudah menyerah pada keadaan, bahkan terjerumus dalam kemaksiatan.

Dalam konteks keluarga, tak sedikit yang mengalami disharmoni bahkan disfungsi akut akibat himpitan ekonomi dan krisis, termasuk pandemi saat ini, hingga keluarga tak bisa lagi diharapkan menjadi benteng perlindungan dan tempat kembali yang paling diidamkan.

Adapun masyarakat, kian kehilangan fungsi kontrol akibat individualisme yang mengikis budaya amar makruf nahi mungkar. Sementara negara, tak mampu menjadi pengurus dan penjaga umat akibat sibuk berkhidmat pada asing dan pengusaha, bahkan sibuk berdagang dengan rakyatnya.

Harus Berubah!!!

Tidak dapat dipungkiri bahwa Covid-19 ini, membawa dampak terhadap kekerasan terhadap anak dan perempuan, yang sesungguhnya masalah ini sudah marak sebelumnya. Semuanya berpulang pada sistem kapitalisme-sekuler.

Sekularisme dengan paham-paham turunannya yang batil seperti liberalisme dan materialisme memang meniscayakan kehidupan yang serba sempit dan jauh dari berkah. Terbukti, hingga kini dunia terus dilanda krisis, terlebih adanya pandemi ini, semakin membebani mayoritas keluarga muslim dengan kehidupan yang serba sulit, sedangkan penguasa seolah masa bodoh dengan kondisi rakyatnya.

Kondisi ekonomi sulit inilah yang kerap memunculkan masalah dalam keluarga, salah satu di antaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Para bapak kesulitan mendapatkan nafkah untuk keluarganya, yang justru akhirnya mendorong para ibu turut bertanggung jawab menanggung beban ekonomi keluarga yang menyita energi dan waktu mendidik anak-anak mereka.

Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan riak-riak dalam rumah tangga yang selanjutnya berdampak pada ketidakharmonisan keluarga. Semua kondisi ini menjadikan umat Islam kehilangan peluang untuk kembali tampil menjadi entitas terbaik dan terdepan (khoyru ummah) sebagaimana fitrahnya.

Tentu saja kondisi ini tak boleh dibiarkan berlama-lama. Umat Islam harus segera bangkit dari keterpurukan dengan jalan kembali kepada Islam kafah dalam naungan Khilafah. Keluarga muslim, termasuk para ibu, harus kembali berfungsi sebagai benteng umat yang kukuh, yang siap melahirkan generasi terbaik dan individu-individu yang bertakwa, dengan visi hidup yang jelas sebagai hamba Allah yang mengemban misi kekhalifahan di muka bumi.

Baca juga:  Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak-anak: Wabah Impor dari Barat Sekuler

Ramadan, Momen Mengukuhkan Benteng Keluarga

Dan momentum itu ada pada bulan Ramadan. Di mana individu, keluarga, dan masyarakat terkondisi untuk dekat dengan Islam; Di mana sumber tuntunan hidup muslim dan rahasia kesuksesan hidup mereka di masa lalu yaitu Alquran dan hadis Nabi SAW sedang menjadi sumber bacaan yang diutamakan; Media massa masif menebar acara bernuansa kebaikan; Interaksi antarindividu dalam keluarga sedang tersuasana untuk saling mendekat dan menguatkan, apalagi dalam situasi PSBB di beberapa daerah yang mengharuskan anggota mayoritas anggota keluarga berdiam di rumah.

Dengan bekal takwa dan tawakal pada Allah, kita yakini bahwa pandemi yang menimpa dunia saat ini, yang dialami juga oleh kaum muslimin di berbagai belahan dunia adalah ujian dari Allah SWT. Kita berupaya maksimal untuk bisa melalui ujian ini, sekaligus menjalani Ramadan dengan penuh semangat dan optimis, serta harapan untuk dapat meraih ketakwaan yang hakiki.

Allah SWT telah memilih bulan Ramadan dengan keutamaan dan kekhususan dibanding bulan-bulan yang lainnya. Harus kita pahami dengan sepenuh iman dan ketaqwaan kita kepada Allah, bahwa ini semua adalah sebagai bentuk nikmat dan karunia Allah kepada para hamba-Nya agar senantiasa bersemangat mendekatkan diri kepada Allah dan meninggalkan perbuatan yang dimurkai-Nya.

