Editorial

[Editorial] Jaring Pengaman Sosial atau Jurus Panjat Sosial?

MuslimahNews.com, EDITORIAL – Empat paket program Jaminan Pengaman Sosial (JPS) yang diluncurkan presiden pada 31 Maret lalu ternyata ditanggapi dingin oleh masyarakat. Bahkan sontak mendapat kritik pedas dari para pengamat kebijakan publik di Indonesia.

Selain dianggap tak solutif untuk mengatasi problem sosial yang terus meluas akibat pandemi corona, juga karena program ini nampak sekadar pencitraan saja. Bahkan situs tirto.id membuat ulasan khusus tentang program ini dengan judul Program JPS Hanya Gimik di Tengah Covid-19.

Gimik (gimmick) adalah istilah umum yang merujuk kepada pemanfaatan kemasan, tampilan, alat tiruan, serangkaian adegan untuk mengelabui, memberikan kejutan, menciptakan suatu suasana, atau meyakinkan orang lain (Wikipedia). Dengan kata lain, gimik biasa dipakai untuk menyebut segala hal yang bersifat settingan.

Senada dengan gimik, ada juga istilah panjat sosial (social climber/pansos). Yaitu istilah yang dipakai untuk menggambarkan usaha manusia untuk mem-branding personalitasnya, sehingga brand tentang diri pribadinya menjadi positif.

Dalam terminologi lain istilah pansos ini sepadan dengan istilah politik pencitraan yang biasa dibuat untuk menggambarkan sisi positif dan negatif seseorang, pejabat, partai, ormas, dan lain-lain.

Dengan memberi citra positif, seseorang akan terangkat elektabilitas diri dan golongannya. Sementara dengan citra negatif seseorang bisa menjatuhkan musuh atau lawannya.

Sudah menjadi rahasia umum, jika rezim sekarang memang dikenal hobi melakukan pencitraan. Bahkan demi sukses pencitraan, negara rela menyiapkan anggaran besar untuk membayar para buzzer yang selalu siap bertindak sebagai cheerleaders.

Namun sayang, pencitraan itu selalu dengan mudah terbongkar. Karena kebijakan-kebijakan yang diambil seringkali menafikan kepentingan rakyat banyak. Bahkan makin lama membuat rakyat tambah muak.

Untuk penanganan wabah Covid-19 ini misalnya, pemerintah telah mengeluarkan Perppu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Isinya negara akan menggelontorkan Rp401,5 triliun untuk penanganan wabah corona. Dan dari jumlah tersebut Rp110 triliun dialokasikan untuk membiayai proyek JPS menghadapi wabah corona.

Presiden sendiri mengklaim, bahwa alokasi dana dan jumlah penerima manfaat dari keempat program JPS ini meningkat dari sebelumnya. Keempat program utama JPS itu meliputi Program Keluarga Harapan (PKH), Program Kartu Sembako, Program Kartu Prakerja, dan subsidi tarif listrik.

Untuk PKH misalnya, jumlah penerima manfaat diklaim akan bertambah dari 9,2 juta menjadi 10 juta dengan tambahan besaran sekitar 25%. Untuk Program Kartu Sembako, penerima manfaatnya dinaikkan dari 15,2 juta menjadi 20 juta orang, dengan nilai Rp200 ribu per bulan dari sebelumnya Rp150 ribu, dan akan diberikan selama 9 bulan.

Untuk Program Kartu Prakerja, anggaran dinaikkan dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun dengan penerima manfaat sebanyak 5,6 juta orang, terutama pekerja informal serta pelaku usaha mikro dan kecil yang terdampak Covid-19. Masing-masing diklaim akan menerima nilai manfaat kartu prakerja sebesar Rp650 ribu hingga Rp1 juta per bulan, selama 4 bulan ke depan.

Baca juga:  Lelang Keperawanan, Pansos Machiavellis Berdalih Donasi

Adapun program keempat, yakni tambahan subsidi tarif listrik. Rencananya, pelanggan listrik 450VA akan digratiskan selama tiga bulan. Sementara pelanggan 900 VA akan disubsidi sebesar 50 persen dari tagihan, juga selama tiga bulan.

Dari sini memang terkesan, pemerintah sedang benar-benar memberi solusi untuk menghadapi pandemi corona. Sampai-sampai siap menggelontorkan dana sangat banyak, termasuk untuk membantu masyarakat lapisan kelas bawah yang terdampak melalui empat program JPS.

Namun siapa pun tahu, bahwa hari ini kondisi keuangan negara sedang kolaps. APBN kita terus mengalami defisit dengan jumlah yang fantastik. Hingga wajar jika ada yang bertanya-tanya, apakah anggaran itu benar-benar ada dan dari mana sumbernya?

Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani memang menyampaikan bahwa ada beberapa sumber dana yang akan dipakai untuk keperluan tersebut. Di antaranya, (1) dari dana sisa anggaran lebih (SAL) sebanyak 160 T. (2) dari dana yang disimpan di Badan Layanan Umum. (3) dari dana yang sebelumnya dialokasikan untuk penyertaan modal negara.

Ini berarti, pemerintah sebenarnya hanya memutar dana yang ada, yang dipastikan akan berimplikasi pada pengurangan kinerja sektor-sektor lain termasuk sektor yang justru bersentuhan dengan kepentingan layanan publik.

Di luar sumber itu, pemerintah juga menyebut akan menggunakan dana abadi yang ada, tanpa menyebut dana abadi yang mana. Serta akan menerbitkan surat utang “pandemic bond” yang justru sangat kontroversial. Selain karena jumlahnya sangat besar, juga berjangka sangat panjang. Sehingga ditengarai akan menjadi beban pemerintah dan rakyat di masa yang akan datang.

Oleh karenanya, wajar jika banyak yang pesimis program itu bisa benar-benar membawa kebaikan bagi masyarakat Indonesia. Termasuk pesimis akan menjadi jaring pengaman sosial, khususnya sepanjang wabah corona. Karena faktanya, pemerintah hanya sedang melakukan kanalisasi saja. Bukan benar-benar sedang memberi solusi atas wabah corona.

Bahkan seperti awal disampaikan, banyak yang menyebut bahwa pemerintah hanya sedang bermain tipu-tipu saja. Karena untuk JPS misalnya, ketika pemerintah menyebut akan meningkatkan alokasi dana dan jumlah sasaran yang dikaitkan dengan solusi corona, maka sesungguhnya rencana ini adalah proyek yang sudah ditetapkan jauh sebelum terjadi corona.

Proyek PKH misalnya. Dalam RPJMN 2019-2024 Kemensos dan Perpres No. 61 tahun 2019 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2020, memang sudah disebutkan soal rencana peningkatan jumlah sasaran dan besaran penerima PKH.

Akan tetapi itu adalah untuk kondisi “normal”, bukan sebagai solusi saat terjadi wabah corona. Sehingga wajar jika klaim JPS sebagai solusi corona, disebut-sebut sebagai modifikasi kampanye yang isinya tipu-tipu belaka.

Apalagi selama ini program PHK juga dipandang banyak cacat. Selain karena berbasis data yang berantakan, juga karena program ini sejatinya adalah program jangka panjang yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan antargenerasi yang dinilai belum tentu tepat. Apalagi di masa wabah ini jumlah masyarakat miskin dipastikan bertambah banyak.

Baca juga:  Jaring Pengaman Sosial, Efektifkah?

Padahal sebelum wabah saja, saat pemerintah menyebut ada warga miskin “hanya” sebanyak 25 juta jiwa, Bank Dunia justru melaporkan ada 115 juta penduduk kelas menengah di Indonesia yang rentan jatuh miskin.

Maka, bagaimana bisa jumlah sasaran PKH yang hanya 10 juta bisa menjadi solusi kemiskinan ratusan juta rakyat yang hari ini terdampak wabah corona juga? Padahal bukankah kemiskinan adalah biang dari problem sosial lainnya?

Begitu pun dengan program kartu sembako yang hanya 200 ribu per bulan dan ditujukan untuk hanya 20 juta penduduk miskin. Ini pun nyatanya bukan program baru. Hanya saja, sebelumnya dilakukan per tiga bulan, dan sekarang diubah menjadi tiap bulan.

Namun lagi-lagi, muncul pertanyaan, bagaimana dengan nasib para pekerja informal harian serta penduduk yang sebelumnya termasuk rentan miskin yang justru kian miskin setelah wabah corona? Dan bagaimana nasib para penerima program setelah sembilan bulan ke depan?

Apalagi untuk program kartu prakerja. Banyak yang mengkritisi bahwa program ini adalah program tak nyambung dengan problem riil masyarakat di masa corona. Saat rakyat butuh makan, justru sebagian mereka disuruh ikut pelatihan.

Belum lagi, program ini dipandang hanya akan menguntungkan pihak vendor bisnis pelatihan dan provider yang digandeng tanpa proses lelang. Sementara dari sisi sasaran, selain jumlahnya juga sangat terbatas dan tak semua pengangguran terbiasa dengan konsep kerja dalam jaringan, juga muncul pertanyaan, adakah lapangan kerja yang bisa mencerap lulusan pelatihan kerja sebagai hasil program kartu prakerja?

Adapun untuk program subsidi listrik, maka faktanya tidak semua pelanggan 450 V dan 900 V bisa menikmati apa yang digembar-gemborkan. Dan yang menikmati pun belum jelas nasibnya setelah 3-4 bulan ke depan.

Apalagi ‘lucunya’, di tengah obral subsidi tarif listrik untuk warga miskin ini, ternyata para pelanggan listrik 1300 V ke atas, justru harus membayar lebih mahal dari biasanya. Itu pun tanpa pemberitahuan sama sekali.

Padahal faktanya, tak semua pelanggan pada golongan tersebut terkategori penduduk kaya. Karena banyak para pengguna yang memanfaatkan listrik untuk usaha kecil-kecilan di rumah.

Selain pencitraan, rezim juga dipandang pandai mencari kambing hitam. Saat banyak masyarakat yang mengkritisi kinerja khususnya di bidang perekonomian yang terus melemah, pemerintah justru mengambinghitamkan wabah virus corona sebagai biang kegagalan pertumbuhan ekonomi di tanah air.

Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan berkilah bahwa gara-gara dampak virus corona pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa anjlok ke angka 4,7-5%. Dan menurutnya kasus ini pun telah menggerogoti perekonomian cina.

Padahal faktanya, sejak jauh sebelum wabah virus corona, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang sudah nyungsep gara-gara salah kelola. Sampai-sampai banyak ekonom yang mengibaratkan kondisi ekonomi Indonesia saat ini layaknya balon yang terus membesar dan rentan untuk meledak akibat tidak mendapat dukungan fundamental yang kuat. Muaranya, diprediksi krisis hebat bisa kembali menghantam Indonesia.

Baca juga:  Lelang Keperawanan, Pansos Machiavellis Berdalih Donasi

Masalahnya, para pejabat penguasa tak mau jujur dengan dirinya. Bahwa mereka memang benar-benar telah salah kelola negara. Bahkan gagal membawa masyarakat Indonesia yang super kaya pada kehidupan penuh berkah dan sejahtera.

Mereka telanjur percaya bahwa jalan hidup yang ditawarkan Barat berupa sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal adalah jalan terbaik mewujudkan kebaikan. Atau bisa jadi karena standar kebaikan bagi mereka, adalah kebaikan bagi pribadi dan golongannya.

Tak heran jika nampak dari sebagian mereka, ngotot mempertahankan kebijakan yang jelas-jelas menyengsarakan rakyatnya. Karena bagi mereka, kekuasaan memang diabdikan untuk menjaga kepentingan diri dan kroni-kroninya.

Terbukti, mereka seolah menjadi raja tega. Tega menyerahkan kekayaan milik umat kepada asing. Tega berkhidmat pada kepentingan ekonomi asing. Tega memalak rakyat dengan berbagai pungutan pajak. Seraya tega mengurangi hak-hak mereka atas kebutuhan-kebutuhan mendasarnya.

Penguasa dan negara benar-benar abai dalam mengurus dan menjaga umat. Hingga keberadaannya benar-benar antara ada dan tiada.

Hal ini jauh berbeda dengan kepemimpinan Islam. Yang atas nama Allah, diberi tanggung jawab oleh syara’ sebagai pengurus dan pelindung umat. Hingga keberadaan negara dan penguasa betul-betul dirasakan sebagaimana orang tua menjaga dan melindungi anaknya.

Penguasa dan negara dalam kepemimpinan Islam, benar-benar aware atas pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya. Tanpa berhitung untung rugi apalagi berpikir mencari untung dari rakyatnya. Hingga sejarah peradaban Islam, kaya dengan kisah menakjubkan tentang ketinggian level kesejahteraannya.

Semua ini sangat mungkin terwujud karena aturan hidup yang diterapkannya, berasal dari Allah yang Maha Pencipta. Yang telah menetapkan bahwa bumi dan kekayaan yang ada di dalamnya adalah milik umat dan wajib dikelola sesuai syariat yang dipastikan akan membawa maslahat.

Kepemimpinan Islam yang ideal seperti ini, tak hanya mungkin terwujud di masa lalu, tapi juga di masa kini dan masa yang akan datang. Karena syariat Islam datang dari Zat Yang Mahasempurna. Dan datang sebagai solusi atas problem manusia yang tak lekang oleh masa.

Oleh karenanya, sudah saatnya umat kembali mewujudkan kepemimpinan Islam dan mencampakkan sistem yang ada sekarang. Karena terus berharap sistem ini bisa membawa kebaikan, hanyalah impian kosong di siang bolong!

Bahkan Allah telah memastikan, bahwa berpalingnya manusia dari aturan Allah adalah jaminan akan tetapnya kesempitan bagi kehidupan mereka. Tak hanya di dunia saja, tapi juga hingga akhirat.

Allah SWT berfirman,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha: 124)

Lantas, mau sampai kapan sistem rusak ini dipertahankan? [MNews | SNA]

74 komentar pada “[Editorial] Jaring Pengaman Sosial atau Jurus Panjat Sosial?