Analisis

Rezim Neolib: Pelit pada Rakyat, Royal pada Korporasi

Oleh: Indriani

MuslimahNews.com, ANALISIS – Hampir sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia, merasakan dampak yang signifikan terutama ekonomi akibat pandemi Covid-19. Berbagai cara dilakukan untuk mencegah maupun menanggulangi penyebaran virus ini, tetapi belum menemukan titik terang.

Upaya yang dinilai setengah hati bahkan berbelit-belit menjadikan sebagian lapisan masyarakat kurang mendukung kebijakan yang ditetapkan.

Pandemi ini memberikan dampak besar pada mata pencaharian sehari-hari masyarakat Indonesia. Seperti kebijakan untuk tetap di rumah, membuat geliat bisnis lesu.

Bahkan tidak sedikit pekerja dirumahkan atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini mendorong Pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang diharapkan dapat meringankan derita warganya.

Pemerintah mengalokasikan anggaran bantuan sosial untuk masyarakat terdampak pandemi virus corona sebesar Rp110 triliun. Hanya saja terkait alokasi di lapangan, hanya 20 persen yang merasakan saluran bantuan sosial tersebut.

Sebabnya, menurut staf khusus Menkeu Maysita Crystalline, dalam krisis seperti ini, biasanya terjadi dua permasalahan basis data dalam penyaluran bansos yakni inclusion dan exclusion error.

Inclusion error merupakan kesalahan akibat yang terdata bukan warga miskin. Sedangkan exclusion error merupakan kesalahan data apabila warga miskin belum terdaftar.

Lagi-lagi, pendataan menjadi masalah klasik yang terus menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan selalu berulang setiap kali krisis terjadi.

Bantuan Sosial Pemerintah, Tepatkah?

Bantuan sosial semakin gencar disebarkan sejak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pemerintah daerah hingga masyarakat membagikan sembako dan kebutuhan pokok lainnya.

Meski begitu, banyak masyarakat miskin yang belum tersentuh. Bahkan, tak jarang bantuan sosial atau bansos dari pemerintah daerah malah tak tepat sasaran.

Anggota DPRD DKI Jakarta, Jhonny Simanjuntak ternyata terdata sebagai salah satu penerima bansos. Tak hanya di Jakarta, di Jawa Timur, Anggota DPRD Jatim, Achmad Amir, menceritakan bantuan antara pemerintah provinsi dan tingkat desa tumpang tindih.

Lalu, masyarakat yang berada di rumah hanya mendapat masker dan sembako. Tapi, mereka yang keluyuran malah dapat bantuan lebih.

Ada pula viral video 25 detik yang menunjukkan dua anak yatim piatu di Desa Sebau, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan, dengan kondisi tubuh kurus kering akibat kelaparan tak tersentuh bansos, diikuti dalih Pemkab Muara Enim yang mengklaim pemerintah daerah sejak 2015 rutin memberi bantuan. (Vivanews.com, 24/4/2020)

Beredar pula video kegeraman Bupati Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara, Sehan Salim Landjar yang viral di media sosial lantaran mekanisme pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah pusat dianggap sulit. Menurutnya, warga tak harus menunggu lama untuk mendapatkan bantuan itu.

Sangat disayangkan penanganan dampak Covid-19 dari pemerintah –yang diharapkan tidak hanya cepat tetapi juga tepat sasaran– justru lambat dan berbelit. Hal ini menambah kekecewaan rakyat yang tengah berjibaku agar dapat bertahan hidup di tengah pandemi yang tidak diketahui kapan berakhirnya.

Perspektif publik terkait program pemberian bansos untuk menanggulangi dampak negatif pandemi menjadi negatif. Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengungkapkan melalui Twitter, awalnya publik menyambut baik kebijakan bansos sembako hingga bansos tunai. Namun, implementasi penyaluran bansos yang tidak terarah dan tumpang tindih menyebabkan masyarakat tidak lagi memandang program ini secara positif.

Dikhawatirkan, jika tidak ada perbaikan maka akan berujung pada konflik sosial di lingkup masyarakat sebagaimana pembagian bansos selama ini. Indef mengharapkan pemerintah dapat memperbaiki akurasi data kelompok rentan dalam pelaksanaan program jaring pengaman sosial (JPS).

Perbaikan data diperlukan untuk mencegah munculnya konflik akibat kecemburuan sosial. Pemerintah juga perlu menjamin ketersediaan kebutuhan dasar serta perlindungan sosial kelompok rentan dan yang terkena PHK.

Hasil riset analisis Indef (7/4/2020), kebijakan JPS mendapatkan 56% sentimen negatif dan 44% positif dari 17.781 perbincangan. Pokok utama perbincangan di media sosial adalah penyaluran BLT tidak tepat sasaran.

Oleh karena itu, pemerintah perlu memperbaiki implementasi penyaluran bantuan, termasuk bantuan lain seperti sembako. Persepsi ini bukan sekadar hiasan saja, melainkan juga sebagai bentuk kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Rezim Neolib, Pelit dan Berbelit

Sebagai penganut ide kapitalisme, pemerintah bukan menempatkan diri sebagai penanggung jawab urusan publik tetapi “hanya mengikuti mekanisme pasar” sebagaimana gagasan “the invisible hand” (tangan yang tak terlihat) milik Adam Smith yang bermakna mengikuti mekanisme pasar.

Gagasan ini dicetuskan Adam Smith sebagai respons terhadap merkantilisme di Inggris pada abad ke-18, yang memberikan peran sangat besar kepada negara untuk melakukan campur tangan (intervensi) dalam perekonomian.

Intervensi negara ini dianggap Smith hanya menguntungkan segelintir orang tertentu dan menyebabkan kesengsaraan bagi sebagian besar masyarakat. Padahal justru gagasan inilah yang menyebabkan teori liberalisasi ekonomi tak terkecuali neoliberalisme tumbuh subur.

Neoliberalisme jelas-jelas menimbulkan mudarat bagi manusia. Pada level global, bahaya tersebut terbukti dengan adanya ketimpangan yang menganga lebar antara negara kapitalis dan negara dunia ketiga.

Pada level lokal, mudarat juga terjadi ketika neoliberalisme dipraktikkan di sebuah negeri, seperti naiknya harga-harga barang dan jasa yang menyulitkan rakyat akibat pencabutan subsidi BBM, termasuk dampak ikutannya seperti munculnya kemiskinan.

Neoliberalisme juga telah merampas hak rakyat. Kekayaan alam negeri Islam yang merupakan milik rakyat dengan kebijakan liberalisme justru dirampok oleh negara-negara imperialis melalui perusahaan-perusahaan asing.

Belum lagi berbagai kebijakan seperti liberalisasi migas yang berujung pada pencabutan subsidi untuk rakyat. Beban rakyat pun semakin berat ketika pajak dijadikan sebagai masukan utama dari rezim neoliberal ini.

Dalam Islam, negara bertanggung jawab penuh atas kebijakan maupun regulasi terkait berbagai urusan dan kebutuhan hidup rakyatnya.

Berbeda dalam sistem kapitalisme neoliberal, di mana pemerintah hanya sekadar menggunakan otoritasnya sebagai penguasa dengan berbagai kebijakan, yang faktanya lebih banyak berpihak pada pengusaha atau pemilik modal. Sehingga tujuan utama yang ingin dicapai bukanlah kemaslahatan atau kesejahteraan rakyat, melainkan manfaat dan keuntungan secara ekonomi saja.

Rezim neolib ala sistem kapitalisme begitu perhitungan bahkan terkesan pelit dan berbelit pada rakyat, namun begitu royal pada para pengusaha dan pemilik modal.

Bayangkan saja, barang tambang dan migas dengan nilai tak terhitung dengan mudah diserahkan pada korporasi bahkan asing. Sementara bagi rakyat –pemilik sah barang tambang itu– hanya diberi bantuan seadanya.

Apakah cukup menyalurkan BLT dengan kisaran nominal Rp600.000 per kepala keluarga per bulan? Sementara Upah Minimum Provinsi di DKI Jaya tahun 2020 sebesar Rp4.267.349?

Tidak hanya itu. Dikutip dari cnnindonesia.com, untuk sekadar mendapatkan bantuan dari dana desa, ada dua syarat utama yang harus dipenuhi.

Pertama, calon penerima merupakan masyarakat desa yang masuk dalam pendataan RT/RW dan berada di desa. Masyarakat yang akan masuk pendataan adalah mereka yang kehilangan mata pencarian di tengah pandemi corona.

Kedua, calon penerima tidak terdaftar sebagai penerima bansos lain dari pemerintah pusat seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Paket Sembako, Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) lain, hingga Kartu Prakerja.

Benar-benar merepotkan bahkan melelahkan untuk jumlah bantuan yang bahkan tidak akan cukup untuk satu bulan.

Hal ini menggambarkan dengan jelas bagaimana rezim neolib hari ini begitu pelit bahkan berbelit dalam memenuhi hak rakyatnya. Ditambah fakta di lapangan terkait bagaimana sikap rezim atas rakyatnya berbeda jauh dengan kecepatan respons dan perhatiannya pada pemilik modal.

Bahkan utang di tengah pandemi tidak menjadi masalah diambil, untuk menjaga keberlangsungan instrumen lembaga keuangan, dibandingkan keberlangsungan hidup rakyatnya. Benar-benar kebijakan zalim.

Bantuan sosial pemerintah yang digadang-gadang sebagai solusi, nyatanya hanya memunculkan berbagai permasalahan baru. Baik untuk pejabat daerah maupun rakyat di bawahnya.

Komunikasi dan koordinasi yang tidak jelas dari pusat ke pemerintah daerah, pendataan warga yang tidak tepat, frekuensi waktu yang lama untuk sampainya bansos tersebut ke tengah-tengah rakyatnya, dan masih banyak hal yang terkesan tidak sepenuh hati diupayakan pemerintah untuk rakyatnya.

Demikianlah tabiat alami dari rezim neolib yang sejatinya pelit dalam melaksanakan tanggung jawabnya atas rakyatnya.

Peran Penguasa dalam Daulah Islam

Pandangan khas Islam terhadap kebutuhan asasi warga negara bukan saja meliputi kebutuhan dasar individu seperti papan, sandang, dan pangan. Kesehatan, pendidikan, dan keamanan yang bersifat komunal juga termasuk kebutuhan dasar (community primary needs).

Dengan paradigma yang sama terhadap kedua jenis kebutuhan tersebut, di mana negara sebagai penanggung jawab urusan rakyat, maka Khilafah menerapkan mekanisme yang berbeda dalam pemenuhannya.

Khilafah bertanggung jawab memampukan setiap warga negara dalam memenuhi kebutuhan dasar individu (papan, sandang, pangan) dengan mekanisme tidak langsung, yakni kewajiban bekerja bagi laki-laki (kepala keluarga). Maknanya, negara diberi tugas oleh syariat untuk membuka lapangan pekerjaan yang luas dan iklim usaha yang kondusif.

Pemberian harta oleh negara kepada warga negara tanpa kompensasi apa pun ini dikenal dengan konsep i’tha’ daulah. Bentuk yang diberikan bisa berupa lahan pertanian, benih dan bibit, modal uang, harta yang langsung dimanfaatkan seperti sarana produksi traktor, mesin bubut, sarana perdagangan lapak di pasar, dan sebagainya. Tanpa mekanisme kredit atau syarat dan ketentuan tertentu yang berbelit-belit dan birokratis secara teknis ataupun administratif.

Sedangkan di masa pandemi, Khilafah wajib memenuhi kebutuhan warga terdampak tanpa harus direpotkan pendataan warga yang tak mampu dan harus melampirkan pembuktian bila dia benar-benar tak mampu.

Sistem sosial yang dikembangkan syariat Islam menjadikan setiap muslim peduli akan kondisi tetangganya, hingga mereka tahu betul siapakah yang masuk kategori butuh bantuan atau siapa saja delapan ashnaf penerima zakat.

Tidak ada pula mental mendahulukan perut sendiri, karena itsar –mengutamakan orang lain- akan terbentuk seiring pilar ketakwaan masyarakat.

Lagipula, untuk mendapatkan subsidi dari Khilafah –apalagi dalam kondisi wabah-, tidak akan tebang pilih hanya yang miskin atau punya hubungan baik dengan petugas lapang. Tetapi subsidi akan diberikan pada siapa pun warga daulah, terutama subsidi terkait energi, transportasi, ataupun biaya keamanan.

Tak perlu pembuktian warga telah jatuh miskin, karena hal itu akan melukai perasaan rakyat yang telah menderita karena wabah.

Khalifah menjaga betul hal itu karena kapabilitasnya, selain ketegasan, keberanian, dan responsibilitas tinggi, Khalifah juga dituntut memiliki kelembutan hati agar empati terhadap kondisi rakyat.

Demikianlah sosok penguasa di dalam daulah Islam. Peran penguasa yang sudah semestinya cepat dan tanggap, tidak hitung-hitungan ataupun setengah hati dalam mengalokasikan bantuan pada warganya.

Semua itu dapat terealisasi manakala Islam diterapkan secara kafah dalam Institusi negara. Sebagaimana janji Allah dan bisyarah Rasul-Nya. [MNews]

62 komentar pada “Rezim Neolib: Pelit pada Rakyat, Royal pada Korporasi