Di saat pandemi ini, tentu kita bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah sekaligus semakin menguatkan tali persaudaraan dengan anggota keluarga, kita bisa lebih mengintensifakan sholat berjama’ah di setiap waktu sholat fardhu, memperbanyak salat sunah termasuk salay tahajud menjelang sahur, ditambah lagi dengan tarawih bersama.

Tadarus yang biasa kita lakukan di masjid, bisa kita lakukan di rumah bersama suami dan anak-anak kita. Di samping itu kita bisa lebih intens lagi mengerjakan pekerjaan rumah bersama-sama saling bantu membantu menyiapkan hidangan berbuka walaupun dengan hidangan yang sangat sederhana di tengah pandemi ini, dan banyak lagi.

Yang menjadi masalah selanjutnya adalah, bagaimana agar suasana seperti ini senantiasa ada pada 11 bulan di luar Ramadan? Agar individu tetap terpelihara ketakwaan, keluarga tetap kokoh karena terfungsikan dengan benar, masyarakat tetap terjaga sebagai mesin kontrol penguat ketakwaan dan negara pun menjadi pengurus (raa’in) sekaligus penjaga (junnah) umat dari celah kerusakan.

Di sinilah urgensi dakwah membangun kesadaran, bahwa Islam bukan cuma agama ritual, tapi juga mengatur seluruh aspek kehidupan, baik dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat maupun negara. Sehingga Alquran yang sepanjang Ramadan hanya dibaca dengan target dikhatamkan, juga dipahami dan difungsikan kembali dengan benar, yakni sebagai solusi terbaik untuk berbagai persoalan kehidupan dan sebagai undang-undang yang mutlak harus dijalankan.

Sesungguhnya Rasulullah saw pernah menuturkan, bahwa ibadah shaum dan imam (negara/khalifah) sama-sama berfungsi sebagai junnah atau penjaga. Karenanya, marilah kita jadikan Ramadan sebagai momentum untuk mewujudkan dua junnah kehidupan tersebut. Yakni shaum yang menghantarkan pada ketakwaan individu, serta imam (negara/khalifah) yang berfungsi sebagai pelindung dan pengayom rakyatnya bisa mewujudkan ketakwaan masyarakat.

Dengan keduanya, kesakinahan dan kebahagiaan hidup pasti akan dirasakan tidak hanya oleh keluarga muslim yang menjalankan, tetapi juga oleh umat secara keseluruhan, karena aturan Islam memang datang sebagai rahmat bagi seluruh alam. [MNews]

54 komentar pada “Maraknya Kekerasan dalam Keluarga, Bukti Gagalnya Negara Penuhi Kemaslahatan Keluarga

  • Hanya KHILAFAH solusinya???

    Balas
  • keburukan sistem kapitalis merusak segalanya….

    Balas
  • Kapitalisme sedang menunjukkan ketidakmampuannya menjadi solusi atas problematika kehidupan. Ubah tatanan dunia dengan sistem Islam, Khilafah.

    Balas
  • Hanya dengan khilafah, solusi tuntas akan kita dapatkan

    Balas
  • Astaghfirullah…sudah saatnya kembali kepada aturan yang dapat nenyelesaikan seluruh permasalan hidup manusia..yaitu Islam

    Balas
    • Shaum & imam adalah junnah.

      Balas
  • Islam kaffah pelimdung keluarga

    Balas
  • Dalam Islam, keluarga adalah persahabatan antara suami istri. Penuh cinta. Tentu landasan berkeluarga nya harus didasari Islam. Bukan yg lain. Suami dilarang melakukan kekerasan kepada istri dan anak2nya. Dosa besar.

    Balas
    • Sistem sekular tak pernah memberikan kebaikan pada keluarga, justru menjadikannya berantakan. Jangan percaya pada sistem sekular. Berkeluarga adalah bagian dari Syara’, maka jelas sistem Islam lah yang akan menjadikan sakinah mawadah warahmah.

      Balas
  • Sukma Zulviana

    Astagfirullah. Negara dengan kapitalisnya. Semoga semua ini cepat berakhir

    Balas
    • inilah kegagalan sistem kapitalisme

      Balas
  • Kita harus berubah,mari bersama2 mewujudkan negri yg d ridhoi Allah

    Balas
    • Alif azzahra

      Ramadhan saat yang tepat kokohkan benteng ketahanan keluarga..

