Nasional

Soal Pernyataan Jokowi dalam KTT GNB Virtual, Pengamat: Apa untungnya bagi Rakyat?

MuslimahNews.com, NASIONAL – Pada Senin (4/5/2020) malam, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Gerakan Non-Blok (GNB) melalui konferensi video dari Istana Kepresidenan Bogor untuk membahas penanganan pandemi global Covid-19.

KTT GNB yang diselenggarakan di Baku, Azerbaijan tersebut mengambil tema “Bersatu Melawan Covid-19” dan dihadiri sebagian besar pemimpin negara GNB serta sejumlah organisasi internasional dan regional.

Dilansir kabar24.bisnis.com, ada tiga prioritas yang disampaikan Jokowi pada pertemuan virtual yang didampingi Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu.

“Pertama, perkuat solidaritas politik antara kita, karena hanya dengan bekerja sama, kita dapat memenangkan peperangan ini,” kata Jokowi.

Yang kedua, Jokowi menekankan pentingnya kerja sama konkret antara negara GNB, terutama dalam perolehan obat dan vaksin Covid-19 dengan harga terjangkau.

Dan yang ketiga, penguatan kemitraan global bagi negara berkembang. Menurut Jokowi, perlu untuk suarakan dan perjuangkan komitmen bantuan pembangunan dan kemanusiaan, keringanan utang, maupun kewajiban pembayaran utang dari kreditur resmi (official creditors) dapat dialihkan untuk pembiayaan penanganan Covid-19.

Jokowi menambahkan, komitmen kelompok G20 untuk penangguhan pembayaran utang bagi negara berpendapatan rendah perlu direalisasikan. Di akhir sambutannya, Jokowi kembali menegaskan bahwa multilateralisme harus tetap menjadi landasan kerja sama internasional.

Merespons pernyataan Jokowi tersebut, analis politik Ustazah Pratma Julia Sunjandari mengatakan bahwa tak ada yang baru dari semua pernyataan itu. Jokowi hanya mengulang pernyataannya saat KTT Luar Biasa G20 secara virtual (26/3/2020) dan KTT ASEAN (14/4/2020).

“Inti pembicaraannya adalah memperkuat solidaritas melalui kerja sama multilateralisme demi memulihkan ekonomi seusai krisis. Maklum, krisis ekonomi yang disebut analis ekonomi sebagai The Great Cessation (kemandekan yang luar biasa, ed.) tak mampu bila hanya dipikul negara besar saja,” jelas Ustazah Pratma kepada MNews, Jumat (8/5/2020).

Menurutnya, negara besar butuh negara berkembang yang berkelimpahan SDA, tenaga kerja murah, dan memiliki potensi pasar yang luas. Ini tentu terkait dengan potensi ekonomi yang bakal digenjot bila krisis ini bakal berakhir. Karena itu, “para pengendali dunia” butuh solidaritas dan kerja sama global.

Ustazah menjelaskan, yang dimaksud solidaritas untuk memperkuat kemitraan global, bisa jadi adalah bentuk dukungan terhadap WHO, lembaga multilateral yang didirikan AS untuk memperkuat hegemoninya, yang justru dilemahkan oleh Donald Trump, yang disebut Ustazah sebagai “Presiden bermulut besar”.

Diketahui, Trump menghentikan dana bantuan kepada WHO (14/4/2020) di tengah krisis virus corona karena dianggap gagal mengendalikan virus sejak muncul di Wuhan pada Desember 2019.

“Wallahu a’lam, apakah lawan politik Trump yang berusaha menghimpun dunia ketiga yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok, ASEAN, dan G20 untuk memperkuat lembaga global ini. Maklum, ketidakmandirianlah yang amat mudah mengikat pemimpin negara-negara tersebut dalam kesepakatan global yang disusun mafia di negara-negara kuat,” papar Ustazah Pratma.

Padahal, keuntungan bergabung dan aktif dalam lembaga global, tak dirasakan rakyat kecuali hanya mendapat prestise saja. Sebagaimana Indonesia bersama Ghana, Liechtenstein, Norwegia, Singapura, dan Swiss yang dianggap berprestasi saat meloloskan resolusi Majelis Umum PBB tentang “Global Solidarity to Fight Covid-19.

Resolusi itu sama seperti pernyataan Jokowi di atas, yakni menekankan kerja sama internasional dalam upaya mitigasi pandemi global Covid-19, sekaligus menegaskan peran sentral WHO di garda depan koordinasi. Padahal dalam situasi pandemi ini, mafia kapitalis dunia berlomba-lomba memproduksi dan membuka pasar bagi obat-obatan dan vaksin Covid-19.

“Rupanya, ke arah itulah kerja sama internasional yang diharapkan demi memulihkan Gross World Product yang terkontraksi hingga menghasilkan pertumbuhan negatif di negara maju. Maka sangat aneh ketika Presiden meminta harga yang terjangkau bagi obat paten dan vaksin,” jelas Ustazah Pratma.

Artinya di sini, Indonesia siap menjadi “penadah” produk farmasi impor. Bertolak belakang dengan sikap yang dicitrakan Menteri BUMN Erick Thohir, di mana Erick berang terhadap ketergantungan Indonesia pada produk kesehatan dan farmasi impor.

Sebenarnya, dengan kekayaan plasma nutfah sumber hayati bahan farmasi dan kemampuan SDM yang dimiliki, Indonesia cukup mampu memproduksi obat dan vaksin. Sayangnya, keterikatan Indonesia dengan lembaga global World Trade Organization (WTO), yang semena-mena memegang rezim paten produk intelektual, menyebabkan niat mandiri itu amat mustahil terealisasi.

“Masalah utamanya kembali pada political will pemimpin negeri ini: Punya atau tidak untuk menjadi mandiri. Tapi apa daya, posisi Indonesia sebagai negara pengekor tersandera dengan kesepakatan multilateral. Sulit rasanya membayangkan rezim ini “galak” terhadap makelar korporasi produk kesehatan global yang berhasil memaksa dunia ketiga untuk mengimpornya,” ungkap Ustazah.

Bahkan, lanjut Ustazah, keberadaan ASEAN Macro Economic Research Office (AMRO), CMIN, dan APT Emergency Rice Reserve sengaja dibentuk untuk menjamin perdagangan dan free flow of goods,

Dalih ketahanan pangan masa pandemi Covid-19 dijadikan alasan memastikan rantai pasokan global untuk perdagangan produk kesehatan dan kebutuhan pangan disuplai korporasi besar dunia.

Alhasil, ujung-ujungnya peningkatan impor akan menambah utang luar negeri.

“Sungguh kian berat beban yang harus dipikul anak-cucu kita, per Februari 2020 saja utang Indonesia telah mencapai Rp6.316 triliun,” ujarnya.

Sekalipun dalam pertemuan GNB itu Jokowi dengan bangga menunjukkan komitmen G20 untuk mengimplementasikan penangguhan pembayaran utang bagi negara berpendapatan rendah, utang tetaplah utang. Cerminan penjajahan yang dipraktikkan negara maju dengan lembaga rentenya semacam IMF ataupun World Bank Group.

Sungguh ironis pidato Jokowi di KTT GNB itu, mengingat 59 tahun lalu GNB didirikan untuk melawan “musuh bersama” imperialisme dan neokolonalisme.

“Ironisnya, musuh bersama mereka hari ini masih setia bercokol di setiap jengkal tanah yang mereka huni. Musuh bersama negara-negara GNB bukanlah Covid-19, tapi tetaplah imperialisme,” tegas Ustazah.

Segala komitmen internasional yang melibatkan Indonesia, lanjut Ustazah, hanya memperpanjang napas penjajahan ekonomi para oligarki global yang meminjam tangan penguasa yang tak punya daya di dunia ketiga. Para penguasa penghamba kepentingan global itu pun dinilai tidak mengurus rakyatnya dengan baik.

“Tidak hanya lamban, namun mereka juga gagal membuat kebijakan strategis dan efektif sehingga banyak menimbulkan korban, baik penderita Covid-19 ataupun rakyat secara umum yang kelaparan, kehilangan pekerjaan, sulit mengakses kebutuhan pokoknya, dan sebagainya,” jelas Ustazah.

Ustazah mengungkapkan bahwa untuk saat ini tak ada satu pun negara yang mampu menghentikan neoimperialisme ini. Sebab tak ada di antara mereka yang sanggup melepaskan ketergantungannya pada keputusan yang dikeluarkan raksasa global, baik negara ataupun komunitas semacam PBB dan segala organnya: WEF, OECD, G7, dan lain-lain.

“Hanya khilafah yang mampu memutus rantai ketergantungan itu, karena Khilafah sajalah yang mampu menandingi hegemoni mafia besar dunia,” pungkasnya. [MNews]

7 komentar pada “Soal Pernyataan Jokowi dalam KTT GNB Virtual, Pengamat: Apa untungnya bagi Rakyat?

  • Hanya sistem Islam yang membuat Indonesia berdaulat, adil dan makmur

    Balas
  • Ya Allah pak tegakkan saja khilafah maka semuanya beres

    Balas
  • Masyaallahh..
    Rinduu dengan daulah khilafah islamiyah

    Balas
  • Innalillah rezim semakin menjadi jadi

    Balas
  • Azzahrah Yunita Ratri

    Khilafah janji Allah

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *