Fokus

Perempuan dan Pendidikan dalam BPFA Beijing +25

Oleh: Dyah Hikmawati, S,Si., M.Si.

MuslimahNews.com, PENDIDIKAN – Peningkatan pendidikan perempuan dalam kesetaraan gender telah menjadi isu prioritas global sejak tahun 1990-an. Diangkat dalam forum Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (1994), Konferensi Dunia Keempat (1995) tentang Perempuan di Beijing, KTT Milenium (2000), diadopsi dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), hingga Sustainable Development Goals (SDGs) 2015.

Namun, hingga peringatan Beijing +25, para pejuang gender masih melaporkan ada 58 juta (setengahnya perempuan) anak usia sekolah dasar (SD) putus sekolah di seluruh dunia; 121 juta anak drop out dari SD dan sekolah menengah pertama (SMP), bahkan di AS saja tercatat 1,2 juta anak drop out dari sekolah menengah atas (SMA).

Di Indonesia, data BPS 2018 menunjukkan rata-rata lama sekolah anak perempuan hanya 8,26 tahun (hanya sampai kelas 8 atau 2 SMP), sedangkan rata-rata lama sekolah anak laki-laki adalah 8,90 tahun (sampai kelas 9 atau 3 SMP), tidak bertaut jauh.

Pada BPS 2019 dilaporkan jumlah penduduk bekerja sebesar 129,4 juta. Dari jumlah tersebut didapat lulusan SD (41%) dan SMP (18%), artinya 58% penduduk Indonesia bekerja hanya berijazah SD/SMP yang sebagian besar masuk dalam 57% penduduk Indonesia yang bekerja di sektor informal. Sisanya lulusan SMA (18%), SMK (11%), dan Universitas (13%).

Padahal, jumlah angkatan kerja Februari 2019 mencapai 197,92 juta orang. Menyebabkan masih menyisakan 7,05 juta pengangguran terbuka yang mendesak untuk diselesaikan. Di mana masalah pengangguran bukan hanya masalah pendidikan saja, termasuk pendidikan berperspektif gender sekalipun.

Pada faktanya, perlu ada dukungan penyelenggaraan pendidikan dengan sarana, prasarana, dan jumlah guru yang cukup agar menghasilkan anak didik yang terampil dan memiliki kemampuan untuk bekerja. Hal yang tidak kalah penting adalah ketersediaan lapangan pekerjaan, yang harus menjadi kebijakan yang diampu negara, agar individu yang terdidik mampu mengaksesnya, dan ini bukan persoalan individu semata.

Saat ini, sekitar 74,08 juta orang atau 52,27% penduduk bekerja di sektor informal dan hanya sekitar 42,73% bekerja di sektor formal (BPS, 2019). Terbatasnya jumlah lapangan kerja formal yang disediakan pemerintah dan rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar angkatan kerja penduduk Indonesia (58% lulusan SD/SMP) memaksa mereka masuk sektor informal.

Padahal, pada era Revolusi Industri 4.0 yang sedang berlangsung saat ini, teknologi Internet of Things (IoT), Artifisial Intelligence (AI), dan robotika akan meminimalkan banyak tenaga kerja manusia. Digitalisasi teknologi tak dapat dibendung dan begitu cepat memengaruhi berbagai bidang kehidupan.

Tidak hanya pengembangan perangkat atau sistem untuk menjalani transformasi digital, akan banyak sisi kehidupan yang akan menggeser kebutuhan akan tenaga manusia, apalagi yang tidak terdidik dan tidak mampu bertransformasi.

Pendidikan memang faktor utama yang menjamin akses seseorang ke dunia kerja, terlebih di era kapitalisme saat ini, di mana jumlah lapangan pekerjaan sangat bergantung pada nilai investasi dan industri yang bersifat profitoriented. Para investor dan industri privat tidak akan mengambil tenaga kerja kecuali cukup profesional, terdidik, dan terampil.

Baca juga:  Reorientasi Pendidikan Bervisi Besar

Akan tetapi, menjadikan isu kesetaraan pendidikan perempuan dalam perspektif gender yang ujung-ujungnya menjadikan perempuan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, pendorong peningkatan PDB per kapita, dan perluasan lapangan kerja yang berdampak pada pengentasan kemiskinan (EIGE, 2017), hanya isu yang dimanfaatkan untuk menutupi ketidakmampuan negara menyediakan jumlah lapangan pekerjaan yang cukup agar setiap individu dapat bekerja.

Demikian juga terkait keterampilan, profesionalisme, dan produktivitas calon tenaga kerja. Negara harus menyediakan akses pendidikan yang cukup agar tidak terjadi kasus drop out (DO) akibat dari tuntutan bekerja pada angkatan kerja –yang sebenarnya masih membutuhkan pendidikan yang lebih tinggi–, yang terhalang oleh mahalnya biaya pendidikan di tengah tuntutan kewajiban memenuhi kebutuhan keluarga, serta tingginya biaya hidup akibat hidup dalam sistem kapitalisme.

Meningkatkan pendidikan dan pelatihan perempuan atas nama kesetaraan gender juga tidak akan mengubah fakta bahwa kapitalisme telah menjadikan isu ini untuk menutupi dampak kerusakan yang diakibatkannya.

Angka Partisipasi Pendidikan dan Kesetaraan Gender

Terdapat dua indikator keberhasilan para pegiat gender dalam menjalankan program-program kesetaraan gender, yakni Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Mereka membandingkannya dengan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang diukur dari kualitas hidup berbasis pada kapabilitas dasar penduduk yang diperluas.

IPG mengukur hal yang sama tetapi fokus pada faktor ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sementara IDG mengukur kesetaraan laki-laki dan perempuan pada kegiatan ekonomi dan politik.

Data BPS mencatat angka IPG Indonesia pada 2018 berada di level 90,99 dari skala 0-100. Nilai IPG yang mendekati 100 mengindikasikan semakin kecilnya kesenjangan pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Ditengarai nilai IPG Indonesia yang masih di bawah 100 terjadi karena IPM perempuan Indonesia 2018 masih berada di level 68,63. Lebih kecil dari IPM lelaki yang berada di posisi 75,43.

Adapun yang membuat IPM perempuan rendah, salah satunya karena faktor pendidikan, karena rata-rata lama sekolah perempuan hanya 8 tahun (sampai kelas 8 atau 2 SMP). Sementara lama sekolah laki-laki 8,90 tahun, yang artinya rata-rata laki-laki berpendidikan sampai kelas 9 atau 3 SMP. Kondisi ini menyebabkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan di bawah laki-laki.

Isu IPG dan IDG menjadi tampak lebih penting daripada berpikir mencari akar masalah: Mengapa sejak kesetaraan gender diaruskan hingga hari ini, rata-rata lama pendidikan rakyat Indonesia baru sampai di angka kurang dari 9? Lebih tepatnya, mengapa kemampuan pemerintah memberikan layanan pendidikan hanya sampai pada level tidak tamat SMP?

Berdasar laporan BPS 2019, lama waktu belajar anak-anak Indonesia rata-rata hanya 8,75 tahun (setingkat kelas 8 atau 2 SMP) dari target 9 tahun wajib belajar. Bahkan, Angka Melek Huruf (AMH) Indonesia tercatat 95,90%. Artinya, masih ada 4 orang dari 100 penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas tidak bisa baca tulis!

Isu kesetaraan gender akhirnya mengalihkan persoalan mendasar pendidikan: Sistem kapitalisme hanya menjadikan layanan pendidikan mengikuti paradigma pendidikan ala kapitalisme global.

Ketika memasuki era Revolusi Industri 4.0 dengan teknologi IoT, digitalisasi teknologi, dan transformasi digital –yang mengubah dunia dan menuntut keterampilan teknologi, informasi, dan komunikasi serta mengancam 90% pekerjaan yang ada–, maka paradigma pendidikan harus diubah untuk melayaninya. Artinya, sistem pendidikan harus berubah demi menghasilkan laki-laki dan perempuan yang mampu menggunakan teknologi informasi untuk kepentingan industri dan kapitalisme global.

Baca juga:  [News] Hak yang Sama atas Pendidikan, bersifat Profit Oriented?

Bagaimana Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan pada setiap jenjang usia untuk menyongsong era itu? APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan. Nilainya diperoleh dari proporsi jumlah penduduk yang sedang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan dibanding jumlah penduduk usia sekolah yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut.

Pada 2019 BPS melaporkan, pada jenjang pendidikan SD/sederajat (usia 7-12 tahun) sebesar 107,46%, (nilainya di atas 100% karena ada anak usia di bawah 7 tahun namun sudah masuk SD); Jenjang SMP/sederajat (usia 12-15 tahun) sebesar 90,57 %; Jenjang SMA/sederajat (usia 16-19 tahun) sebesar 83,98%; dan jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (usia 19-24 tahun) sebesar 25,13 persen, dan APK untuk jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (usia 19-23 tahun, sesuai SDGs) sebesar 30,28%.

Data dalam buku terbitan tahunan Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PDSPK), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) “Indonesia Educational Statistics in Brief 2018/2019” memberikan data yang lebih rinci.

Jumlah APK Prasekolah (PS) dan Sekolah Dasar (SD) sekitar 25,24 juta anak. Tahun 2019 tercatat ada 4,10 juta anak masuk ke jenjang SD dan meluluskan 4,06 juta, yang melanjutkan ke jenjang SMP sebesar 82,06% (sekitar 3,33 juta), melanjutkan ke jenjang SMA dan SMK tercatat masing-masing 1,66 juta dan 1,77 juta anak, dan yang berhasil lulus SMA dan SMK masing-masing sebesar 1,53 juta dan 1,47 juta anak, total sekitar 3 jutaan. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka tingkat penyelesaian sekolah yang dihasilkan semakin rendah.

