Editorial

[Editorial] Gurita Oligarki, Akankah Rakyat Mati di Tangan Penguasanya Sendiri?

MuslimahNews.com, EDITORIAL – Sesungguhnya wabah Covid-19 telah membawa begitu banyak pesan. Salah satunya, membongkar borok kepemimpinan sekuler demokrasi kapitalistik, yang telah menempatkan kepentingan sekelompok elite penguasa dan kroninya (kaum oligarch) jauh lebih tinggi dibanding kepentingan rakyat banyak. Pun nyawa mereka.

Terlibatnya salah satu stafsus presiden dalam proyek kartu prakerja, bisa menjadi salah satu bukti bahwa praktik oligarki sedang berjalan di Indonesia. Padahal banyak pihak yang menilai, proyek senilai 5,6 triliun uang negara itu sama sekali tak nyambung dengan upaya penanganan Covid-19 dan kebutuhan rakyat di saat wabah.

Begitu pun dengan proyek penanganan wabah yang juga melibatkan perusahaan milik stafsus lainnya. Proyek ini terangkat, saat si stafsus terbukti menyalahgunakan jabatannya dengan mengirim surat ke sejumlah kecamatan agar mau mendukung proyek yang melibatkan perusahaannya.

Yang menyedihkan, sebagian bentuk praktik oligarki ini terjadi di tengah kacau balaunya strategi penanganan wabah yang dilakukan rezim penguasa. Kita bisa melihat, sejak awal wabah ini muncul dan negara lain sigap mencegah penyebarannya.

Penguasa negeri +62 malah sibuk berpikir bagaimana merangkul para kapitalis demi menggenjot investasi dengan dalih menjaga pertumbuhan ekonomi.

Akibatnya, wabah pun dengan cepat merebak, sementara semuanya serba tak siap. Jangankan bicara layanan kesehatan dan jaminan ekonomi maksimal, sekadar menjamin ketersediaan masker dan sanitizer saja pemerintah negeri +62 ini benar-benar kelabakan.

Ironisnya, alih-alih bersegera dan serius mencari cara efektif menghentikan wabah dengan segala dampaknya, rezim penguasa malah sibuk berhitung untung rugi. Mereka tak ingin jika keputusan soal strategi penanganan wabah, ke depan justru akan menjadi beban.

Bahkan akhirnya mereka justru sibuk menggagas proyek-proyek artifisial, yang selain terkesan asal jalan, juga sarat nuansa bagi-bagi lezatnya kue kekuasaan.

Tak heran jika kepentingan rakyat pun tergadaikan. Mereka dibiarkan bergulat sendirian menghadapi ancaman wabah yang mengerikan, berikut dampaknya yang juga tidak ringan.

Hingga hari ini, media pun berulang memberitakan bahwa di samping tingginya tingkat kematian akibat minimnya layanan kesehatan, korban kelaparan pun sudah mulai berjatuhan. Di beberapa tempat, rakyat terpaksa tidur di emperan karena tak sanggup membayar uang kontrakan.

Dan di luar itu, banyak yang kehilangan masa depan hingga harus bergantung pada belas kasih sesama rakyat yang masih punya kepedulian.

Tampak betul bahwa rezim penguasa sudah mati rasa terhadap nasib rakyatnya. Yang ada dalam benak mereka hanyalah bagaimana memenuhi hajat hidup dan kepentingan kelompok elite rakus yang senantiasa memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

Wajar jika banyak yang menyimpulkan bahwa politik Indonesia memang sudah dikuasai para oligarki yang haus materi dan kekuasaan.

Istilah oligarki sendiri sesungguhnya berasal dari bahasa Yunani “oligarkhes” yang berarti diperintah atau diatur oleh beberapa orang. Dalam kamus Merriam-Webster, oligarki diartikan sebagai kelompok kecil orang yang melakukan kontrol terhadap pemerintahan untuk tujuan korupsi ataupun kepentingan diri mereka sendiri.

Jika ditelusuri, praktik oligarki dalam politik Indonesia memang sudah terjadi sejak lama. Di antaranya nampak dari berbagai kebijakan atau undang-undang yang dikeluarkan, maupun dari berbagai perilaku dan wacana politik yang senantiasa nampak akomodatif terhadap kepentingan sekelompok elit kekuasaan dan korporasi.

Tengok saja, setiap kali pergantian kepemimpinan selalu saja diramaikan dengan prosesi bagi-bagi kue kekuasaan. Sampai-sampai, anggaran negara akhirnya harus rela menanggung beban berat karena struktur kabinet tak pernah bisa dirampingkan.

Begitu pun dengan kebijakan dan undang-undang. Betapa banyak kebijakan dan UU yang sarat berbagai kepentingan. Tentunya bukan kepentingan rakyat banyak, melainkan kepentingan para penguasa dan para sponsornya, termasuk korporasi asing.

Ditengarai, sejak amandemen pertama UUD 1945 hingga amandemen ke-4 tahun 2002, setidaknya telah lahir lebih dari 70 UU prokapitalis, bahkan asing. UU tentang penanaman modal asing, migas, kelistrikan, telekomunikasi, perbankan dan keuangan, pertanian, serta sumber daya air, dan lain-lain; Semuanya jelas-jelas bernuansa meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia dan tentu saja menguntungkan kelompok pengusaha yang berkolaborasi dengan kelompok elite penguasa.

Begitu pun dengan wacana amandemen UU soal perubahan masa jabatan presiden dan inisiasi perubahan UU KPK yang sangat kontroversial, serta RUU Omnibus Law yang masih menuai kekisruhan. Semuanya dipandang sarat dengan kepentingan melanggengkan rezim koruptif kapitalistik dan hanya menguntungkan pihak kapitalis alias pemilik modal.

Korban terbesar dari praktik politik oligarki ini tentu adalah rakyat banyak. Karena dengan semua ini syahwat para elite politik makin tak bisa terkendali. Terbukti, nyaris semua kekayaan alam milik rakyat dikuasai. Layanan publik juga dikapitalisasi. Bahkan uang negara pun dikorupsi.

Di negeri seperti ini, tampaknya rakyat tak boleh bahagia. Kalau bisa diperas kenapa tidak? Maka jangan heran, jika demi menambal kebocoran uang negara akibat praktik kolusi-korupsi mereka, rakyat harus rela dipalak melalui skema pajak. Bahkan dana haji dan dana zakat pun, harus siap-siap disunat.

Ironisnya, semua dibuat legal. Para wakil rakyat yang ada di dewan perwakilan, dengan sangat baik melakukan tugasnya sebagai stempel kezaliman pihak eksekutif atau pemerintahan.

Karena nyatanya, sebagian dari mereka pun menjadi pihak yang turut serta dalam setiap bancakan proyek bagi-bagi kue kekuasaan sebagaimana lazim dalam praktik negara demokrasi kapitalis neoliberal.

‘Alaa kulli haalin, apa yang terjadi hari ini, memang tak bisa dihindarkan. Sejak bangsa ini dengan sadar memilih hidup dengan sistem sekuler demokrasi kapitalis neoliberal, maka di saat sama bangsa ini telah menyerahkan nasibnya pada tangan rezim yang disetir sekelompok orang, yang telah menggadaikan dirinya menjadi salah satu tentakel gurita hegemoni kapitalisme global.

Namun banyak yang berpikir, bahwa sistem demokrasi adalah sistem ideal. Padahal nyatanya demokrasilah yang memberi karpet merah bagi lahirnya dominasi segelintir elite kekuasaan. Karena sistem demokrasi ini dikenal sebagai politik berbasis modal.

Apalagi di tengah proses liberalisasi yang diaruskan secara global. Maka, makin kuatlah kepentingan kaum pemodal untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan, baik secara langsung atau tidak langsung dengan cara memodali para elite politisi atau parpol. Targetnya tentu saja dalam rangka mengintervensi pengambilan berbagai keputusan dan undang-undang.

Dalam hal ini, jangan harap ada kamus kemurahhatian. Yang ada hanyalah bagaimana mencari keuntungan, meski rakyat harus dikorbankan.

Tak heran jika bagi kaum kapitalis dan antek-anteknya ini, situasi krisis, wabah, bencana alam, anarkisme bahkan teror dan perang, bisa tetap jadi lahan bisnis yang menguntungkan.

Model pemerintahan dan kepemimpinan seperti ini tentu tak pernah ada dalam konsep dan sejarah penerapan Islam. Risalah Islam justru diturunkan untuk membawa kemaslahatan bagi seluruh alam. Kepemimpinan yang lahir darinya justru hadir untuk memuliakan dan menebar kebahagiaan.

Meski Islam sering dikritik sebagai sistem yang diktator dan otoriter, namun terbukti bahwa Islamlah satu-satunya sistem yang dirindukan. Bagaimana tidak? Sejarah mencatat, selama belasan abad sistem ini tegak, umat Islam hidup dalam peradaban cemerlang dan umat manusia terjaga sebagaimana tujuan penciptaan. Jikapun ada penyelewengan-penyelewengan, maka Islam memiliki mekanisme ampuh untuk memberi solusi penyelesaian.

Maka tengoklah kesaksian para sejarawan Barat, yang dengan jujur menulis tentang keagungan sejarah kepemimpinan Islam.

“Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapa pun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.” (Will Durant – The Story of Civilization).

“Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan, dan peradabannya yang tinggi.” (Jacques C. Reister).

“Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi “dinamo”-nya, Barat bukanlah apa-apa.” (Montgomery Watt).

Apa yang disampaikan para sejarawan Barat itu memang niscaya. Sejak Rasulullah saw berhasil mendirikan negara Islam pertama di kota madinah, negara Islam ini telah menjadi role model bagi sistem pengurusan umat ideal yang berbasis pada akidah (dimensi akhirat) dan kemaslahatan mereka (dimensi dunia), bukan pada kemaslahatan penguasa.

Sejak lahir, Islam mengajarkan, bahwa kepemimpinan adalah amanah berat dan sangat besar. Dia akan menjadi sesalan dan kekecewaan, manakala diabaikan. Namun juga bisa menjadi sumber kebahagiaan, jika dilaksanakan dengan benar.

Wujud dari kepemimpinan ini adalah mengurus dan menjaga rakyat dengan melaksanakan seluruh syariat. Karena hanya syariat Islam yang akan memberi maslahat dan penjagaan sempurna pada seluruh umat.

Adapun negara dalam Islam dipandang sebagai bagian dari metode pelaksanaan syariat Islam tadi. Di mana dengannya, syariat Islam bisa ditegakkan secara sempurna, di bawah kepemimpinan seorang khalifah yang atas nama Allah dibaiat oleh umat semata-mata untuk menerapkan syariat.

Adanya konsep negara dan kepemimpinan seperti inilah maka umat Islam bisa hidup dalam kebaikan dan kesejahteraan, hak-hak mereka terpenuhi, dan mereka pun terjaga dari kejahatan pihak-pihak yang menghendaki keburukan. Ini dikarenakan fungsi kepemimpinan dalam Islam adalah pengurus (rain) dan penjaga (junnah).

Karenanya, kalaupun sejarah umat Islam pernah mengalami saat-saat sulit, maka negara dan kepemimpinan Islam selalu hadir sebagai pengurus dan penjaga masyarakat. Bahkan negara dan pemimpinnya, hadir terdepan menyelamatkan umat, membela mereka dan berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka seraya menyingkirkan kepentingan pribadi dan golongannya.

Demikianlah yang diteladankan oleh baginda Rasulullah saw dan para penggantinya. Beliau dan keluarganya rela berlapar-lapar dna berpakaian buruk demi mendahulukan kepentingan rakyatnya.

Sayyidina Umar rela patroli dan memanggul gandum demi memenuhi kebutuhan rakyatnya. Bahkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tak rela sekadar cahaya lampu minyaknya dipakai guna kebutuhan pribadinya.

Wajar jika di berbagai fase sejarah, umat nonmuslim pun berbondong-bondong ingin hidup dalam naungan sistem Islam. Karena sistem ini terbukti tak hanya menjadi rahmat bagi kaum muslim saja, tetapi juga aware dan care terhadap kaum nonmuslim bahkan semesta alam.

Maka, tidakkah umat Islam hari ini rindu dengan kepemimpinan Islam? Sementara sistem kehidupan sekuler yang hari ini melingkupi kehidupan mereka terbukti rusak dan menjauh mereka dari kebaikan dan keberkahan? [MNews | SNA]

89 komentar pada “[Editorial] Gurita Oligarki, Akankah Rakyat Mati di Tangan Penguasanya Sendiri?