      Balas
  • fatma ulfa diani

    astagfirullah sungguh buah dari sistem kapitalis yang menyengsarakan

    Balas
    • MasyaAllah hanya islam solusi seluruh problematika umat

      Balas
  • Ummu fadhilah

    Islam solusi tuntas berbagai permasalahan kehidupan

    Balas
  • Rini Hustiany

    Semuanya ini berakar dari kelemahan negara utk menyediakan lapangan pekerjaan dan menyediakan pendidikan yg mumpuni. Agar rakyat punya bekal dari sisi ilmu pengetahuan

    Balas
    • Selama sistem kapitalisme masih diterapkan maka akan selalu memproduksi masalah yg tdk kunjung terselesaikan. Saatnya beralih ke sistem Islam, satu2 sistem shohih yg mampu menyelesaikan berbagai macam persoalan kehidupan dg tuntas.

      Balas
  • Ummu Zaiimah

    Islam rahmat bg smua

    Balas
  • Ika Nur Hidayah

    Berlarut-larut masalah umat tak kunjung selesai, yang ada rezim sibuk mencari kambing hitam di setiap keadaan. Inilah bukti lemah dan rusaknya sistem Demokrasi buatan manusia,sangat layak dibuang dan diganti dengan sistem islam warisan Nabi SAW.

    Balas
  • Kapitalisme sistem gagal, tak layak memimpin dunia

    Balas
    • Ya Allah, jaga keluarga kami

      Balas
  • Selama sistem belum beralih ke Islam maka permasalahan² semacam ini tdk akan berhenti terjadi krn paham komunis dan kapitalis tdk memuliakan perempuan dan anak² beda dgn Islam yg sangat memuliakan perempuan

    Balas
  • Yuk ganti istem dengan sistem khilafah

    Balas
  • Dengan banyak nya problem terhususnya di ketahanan pangan. Bukti hanya islam yg mampu menjadi ssolusi

    Balas
  • Qawlan Sadiidan

    Masha Allah…hanya Islam solusi atas semua ini

    Balas
  • Syahira mia

    MasyaAllah hanya sistem islam yg mampu menyelesaikan keluarga saatnya berganti ke sistem islam kaffah…..

    Balas
  • Sungguh Syariat Islam membawa Rahmat bagi seluruh alam.

    Balas
  • Semoga Aturan Islam segera tegak

    Balas
  • Rikeu Indah M

    Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberkahi keluarga-keluarga muslim.. Aamiin

    Balas
  • Keluarga samara terbentuk secara fitrah dlm naungan islam kaffah

    Balas
  • Semoga Allah segera menghapuskan sistem Kapitalisme ini dan menggantinya dengan sistem islam

    Balas
  • Semoga allah senantiasa memudahkan urusan negara ini

    Balas
  • Siti rohmah

    Sistem kapitalism mencari untung dibalik semua peristiwa

    Balas
  • Bahkan institusi keluarga islam yang tersisa saja sudah rapuh..ya Allah..segerakan pertolonganmu untuk umat ini

    Balas
  • masyaaAllah solusi terbaikk, kembali kedalam naungan sistem Islam allahuakbar

    Balas
  • Sudah saatnya keluarga-keluarga kaum muslimin menjadikan Islam dalam landasan berkeluarga, dijadikan pandangan kehidupan dalam membangun keluarga sakinah mawadah warahmah dan pengembangan dakwah.

    Balas
    • Maasyaa Allah hidup nyaman di dalam naungan Islam

      Balas
      • Hanya dg menjadikan Islam sbg pedoman hidup kita dapat melalui tiap masalah dg sikap terbaik..

        Balas
  • Kapitalisme sekulerisme tdk memberikan keamanan baik semua org, wanita, pria maupun anak

    Balas
  • Masyaallah indahnya hidup dalam pengaturan sistem islam

    Balas
  • Restu Adelia

    Tidak ada ketentraman tanpa Islam.. Aturan Islam solusi segala masalah ✨

    Balas
    • Maasyaa Allah hidup nyaman di dalam naungan Islam

      Balas
  • Islam selamatkan perempuan dan generasi

    Balas
  • Mesi Tri Jayanti

    Butuh khilafah

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *