Keterlaluan, Jualan di Tengah “Panic Game” Corona
Oleh: Rindyanti Septiana, S.Hi.
Muslimahnews.com, OPINI – Banyak pejabat yang “santuy” (baca: santai) dalam menghadapi virus corona (Covid-19) yang kini sudah ditetapkan WHO sebagai pandemi. Wajar saja publik menilai para pejabat begitu santai dalam memberikan perlindungan pada rakyatnya. Mengingat pemimpin negeri hingga jajaran menteri dengan tenangnya menginformasikan pada rakyat terkait wabah tersebut.
Menkes Terawan pernah mengungkapkan keheranannya terkait mengapa masyarakat begitu heboh dengan virus corona. Menurutnya, angka kematian penyakit flu biasa justru jauh lebih tinggi dari virus corona. Bahkan ia menyebut virus corona sebenarnya adalah virus yang biasa saja. (pinterpolitik.com, 4/3/2020)
Saat viral di media sosial terkait penjualan masker yang disita polisi dari sejumlah penimbun dengan harga Rp4.000/10 lembar masker, Menko Polhukam Mohammad Mahfud MD menyatakan polisi yang menjual masker hasil sitaan bisa mengembalikan uang hasil penjualannya kepada negara. Tindakan tersebut diperbolehkan, tidak melanggar hukum. (hot.grid.id, 7/3/2020)
Sementara, di tengah masyarakat terjadi kehebohan (panic game) yang ditandai dengan meroketnya harga penjualan masker serta sulit mendapatkannya. Tak ketinggalan pula, masyarakat memborong cairan antiseptik, hand sanitizer, hingga sembako.
Wajar “Panic Game” terjadi di tengah masyarakat. Pasalnya, belum ada langkah konkrit yang dilakukan pemerintah untuk menghentikan sumber kepanikan. Bukankah seharusnya pemerintah lewat para pejabatnya meyakinkan publik bahwa pemerintah telah melakukan antisipasi atasi corona?
Ini malah sebaliknya, disibukkan dengan menjual masker hasil sitaan dari penimbun serta menyalahkan kepanikan rakyat, lalu mengambil keuntungan materi dari situasi. Mental rezim korporatokrasi pasti melulu mencari keuntungan meskipun rakyatnya tengah kesulitan.
Raymond Saner dan Poppy S. Winanti dalam tulisannya Policy Coordination and Consultation in Indonesia, juga menyoroti bahwa pemerintah Indonesia –khususnya para menteri– memang memiliki kekurangan dalam hal koordinasi, sehingga menyebabkan pembuatan kebijakan publik menjadi tidak efektif. (pinterpolitik.com, 4/3/2020)
Hingga saat ini pun, Kemenkes sendiri belum mengumumkan akan membentuk crisis center ataupun tim penanggulangan lainnya. Data resmi terbaru mengungkapkan ada 96 pasien positif corona, 5 orang meninggal, dan 8 orang dinyatakan sembuh (14/3/2020).
Sampai kapan rakyat diminta untuk tenang? Sementara bayang-bayang corona terus menjadi momok menakutkan bagi rakyatnya.
Alangkah “Lucunya” Para Pejabat Negeri Ini
Dilansir Channel News Asia dan CNN, secara total sudah 97.852 orang yang dilaporkan terinfeksi virus corona secara global. Jumlah itu tersebar di lebih dari 80 negara dan wilayah. Jumlah korban meninggal akibat virus corona pun bertambah melebihi 3.300 orang.
Di luar Cina daratan, dilaporkan ada 17.300 kasus yang tersebar di sedikitnya 86 negara dan wilayah. Korea Selatan (Korsel) menjadi negara dengan jumlah kasus virus corona terbanyak setelah Cina. Saat ini sudah 6.284 kasus virus corona terkonfirmasi di Korsel. Di bawah Korea Selatan, ada Italia dengan 3.858 kasus, dan Iran dengan 3.513 kasus.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan negara-negara di dunia untuk menghadapi krisis corona dengan lebih serius. Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan banyak negara yang tidak mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memerangi penyebaran wabah yang mematikan ini.
Menurutnya, banyak negara yang tidak menunjukkan “tingkat komitmen politik” yang diperlukan untuk menyamai tingkat ancaman yang kita semua hadapi. (news.detik.com, 6/3/2020)
Apa yang disampaikan Tedros dialami negeri ini: Tidak ada antisipasi dan bentuk riil perlindungan pada rakyat yang ditunjukkan oleh para pejabatnya. Seperti Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang ingin tenaga kerja asing (TKA) asal Cina untuk bisa segera kembali ke Indonesia. Terhambatnya arus balik TKA Cina di Indonesia yang pulang saat imlek dianggap memberi dampak negatif ke perekonomian.
Ia berdalih tidak ada larangan WHO bagi orang dari Cina yang ingin datang ke Indonesia, kecuali Wuhan provinsi Hubei yang menjadi pusat wabah itu. Sehingga Luhut menilai penting menyegerakan datangnya TKA Cina.
Seperti diketahui, sejumlah proyek di Indonesia saat ini bergantung pada tenaga kerja asing asal Cina seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung hingga aktivitas produksi di Morowali, Sulawesi Tengah. Hal ini juga mencakup proyek PT Vale Indonesia yang seharusnya sudah bisa jalan beberapa bulan ini tetapi terpaksa tertunda.
Tampak sekali tak memiliki hati nurani. Pertimbangan para pejabat negeri hanya untung dan rugi. Ketika rakyat dilanda kekhawatiran atas wabah penyakit, mereka justru disibukkan memikirkan perekonomian.
Beginilah watak asli kepemimpinan kapitalis. Mereka menjadikan kesehatan dan nyawa sebagai barang dagangan, dengan turut mengambil untung dari penjualan masker hasil sitaan. Sibuk dengan pertimbangan devisa hasil kunjungan wisata dari Cina, hingga kepentingan investasi guna menambah pemasukan kantong para kapitalis. Tanpa menghiraukan kebijakan yang akan membahayakan rakyatnya sendiri.
Keterlaluan. Inilah kata yang tepat mewakili suara hati publik. Benar-benar ‘lucu’ sekali pejabat negeri ini. Nyawa rakyat begitu tak bernilai dibanding dengan sejumlah uang investasi yang telah digelontorkan Cina.
Memang, kematian merupakan sesuatu yang pasti dalam kehidupan. Tapi mati dalam kondisi tanpa pengurusan yang baik dari pemimpinnya sungguh sangat menyedihkan dan menyakitkan. Mereka abai atas penjagaan pada kesehatan rakyatnya –sebagaimana yang selama ini ditunjukkan lewat berbagai kebijakan yang diberlakukan, salah satunya BPJS–; ‘Memalak’ dengan iuran yang tinggi tanpa mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu; Ditambah lagi dengan keharaman dalam penerapannya karena tak sesuai dengan syariat-Nya. Makin bertambah kesulitan rakyat karena ulah pemimpin yang tak bertanggung jawab.
Sebelum corona mengancam kehidupan rakyatnya, sejatinya rakyat telah ‘terancam’ kehidupannya karena kepemimpinan rezim korporatokrasi, yang tak memiliki empati apalagi belas kasih.
Khilafah Berkhidmat Melayani Kesehatan Umat
Dalam Islam, kesehatan dipandang sebagai kebutuhan pokok publik, Muslim maupun non-Muslim. Karena itu Islam telah meletakkan dinding tebal antara kesehatan dan kapitalisasi serta eksploitasi kesehatan. Dalam Islam, negara (Khilafah) bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara.
Pandangan Islam tentang kesehatan jauh melampaui pandangan peradaban mana pun. Islam telah menyandingkan kesehatan dengan keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Mintalah oleh kalian kepada Allah ampunan dan kesehatan. Sesungguhnya setelah nikmat keimanan, tak ada nikmat yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang selain nikmat sehat.” (HR Hakim).
Khalifah bersama aparaturnya dan umat Muslim, diwajibkan untuk mencegah mudarat dan menciptakan kemaslahatan bagi manusia, termasuk dalam bidang kesehatan. Semua itu dilakukan atas dorongan kemanusiaan (qimah al-insaniyyah).
Layanan kesehatan berkualitas dijamin ketersediaannya. Semuanya digratiskan oleh negara bagi seluruh warga negara yang membutuhkannya, tanpa membedakan ras, warna kulit, status sosial dan agama, dengan pembiayaan bersumber dari baitulmal.
Tidak akan ada aparatur Khilafah yang berani mengatakan “siapa suruh beli masker kalau mahal”, bahkan menjual barang tersebut di saat rakyatnya membutuhkan untuk perlindungan diri dari wabah penyakit.
Tidak akan dijumpai pula para pejabat yang menyibukkan diri mencari keuntungan ekonomi meskipun mengorbankan keselamatan rakyatnya. Sebaliknya, Khalifah Umar bin Khaththab mengalokasikan anggaran dari baitulmal untuk mengatasi wabah penyakit lepra di Syam. Tanpa meminta biaya pengobatan sepeser pun dari penderitanya.
Khilafah juga tidak luput melaksanakan tanggung jawabnya kepada orang-orang yang mempunyai kondisi sosial khusus, seperti yang tinggal di tempat-tempat yang belum mempunyai rumah sakit, para tahanan, orang cacat, dan para musafir.
Untuk itu negara mendirikan rumah sakit keliling tanpa mengurangi kualitas pelayanan. Ini seperti pada masa Sultan Mahmud (511-525 H). Rumah sakit keliling ini dilengkapi dengan alat-alat terapi kedokteran, dengan sejumlah dokter. Rumah sakit ini menelusuri pelosok-pelosok negara.
Fungsi riayah (pengurusan) dan junnah (perisai) dilakukan Khilafah dengan maksimal. Tanpa melewatkan satu pun dari rakyatnya tidak mendapatkan berbagai fasilitas dan layanan untuk kemudahan hidup.
Menjadi tanya bagi kita semua, apakah kita masih menaruh harapan dan kepercayaan pada rezim minus empati? Atau sebaliknya, kita hanya akan berharap hidup tenang dan mulia dalam kepemimpinan Islam? Semoga Allah segerakan hari itu, saat Islam menaungi kita. [MNews]