Hasil evaluasi pada anak rentang usia 13-15 tahun, yang telah menyelesaikan pendidikan minimal pada jenjang SD/sederajat adalah 95,48 persen, artinya dari 100 anak usia 13-15 tahun ada sebanyak 95 orang yang minimal sudah tamat SD/sederajat.

Gambaran lebih jelas dapat dilakukan evaluasi alur pendidikan anak usia 21-24 tahun dari jenjang SD/sederajat sampai SM/sederajat, di mana terdapat sekitar 99,26 persen penduduk usia 21-24 pernah berada pada jenjang pendidikan SD/sederajat.

Dari besaran tersebut, 93,84 persen di antaranya tamat SD/sederajat dan hanya 85,52 persen yang mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP/sederajat. Selanjutnya, dari sekitar 85 persen tersebut, ada 83,82 persen yang mampu menyelesaikan pendidikan pada jenjang SMP/sederajat, dan hanya 61,60 persen saja yang mampu melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan SM/sederajat. Dan hanya 55,52 persen penduduk usia 21-24 tahun berhasil tamat pada jenjang SM/sederajat.

Baca juga:  Khilafah Solusi Tuntas Persoalan Pendidikan Vokasi

Melalui pencapaian ini, apa yang bisa diharapkan dari kemampuan literasi penduduk Indonesia terhadap informasi yang tersedia dengan fakta pendidikan seperti ini?

Fakta yang lain adalah demografi tingginya populasi penduduk Indonesia tahun 2019 sekitar 266,91 juta dengan total usia produktif yang mencapai 183,36 juta jiwa atau 68,7% yang akan terus bertahan pada kisaran itu hingga tahun 2035 (BPS, 2019). Namun sungguh disayangkan bahwa tingginya populasi tersebut tidak diiringi dengan tingginya kualitas SDM Indonesia.

United Nations Development Programme (UNDP) menilai IPM (Human Development Indeks, HDI) Indonesia sebesar 0,707, menempati peringkat ke-116 dari 189 negara. Sementara negara Asia lainnya seperti Filipina memiliki IPM sebesar 0,712 dan Cina dengan IPM 0,758. Global Competitiveness Report 2019 dari World Economic Forum (WEF) mencatat peringkat daya saing Indonesia berada di berada di ranking 50 di bawah Malaysia (27) dan Thailand (40).

Adapun terkait masalah ekonomi, dunia saat ini dihantui krisis ekonomi riil akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi global, yakni sekitar 2,3% pada 2019 dengan pertumbuhan ekonomi Amerika (2,7%) dan Eropa (1,2%), Tiongkok (6,1%) terendah dalam 27 tahun, sedangkan India dan Indonesia sekitar 5% lebih rendah dari prediksi sebelumnya.

Kondisi ini diperburuk perang dagang AS-Tiongkok, Brexit, geopolitik akibat konflik AS-Iran, disusul wabah virus Covid-19 yang masih terus merebak ke seluruh dunia. Menjadikan perekonomian tahun 2020 penuh ketidakpastian.

Di tengah ketidakpastian ini, Asia diharapkan menjadi “the driver for global economy”. Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Asia, disusunlah dokumen berbasis riset yang bernama “Developing a Road Map toward East Asian Economic Integration” dan “Energy Security in East Asia“. Kerja sama yang dilakukan bukan hanya di bidang pangan atau energi, bahkan yang terpenting adalah infrastruktur.

McKinsey Global Institute, dalam tajuk Rethinking Infrastructure menyatakan bahwa, “Untuk tetap memacu pertumbuhan ekonomi global saat ini hingga tahun 2030, dunia membutuhkan investasi sebesar 57 triliun USD pada jalan raya, jembatan, pelabuhan, bandar udara, tenaga listrik, fasilitas air, dan berbagai bentuk infrastruktur lainnya.”

Artinya, butuh banyak SDM level pekerja namun tetap skillful yang harus mengerjakan proyek-proyek tersebut agar tetap menguntungkan para investor kapitalis, dan itu harus terencana dalam penyelenggaraan pendidikan demi menjamin ketersediaan SDM dan buruh murah.

Jadi, isu ketidaksetaraan gender sebenarnya hanyalah kedok kapitalisme global dalam menarik sebanyak mungkin tenaga kerja, termasuk di dalamnya perempuan. Juga untuk menutupi ketidakmampuan paradigma penyelenggaraan pendidikan hanya demi keuntungan ekonomi serta ketersediaan tenaga dan buruh murah. [MNews]

2 komentar pada “Perempuan dan Pendidikan dalam BPFA Beijing +25

  • Jadi semangat memperjuangkan Islam yang sesungguhnya

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *