Editorial

[Editorial] Antara Kemiskinan dan Drama Penguasa

MuslimahNews.com, EDITORIAL – Betapa tragis nasib rakyat jelata di tengah pandemi corona. Untuk mendapat bantuan sedikit saja, selalu harus ada drama.

Saat penguasa “mendatangi” mereka, kamera pun harus selalu terpasang di mana-mana. Sementara media susul menyusul membangun citra. Seolah Sang Umar Al Faruq telah kembali ke dunia nyata.

Kalaupun tanpa sorotan kamera, kantong sembako pun jadi alatnya. Miliaran rupiah dihamburkan demi sekedar membuat bungkus bernama “citra”. Sementara di saat sama, jutaan orang menahan lapar tanpa tahu harus berbuat apa.

Beberapa hari terakhir di masa pandemi ini, kondisi ekonomi memang kian memburuk. Kebijakan yang tidak disertai kesiapan dan kapabilitas kepemimpinan membuat rakyat harus berjuang sendirian di tengah segala keterbatasan.

Tak heran jika kasus-kasus kelaparan mulai bermunculan di berbagai daerah. Begitu pun kriminalitas berlatar keterpaksaan. Ada satu keluarga yang hampir mati lemas, ada bapak yang mencuri beras, ada seorang ibu yang mencuri ayam, bahkan ada yang mencuri nasi karena lapar. Dan di beberapa tempat sudah terjadi kasus-kasus percobaan bunuh diri akibat tekanan ekonomi yang kian berat.

Ironisnya, di tengah kondisi seperti ini riayah (pengurusan) penguasa terhadap rakyat dirasa makin tak jelas arah. Penguasa nampak kelimpungan. Karena sejak sebelum pandemi pun sudah begitu banyak problem yang harus diselesaikan, sementara sumber daya dan modal untuk mengurangi beban rakyat nyaris hilang akibat miss manajemen dan intervensi asing melalui tekanan utang.

Bahkan rusaknya paradigma kepemimpinan membuat riayah tak ubahnya sebuah dagelan. Alih-alih meringankan beban rakyat, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan penguasa justru membuat rakyat bertambah sengsara. Tak ada keseriusan.

Tengoklah semua proyek yang diklaim sebagai upaya meminimalisasi dampak Covid-19. Empat proyek jaring pengaman sosial yang terdiri dari program keluarga harapan, program kartu sembako, program kartu prakerja, dan subsidi listrik nyatanya tak benar-benar memberi rasa nyaman.

Begitu pun dengan proyek bantuan langsung tunai (BLT) yang diklaim bisa menambah penerima manfaat. Nyatanya, bantuan yang diberikan tak langsung tunai mengangkat rakyat dari keterpurukan. Bahkan bisa dikatakan, semua program-program ini hanya nampak sebagai program gimmick alias artifisial.

Faktanya, semua proyek itu memang tak sepadan dengan kebutuhan rakyat. Bahkan pada tataran implementasinya, proyek-proyek itu hanya menjadi jalan para kapitalis rekanan rezim untuk beroleh keuntungan yang lebih banyak. Sementara rakyat sendiri, nyatanya tak mendapat manfaat signifikan.

Di luar itu, buruknya sistem birokrasi dan administrasi termasuk validitas pendataan dan penetapan syarat penerima bantuan, seolah menjadi sumber kekacauan baru di tengah masyarakat. Hingga selain berujung bantuan tak tepat sasaran, juga berujung meningkatnya kecemburuan sosial.

Untuk kasus BLT misalnya, tak sedikit para ketua RT/RW yang akhirnya merasa stres luar biasa. Karena tuduhan korup harus siap-siap disematkan kepadanya. Pasalnya, jumlah keluarga yang mereka ajukan sebagai calon penerima bantuan, ternyata tak di acc semua. Bahkan persentasenya sangat kecil dari kebutuhan sesungguhnya.

Yang lebih parah, ketika dana tak turun-turun akibat terganjal urusan administrasi. Dan lalu rakyat pun disuruh menunggu, sementara perut mereka dan keluarganya tak bisa menunggu. Bukankah ini merupakan salah satu bentuk kezaliman?

Sungguh dari semua hal yang dipertontonkan, nampak jelas bahwa sistem yang ada berikut para penjaganya tak mampu menjadi tumpuan harapan umat. Bahkan penerapannya telah mengundang ketidakberkahan.

Betapa tidak? Alih-alih dientaskan, kemiskinan dalam sistem destruktif ini malah acap kali dimanfaatkan sebagai objek pencitraan. Bahkan tak hanya menjadi objek pencitraan, kemiskinan seringkali pula dikapitalisasi alias dibisniskan.

Tengoklah acara-acara di televisi. Program Uang Kaget, Bedah Rumah, Nikah Massal, Tolong, Andai Aku Menjadi, dan program-program lain yang serupa, adalah bentuk kapitalisasi kemiskinan yang kasat mata. Karena dengan modal tak seberapa, sang produser bisa beroleh untung jauh lebih banyak dari iklan yang masuk pada program acaranya.

Begitu pun tak jauh beda dengan para politisi dalam sistem sekuler yang hari ini ditegakkan. Mereka ini tak ubahnya para produser yang juga siap menarik untung dengan merilis program-program pencitraan bertema pengentasan kemiskinan. Yakni keuntungan berupa jabatan kekuasaan yang kemudian mereka gunakan untuk menarik manfaat meski harus mengorbankan kepentingan rakyat banyak.

Sungguh kondisi ini berbeda jauh dengan paradigma kepemimpinan Islam. Dalam Islam, mewujudkan kesejahteraan rakyat merupakan amanah berat yang dipikulkan ke pundak para pemimpin mereka. Yang karenanya, amanah kepemimpinan ini menjadi amanah yang paling tak diinginkan siapapun yang menggunakan akalnya.

Inilah pula yang membuat para khalifah Rasulullah saw selalu menangis saat didaulat menjadi pemimpin umat. Karena mereka paham, umat tak boleh hidup tanpa kepemimpinan, tapi menjadi pemimpin mereka tanggung jawabnya sangat berat.

Bahkan sesaat setelah dibaiat, sayyidina Umar ra berpidato dengan pidato yang menggetarkan hati. Tampak betapa besar rasa takutnya saat beliau “terpaksa” menerima amanah kepemimpinan setelah Sayyidina Abu Bakar ra wafat.

الحمد الله كما اثن ربنا على نفسى، والصلاة والسلام على نبي الأ مين، ورحم الله أبي بكر الصديق. لقد أد أمته. و نصح أمته. ولم يترك إلى الناس بعض ما قاله. ولقد خلصن بعده تعبا، ومااجتهدنا يوم فى استبقاق الخيرات إلا وجدناه سابقا. فكيف اللحاقبه؟ فلله ما أخذ، وﷲ ما أعطى.

“Segala puji bagi Allah sebagaimana aku memuji Allah atas diriku. Selawat serta salam atas Nabi Al Amin. Semoga Allah merahmati Abu Bakar As Shiddiq. Ia telah melaksanakan amanah yang diembannya. Selalu membimbing umat. Ia telah meninggalkan umat tanpa ada yang menggunjingnya. Kita setelahnya, mengemban tugas yang berat. Kita tidak mendapatkan kebaikan dari hasil ijtihad kita saat ini, kecuali telah ada pada masa sebelum kita. Bagaimanakah kemudian kita bergabung dengannya kelak? Kepunyaan Allahlah yang telah diambil. Dan kepunyaan Allahlah semua yang telah diberikan.”

أيها الناس! ما انا إلا رجل منكم، ولولا أني كرهت أن أرد أمر خليفة رسول ﷲ ماتقلدت أمركم.

“Saudara-saudara! Aku hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak karena segan menolak perintah Khalifah Rasulullah (Abu Bakar Ash Shiddiq) aku pun akan enggan memikul tanggung jawab ini”.

اللهم إني غليظ فليني! اللهم إني ضعيف فقوني! اللهم إني بخيل فسخني!

“Ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku! Ya Allah, aku sangat lemah, maka berilah aku kekuatan! Ya Allah, aku ini kikir, jadikanlah aku orang dermawan!”

إن الله ابتلاكم بي، وابتلاني بكم، وأبقاني فيكم بعد صاحبي، فوﷲ لايحضرني شئ من امركم فيليه أحد دوني، ولايتغيب عنى فالو فيه عن الجزء والأمانة، ولئن أساءوا لأنكلن بهم.

“Allah telah menguji kalian denganku, dan mengujiku dengan kalian. Sepeninggal sahabatku (Abu Bakar Ash Shiddiq), sekarang aku yang berada di tengah-tengah kalian. Tak ada persoalan kalian yang harus aku hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain selain aku, dan tak ada yang tak hadir di sini lalu meninggalkan perbuatan terpuji dan amanat. Kalau mereka berbuat baik akan aku balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan terimalah bencana yang akan aku timpakan kepada mereka.” (Muhammad Husain Haekal dalam buku Biografi Umar bin Khattab)

Dalam menjalankan kekuasaan, para khalifah termasuk Sayyidina Umar nampak sangat hati-hati menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya, karena dengan itu, mereka akan terjatuh pada perbuatan dzalim pada rakyatnya.

Bahkan sepanjang sejarah kepemimpinannya, mereka begitu serius memenuhi kebutuhan rakyat, baik di masa lapang maupun sulit, sampai-sampai mereka akhirkan seluruh kepentingan diri dan keluarganya.

Di masa kekhilafahan Umar ra yang cukup panjang, bertebaran kisah-kisah teladan kepemimpinan yang tak mungkin ditiru oleh kepemimpinan yang paradigmanya bersebrangan seperti saat sekarang.

Blusukannya Umar, BLT-nya beliau, benar-benar lahir dari sebuah kesadaran mendalam, bahwa setiap pengurusannya atas jiwa rakyatnya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di sisi Allah swt. Jadi, tak ada urusannya dengan eksistensi jabatan, apalagi sekadar pencitraan.

Itulah yang melatari berkembangnya sistem pengaturan umat yang serba transparan dan memudahkan dalam sistem kepemimpinan Islam. Sebuah sistem hidup yang nothing to lose, karena hanya berorientasi mencari keridaan Allah swt sehingga benar-benar berdampak pada terraihnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup masyarakat Islam, tanpa kecuali dan tanpa tandingan.

Optimasi sistem kelembagaan baitulmal, optimasi sistem peradilan termasuk lembaga hisbah, kebijakan menyangkut tanah, pendirian lembaga rumah tepung, program intervensi pasar saat situasi paceklik, sistem lockdown saat wabah, dan lain-lain merupakan bentuk-bentuk inovasi implementasi syariat yang lahir dari kesadaran tentang wajibnya berserius dalam mengurus umat.

Kalaupun ada fase di mana kepemimpinannya diuji dengan masalah, maka para khalifah tersebut, mampu menyelesaikannya dengan cara berpegang teguh pada syariat. Karena syariat memang sejatinya datang sebagai solusi seluruh problem manusia. Bukan malah lari kepada asing dan bertumpu pada arahan mereka.

Sungguh, umat hari ini, sangat membutuhkan kepemimpinan Islam. Karena kepemimpinan Islam tegak atas paradigma sahih tentang hakikat amanah dan pertanggungjawaban.

Yang akan menjadikan penguasa benar-benar menjadi pengurus dan penjaga rakyatnya, serta menempatkan kebahagiaan rakyat dan kemuliaan agamanya menjadi visi utama kepemimpinannya. Wallaahu a’lam. [MNews | SNA]

82 komentar pada “[Editorial] Antara Kemiskinan dan Drama Penguasa