Analisis

Syariah Kaffah Versi Islam Moderat: Menipu atau Tertipu?

Oleh: Arini Retnaningsih

MuslimahNews.com, ANALISIS – Istilah syariah kaffah atau Islam kafah seharusnya memiliki terminologi yang sudah baku, karena sumbernya langsung dari Alquran. Di antara para mufasir juga tidak ada perbedaan pendapat dalam memaknainya.

Namun, seiring munculnya pemahaman Islam moderat, istilah syariah kaffah atau Islam kafah mengalami pereduksian makna. Yang menggelikan, para kaum moderat ini menuduh istilah syariah kaffah telah mengalami proses radikalisasi makna.

Ahmad Khoiri dalam tulisannya di harakatuna.com, mengatakan bahwa istilah syariah kaffah merupakan stigmatisasi dan pembodohan kepada masyarakat yang dilakukan orang-orang radikal.

Ia lebih lanjut mengatakan, “Di Indonesia, syariat Islam secara bebas bisa ditegakkan. Ibadah wajib dan ibadah sunah tidak ada yang melarang, bisa ditegakkan seutuh mungkin, dan yang haram juga dilarang oleh konstitusi. Lalu kurang kafah bagaimana? Rancu. Sangat rancu.”

Ia juga mengatakan, “Kerancuan ini tidak dapat dibiarkan, harus dipertanyakan, dipersoalkan, karena di situlah kelemahan mereka. Radikalisasi itu akan berjalan mulus hanya bagi ia yang dangkal memahami agama.” (https://harakatuna.com/syariah-kaffah-stigmatisasi-dan-pembodohan.html).

Benarkah istilah syariah kaffah mengalami radikalisasi makna?

Untuk menjawab hal ini, mari kita kembalikan pembahasan tentang syariah kafah ini pada pemahaman para ulama sebelum lahirnya orang-orang yang dianggap radikal dan dangkal dalam memahami agama.

Makna Islam Kafah menurut Para Mufasir

Syariah kaffah yang dibahas Ahmad Khoiri maksudnya adalah Islam kafah yang terdapat dalam firman Allah SWT berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (TQS al-Baqarah [2]: 208).

Sabab an-nuzûl ayat ini menurut Imam al-Baghawi berkaitan dengan masuk Islamnya seorang Ahlul Kitab Yahudi Bani Nadhir bernama Abdulah bin Salam dan teman-temannya. Namun setelah memeluk Islam, ia tetap menganggap mulia hari Sabtu dan tidak mau memakan daging unta.

Mereka pun menyatakan, “Wahai Rasulullah, bukankah Taurat itu adalah kitabullah? Karena itu izinkanlah kami tetap membaca Taurat itu dalam salat-salat malam kami.” Lalu turunlah ayat ini sebagai jawaban (Tafsir al-Baghawi, I/240).

Menurut Imam Qurthubi, kata “kaffah” berfungsi sebagai “hâl” (penjelasan keadaan) dari kata “al-silmi” (Islam) (Tafsir al-Qurthubi, III/18).

Artinya, melalui ayat ini Allah SWT menuntut orang-orang yang masuk Islam untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan (total). Mereka tidak boleh memilih-milih maupun memilah-milah sebagian hukum Islam untuk tidak diamalkan.

Pemahaman ini diperkuat dengan sabâb an-nuzûl ayat ini —sebagaimana diterangkan di atas— yang menolak dispensasi beberapa orang Yahudi ketika hendak masuk Islam untuk mengamalkan sebagian isi Taurat.

Menurut Imam ath-Thabari, dalam ayat ini kaum mukmin diseru untuk menolak semua hal yang bukan dari hukum Islam, melaksanakan seluruh syariat Islam, dan menjauhkan diri dari upaya-upaya melenyapkan sesuatu yang merupakan bagian dari hukum-hukum Islam. (Tafsîr ath-Thabari, II/337).

Saat menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan, “Allah SWT menyeru para hamba-Nya yang mengimani-Nya serta membenarkan Rasul-Nya untuk mengambil seluruh ajaran dan syariat Islam; Melaksanakan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai dengan kemampuan mereka.” (Ibn Katsir, 1/335).

