Perempuan Berpolitik? Why Not?!?
Oleh: Henyk Nur Widaryanti, S.Si., M.Si.
MuslimahNews.com, OPINI – “Wanita dijajah pria sejak dulu.” Sebuah kutipan lagu berjudul Sabda Alam ini telah menanamkan sebuah pemikiran pokok. Pemikiran yang melahirkan sudut berpikir khas. Bahwa pria selalu selangkah lebih maju dari kaum hawa dan mereka orang-orang kuat yang bertugas melindungi para wanita lemah. Juga stigma bahwa wanita adalah budak pria.
Dalam catatan sejarah, di tengah ide liberalisme, muncullah sebuah gerakan feminisme. Gerakan yang lahir dari perasaan terjajah dan keinginan untuk membuktikan pada dunia, bahwa perempuan tak selamanya ada di bawah; Perempuan bukan barang yang hanya dipakai jika dibutuhkan, tapi juga mampu berperan sebagaimana lelaki dalam dunia kepemimpinan.
Ide kesetaraan gender ini kemudian dianggap membawa nama perempuan melambung tinggi. Muncullah perempuan-perempuan “terdidik” yang berani menampakkan taringnya. Mereka berjuang atas nama “emansipasi wanita”.
Mereka menghabiskan waktu di luar rumah demi mendapatkan stempel pengakuan “wanita setara dengan pria”, bahkan hingga ke tatanan legislatif, yudikatif, maupun eksekutif.
Ketika Perempuan Berpolitik
Memang, saat ini politik yang ditekuni para perempuan hanya berkutat pada kekuasaan. Hal ini tak lepas dari pemaknaan politik zaman sekarang. Di mana politik hanya dimaknai pergerakan perebutan kekuasaan atau menjadi pemimpin sebuah daerah/negara.
Demi eksistensinya, perempuan mulai terjun ke ranah tersebut. Dengan dalih kesetaraan gender, perempuan tak lagi harus berada di rumah, melainkan ia harus bisa menjadi pemimpin yang dibutuhkan rakyat.
Hingga akhirnya perjuangan perempuan “diakui” dunia ketika mendapatkan jatah tersendiri dalam dunia legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Di mana dalam legislatif, perempuan mendapat jatah 30% kursi untuk diduduki. Kesempatan pun terbuka lebar jika ada perempuan yang ingin menjadi kepala daerah maupun kepala negara.
Demikianlah, hingga saat ini, perjuangan para perempuan itu tak kunjung reda. Mereka terus berjuang demi mendapatkan pengakuan dunia.
Dalam laporan BPfA+25, perempuan dianggap belum mendapatkan pengakuan yang utuh. Terbukti dengan laporan yang diberikan oleh Komnas Perempuan. Masih ada perlakuan kekerasan bagi perempuan saat berpolitik.
Adanya politik identitas yang masih berbau suku, agama, dan ras (SARA) menjadi alasan utama penjegalan perempuan dalam ranah politik. Kuatnya politisasi agama, praktik budaya bias gender, dan stigmatisasi pada perempuan berpolitik selalu menjadi senjata untuk menusuk perempuan. Bahkan kekerasan, ancaman, dan teror masih dialami perempuan di daerah-daerah tertentu.
Meluruskan Paradigma Perempuan Berpolitik
Seharusnya politik tak hanya dimaknai sekadar kekuasaan semata. Itu merupakan pandangan yang sempit. Politik secara luas adalah mengurusi urusan umat. Artinya, segala sesuatu yang berbicara tentang cara memenuhi urusan umat disebut sebagai politik. Sehingga perempuan berpolitik tak hanya identik dengan menjadi penguasa.
Islam memuliakan perempuan. Memberikan porsi antara laki-laki dan perempuan sesuai fitrahnya. Secara fitrah, laki-laki memang telah diciptakan sebagai pemimpin. Dan secara fitrah perempuan adalah pendidik generasi dan manajer rumah tangga.
Atas dorongan keimananlah, baik laki-laki dan perempuan akan menerima satu sama lain. Bahkan ketika Allah memutuskan perempuan tak boleh menjadi penguasa yang bertugas mengurusi urusan umat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada wanita.” (HR al-Bukhari).
Yang harus dipahami, menurut Syekh Taqiyuddin dalam buku Ajhizah, perempuan tetap boleh menduduki posisi-posisi menjadi pemimpin, asalkan bukan posisi yang berhubungan dengan mengurusi umat seperti jabatan Khalifah (pemimpin negara), Mu’awin (pembantu khalifah), Wali (gubernur), Qadhi Qudhat (pemimpin para qadhi/hakim), atau Qadhi Mazhalim.
Selain jabatan di atas kaum perempuan dibolehkan berpartisipasi. Seperti, kepala Baitulmal, anggota Majelis Wilayah dan Majelis Umat, menjadi qadhi khushumat (hakim yang menyelesaikan perselisihan antarrakyat), ataupun qadhi hisbah (hakim yang langsung menyelesaikan pengurangan atas hak-hak rakyat).
Seluruh jabatan selain urusan pemerintahan boleh dijabat oleh perempuan. Termasuk kepala departemen kesehatan, departemen pendidikan, departemen perindustrian, departemen perdagangan, rektor perguruan tinggi, kepala sekolah, kepala rumah sakit, direktur perusahaan, dll.
Mengaktifkan Peran Politik Perempuan
Terjunnya perempuan dalam ranah politik harusnya bukan sekadar status, bukan hanya ingin diakui publik. Terjunnya perempuan dalam ranah politik semata-mata harus karena dorongan keimanan.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104).
Surah tersebut menegaskan bahwa perempuan juga berkewajiban untuk beramar makruf nahi mungkar. Dalam perannya ini perempuan dapat aktif menjadi anggota suatu partai politik yang berlandaskan Islam, yang memiliki visi misi Islam.
Perempuan juga diberikan hak dalam mengoreksi penguasa apabila terdapat kesalahan dalam penerapan aturan. Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Khalifah Umar Bin Khaththab, di mana ada seorang wanita yang berani mengingatkan Umar saat beliau ingin menentukan jumlah mahar. Dan Khalifah menerimanya.
Di samping mengoreksi penguasa, perempuan juga berkewajiban menjaga umat dari pemikiran-pemikiran kufur. Sehingga wajib bagi mereka untuk berdakwah, menjaga pemahaman umat dari serangan pemikiran asing, dan menyadarkan umat atas kewajibannya berislam kafah.
Peran politik perempuan yang lain adalah berbaiat terhadap khalifah. Pada Baiat Aqabah II yang dilakukan orang-orang Madinah, di antara mereka ada perempuan yang membaiat Rasulullah. Perempuan juga memiliki hak memilih dan dipilih dalam Majelis Umat, sebuah majelis yang akan menyampaikan aspirasi umat pada penguasa (khalifah).
Maka, di saat kondisi seperti ini, di mana Islam belum dijadikan sebagai tuntunan, sebagai perempuan sadar politik kita wajib terjun dalam wilayah yang kita mampu. Untuk memperjuangkan kepengurusan umat agar sesuai dengan aturan Ilahi, kita perlu bergabung dalam partai politik Islam yang bertugas mengoreksi penguasa. Sekaligus menyadarkan umat pada kewajiban mereka berislam secara kafah. [MNews]
Saya dukung syariat islam dan khilafah tegak
Politik dalam islam itu gaul. Keren
Masyaa Allah….
Islam memuliakan perempuan….
Ketika selama ini berpolitik dianggap di luar ajaran Islam, dengan tulisan ini jadi tercerahkan
Luar biasanya islam dalam mengatur perempuan d kncah perpolitikan
Hanya islam yang dapat memuliakan perempuan, dan islam juga yang dapat menempatkan perempuan sesuai fitrahnya
Perempuan: Politik Islam Yes!
Allah Maha Pencipta. Maka Allah jauh lebih tau dimana bagaimana peran wanita sesuai fitrahnya.
Masyaallah..
Ternyata perempuan juga dapat berpolitik dalam Islam, baik itu yg langsung terjun ke dalam majelis umat, kepala departemen, dll.
Masyaa Allah… Indajnya hidup dibawah naungan Islam ?
Kewajiban berdakwah adalah salah satu dari peran politik perempuan dalam Islam
Jangan pobia dengan kata politik krn politik secara luas adalah mengurusi umat
Masyaa Allah… Allah pun memberikan kesempatan berekspresi untuk perempuan… jadi perempuan pun harus tetap berdakwah yaaa
Wanita berpolitik dalam Islam sudah diatur dalam syariat.