Dari penafsiran para mufasir ini, jelas bahwa Islam kafah adalah Islam secara keseluruhan aspeknya, dari akidah, ibadah, akhlak, hukum, muamalah, sampai politik. Apakah dengan mendefinisikan seperti ini para mufasir tersebut kita katakan radikal?

Sekarang mari kita lihat tafsir ulama negeri kita sendiri. Prof. Dr. Hamka, dalam Tafsir Al Azhar terbitan Pustaka Panjimas juz 2, menerangkan panjang lebar tentang makna Islam kafah ini.

Beliau mengatakan, Kita kalau telah mengakui beriman dan telah menerima Islam sebagai agama, hendaklah seluruh isi Alquran dan tuntunan Nabi diakui dan diikuti. Semua diakui kebenarannya, dengan mutlak. Meskipun belum dikerjakan semuanya. Sekali-kali janganlah diakui ada satu peraturan lain yang lebih baik dari peraturan Islam.” (hal. 157).

“Hendaklah di negeri-negeri Islam, agar umatnya menjalankan peraturan-peraturan Islam. Jangan sampai peraturan dan hukum-hukum yang berasal dari Islam ditinggalkan, lalu diganti dengan hukum Barat yang bersumber dan latar belakangnya kalau tidak dari Kristen tentu hukum Romawi kuno.” (hal. 158).

Ajakan Hamka agar negara menerapkan hukum Islam, apakah berarti Hamka adalah radikal? Apakah berarti Hamka dangkal dalam memahami agama?

Sangat gegabah pendapat yang menyatakan orang yang menyerukan Islam kafah adalah orang yang dangkal ilmunya. Tidak terbukti frase Islam atau syariah kaffah telah mengalami radikalisasi, karena dari dulu sampai sekarang maknanya tidak berubah.

Kesimpulan dari apa yang disampaikan Hamka adalah kaum muslim diperintahkan untuk hanya melaksanakan seluruh syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

Tak sepatutnya kaum muslim mempraktikkan aturan-aturan lain yang bersumber dari Barat yang diajarkan Montesquieu, Thomas Hobbes, John Locke, dll yang melahirkan sistem politik demokrasi; Atau yang diajarkan John Maynard Keynes, David Ricardo, dll yang melahirkan sistem ekonomi kapitalisme.

Islam Moderat yang Mereduksi Makna Islam Kafah

Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada satu pun persoalan yang tidak dipecahkan oleh Islam sehingga masih kabur atau tidak jelas status hukumnya.

Demikian sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw.:

قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلاَّ هَالِكٌ

“Aku telah meninggalkan kalian dalam keadaan yang terang-benderang, malamnya bagaikan siang harinya. Setelahku tidak akan ada yang tersesat kecuali orang yang celaka.” (HR Ahmad).

Kesempurnaan Islam inilah yang dianggap membahayakan dominasi pemikiran dan sistem kapitalisme Barat atas dunia. Mengapa demikian? Ada perbedaan mendasar dari Islam dengan kapitalisme.

Islam dalam aspek politik menyerahkan kedaulatan kepada Allah, yang dimanifestasikan dengan penerapan hukum-hukum Allah di muka bumi. Maka pemimpin Islam hanya sekadar menjadi pelaksana hukum Allah dan membuat aturan untuk memastikan dijalankannya hukum Allah tersebut.

Sedangkan kapitalisme menjadikan kedaulatan di tangan rakyat, yang direpresentasikan wakil-wakil mereka di parlemen. Wakil-wakil di parlemen inilah yang membuat aturan.

Maka jika para wakil rakyat ini dikuasai pengusaha, mereka akan membuat aturan yang menguntungkan para pengusaha, bukan rakyat yang memilihnya.

Bila sistem yang diterapkan adalah Islam, maka kapitalisme jelas tidak akan mendapatkan ruang untuk berkembang. Inilah yang menyebabkan Barat begitu berambisi melenyapkan Islam politik. Ini pula yang direkomendasikan Snouck Hurgronje kepada Belanda untuk bisa menaklukkan Aceh dan Indonesia:

“Tak ada cara lain dalam menaklukkan umat Islam kecuali dengan jalan menghapus ajaran jihad dan menundukkan politik Islam ke dalam politik modern (Barat) yang sekuler.”

(https://www.republika.co.id/berita/pw4xe0385/haji-jihad-kekalifahan-nasihat-hurgronje-bagi-kolonial-part2 ).

Apa yang disarankan Hurgronje ini direkomendasikan juga oleh Rand Corporation, lembaga think tank AS tahun 2007 dalam laporan berjudul Building Moderate Muslim Networks. Laporan yang disusun Angel Rabasa, Cheryl Benard, Lowell H. Schwartz, dan Peter Sickel ini mengurai satu jalan (road map) untuk membangun jaringan yang mereka sebut muslim moderat dan liberal.

Dalam laporan ini, yang mereka sebut sebagai muslim moderat adalah muslim yang menerima demokrasi dan tidak menuntut penerapan syariat Islam. Sebaliknya, muslim yang memiliki pemikiran menolak demokrasi dan menuntut penerapan syariat Islam serta mengusung Islam politik, harus dilabeli sebagai muslim radikal, dimusuhi dan dihadang.

Dari sinilah, istilah Islam kafah yang berkonotasi pada tuntutan penerapan syariat Islam secara keseluruhan –termasuk sistem politiknya– dianggap sebagai terminologi berbahaya sehingga maknanya harus direduksi.

Jadilah makna Islam kafah sebatas apa yang dipahami Ahmad Khoiri dan teman-temen moderatnya, yaitu adanya kebebasan dalam beribadah serta penerapan beberapa hukum lainnya seperti nikah, bank syariah, makanan halal, dan pakaian muslimah.

Kalau Islam kafah hanya sebatas ini, boleh jadi Inggris juga mereka katakan menerapkan Islam kafah karena di sana muslim bebas beribadah, berpakaian, makan makanan halal, dan mendirikan bank syariah.

Apakah muslim seperti mereka tidak pernah membaca ayat berikut?

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah: 178).

Apa bedanya ayat ini dengan ayat berikut?

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” (QS Al-Baqarah: 183)? Bukankah keduanya sama-sama “kutiba alaikum” (wajib atas kalian), namun yang puasa diterima sedangkan yang qishash ditolak karena dianggap bertentangan dengan HAM?

Begitu pun hukum-hukum lain yang terdapat dalam Alquran, jelas diperintahkan Allah seperti dijilidnya pelaku zina (QS An Nuur:1 ), dipotongnya tangan pencuri (QS Al Maidah: 38), haramnya riba (QS Al-Baqarah 275-278), dan sebagainya.

Hukum-hukum ini wajib dilaksanakan sebagaimana dilaksanakannya salat, zakat, shaum, dan haji. Yang mampu menerapkan hukum-hukum ini adalah negara, yaitu Khilafah Islamiyah. Bukan negara sekuler seperti Indonesia.

Maka kesalahan kaum moderat seperti Ahmad Khoiri, yang sudah berbusa-busa menuduh ide Islam kafah sebagai stigmatisasi dan pembodohan, boleh jadi satu dari dua kemungkinan: Mereka bermaksud menipu kaum muslimin dengan jualan mereka ‘Islam moderat’, atau mereka tertipu narasi yang dibangun Barat yang berusaha memutilasi politik dari tubuh Islam.

Khatimah

Merupakan hal yang haram bagi kaum muslim mengingkari atau mencampakkan sebagian syariat Islam dari realitas kehidupan dengan mengikuti prinsip sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan), sebagaimana dipraktikkan negara saat ini.

Allah SWT dengan tegas mengecam sikap semacam ini:

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab serta mengingkari sebagian yang lain? Tiada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat nanti mereka akan dilemparkan ke dalam siksa yang amat keras. Allah tidaklah lalai atas apa saja yang kalian kerjakan.” (TQS al-Baqarah [2]: 85).

Semoga Allah menjaga kita untuk lurus di atas jalan-Nya, dan menjauhkan kita dari tipu daya dan makar musuh-musuh Islam. [MNews]

49 komentar pada “Syariah Kaffah Versi Islam Moderat: Menipu atau Tertipu?