Editorial

Bunuh Diri Politik di Balik Pengarusan Istilah Berbau Moderasi Islam

Muslimahnews.com, EDITORIAL – Kehidupan kaum muslimin saat ini memang tak bisa dikatakan baik. Taraf berpikir politis yang rendah telah menjauhkannya dari predikat umat yang bangkit dan digdaya.

Kondisi ini terjadi sejak kaum kafir imperialis melancarkan perang pemikiran dan perang kebudayaan atas umat Islam. Bentuk perang ini merupakan pengganti atas perang fisik yang terbukti gagal memberi kemenangan buat mereka dari masa ke masa. Tujuan utamanya: memenangi persaingan dalam konstelasi politik internasional dan menyukseskan agenda penjajahan di dunia Islam!

Mereka tahu betul bahwa inti kekuatan umat Islam ada pada ideologi Islam. Yakni pada pemikiran-pemikirannya yang jernih dan sahih. Baik berupa akidah dan konsep-konsep hukum syara’ sebagai pemecah masalah kehidupan, maupun pada metodologi penerapan pemikiran tersebut berupa konsep tentang negara dan penegakan seluruh hukum Islam oleh negara (khilafah Islam).

Oleh karena itu mereka terus berusaha agar berbagai pemikiran Islam yang sebelumnya menuntun kaum muslimin dan membuat mereka mampu membangun sebuah peradaban gemilang yang tegak belasan abad, terkubur oleh pemikiran-pemikiran asing yang merasuk ke dalam benak mereka, dan kemudian mengungkung sistem kehidupan mereka.

Mereka terus mempropagandakan bahwa pemikiran-pemikiran Islam hanyalah sebuah masa lalu yang tidak lagi layak untuk membangun kembali masa depan peradaban umat. Apalagi di tengah-tengah fakta pluralitas, universalitas, serta realitas umat hari ini yang sudah berhasil dikotak-kotak oleh penjajah dalam wilayah imajiner bernama negara bangsa.

Salah satu caranya adalah dengan melontarkan berbagai gagasan yang menyerang Islam. Baik yang menohok Islam secara langsung, yakni dengan menampilkan wajah buruk pemikiran-pemikiran Islam. Maupun yang bersifat halus dan kompromistis untuk mengaburkan ide-ide Islam dan membentuk image bahwa Islam sangat terbuka atas perubahan zaman asal ajarannya direkonstruksi atau disesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Masalahnya, euforia demokratisasi yang saat ini sedang hangat-hangatnya dinikmati negeri-negeri Islam, memang memberikan suasana yang kondusif bagi penyebaran gagasan-gagasan tersebut di tengah-tengah mereka. Sehingga benar-benar menjadi bahan polemik, yang sebenarnya merupakan manifestasi dari fenomena ghazwul-fikr dan ghazwuts-tsaqafi seperti yang dikehendaki para perancangnya.

Baca juga:  [Editorial] Serangan Barat di Balik Isu Ekstremis dan Moderat

Kondisi ini kemudian diperburuk oleh ungkapan-ungkapan sebagian pemikir Islam kontemporer. Termasuk oleh mereka yang kemudian disebut “ulama”. Baik yang jelas-jelas bertindak sebagai agen para penjajah, maupun mereka yang “ikhlas” dan bersikap “husnuzhan” terhadap pihak Barat atau negara-negara imperialis.

Ironisnya, mereka kerap menyatakan, bahwa apa yang oleh sebagian kalangan disebut dengan fenomena ghazwul-fikr tadi, sesungguhnya bukan merupakan kenyataan yang harus disikapi secara negatif, melainkan seharusnya menjadi sarana pendewasaan serta pengentalan ghirah dan persepsi keagamaan umat.

Karena dalam kacamata mereka, selama ini semangat dan persepsi keagamaan mayoritas umat Islam memang lebih didasari oleh sentimen dan berbagai mitos, sehingga terkesan sangat kaku, letterlijk, simbolik, dan bahkan khayali.

Akibatnya (menurut mereka) Islam dan kaum Muslimin seolah menjadi sebuah ajaran dan komunitas yang sangat eksklusif dan antiperubahan. Juga antipencerahan dan modernisasi. Sehingga wajar kelompok umat ini layak menyandang berbagai sebutan, seperti kelompok Islam konservatif dan skriptualis. Bahkan jika sudah mengarah kepada upaya mewujudkan Islam sebagai sebuah sistem mereka layak disebut fundamentalis atau radikalis.

Mereka mengatakan, jika Islam dipahami dan direalisasikan “apa adanya”, secara pasti Islam akan kehilangan keuniversalannya dan kemudian terpinggirkan sebagaimana filsafat usang yang ditinggalkan banyak orang.

Hal ini menurut mereka, tentu sangat kontraproduktif bagi masa depan Islam dan kaum Muslimin. Sehingga adanya rekonstruksi paradigma berpikir dalam beragama menjadi satu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Dalam hal ini, mereka kemudian menyebut gagasannya tersebut dengan istilah tajdid atau pembaharuan.

Semangat pembaharuan (tajdid) dalam perspektif Islam seperti ini, sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Yakni sejalan dengan perkembangan sejarah Islam itu sendiri.

Akan tetapi pembaharuan yang dikembangkan oleh ulama salaf di masa lalu dan sebagian ulama khalaf (kontemporer) yang lurus, justru lebih mengarah pada upaya “memurnikan” ajaran Islam. Juga mengarah pada upaya mengembalikannya ke perspektif Islam “apa adanya”, setelah dianggap bahwa Islam telah tersusupi pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran baru (bid’ah) atau bahkan sesat, yang diyakini tidak relevan dengan kehendak wahyu (tasyri’).

Baca juga:  Catatan Kecil AICIS 2021: Penguatan Perempuan sebagai Agen Moderasi

Sementara, sebagian pemikir Islam “kontemporer” lainnya, yakni yang sering juga disebut kelompok Islam esensialis, moderat atau bahkan liberal justru lantang menyerukan upaya pembaharuan yang mengarah kepada keharusan untuk “membaca” wahyu dalam konteks kekinian. Yakni melalui seruan-seruan untuk melakukan upaya reinterpretasi, reaktualisasi, atau bahkan rekonstruksi teks-teks nas syariat Islam.

Untuk itu, mereka intens juga menyerukan penggunaan berbagai pendekatan di luar konteks kaidah ushul fiqih yang selama ini dikenal (ijtihad syar’i). Misalnya melalui pendekatan ilmiah dengan sudut pandang antropologi historis, sosiologis-hermeneutik, dan psikologis dalam memahami konsep-konsep ajaran Islam. Atau membuat istilah-istilah baru yang tak pernah dikenal dalam khazanah pemikiran Islam.

Tujuannya adalah demi membangun kembali citra Islam yang kadung dicap miring oleh Barat dengan berbagai stereotip, seperti kuno, sadis, penuh kekerasan, menghinakan wanita, dan sebagainya, menjadi nampak lebih ramah, humanis, dan modern.

Inilah rupanya yang menjadi obsesi para pemikir Islam kontemporer-esensialis alias kaum moderat tadi: “Membebaskan Islam dari kekeliruan konsep dan persepsi Barat tentang Islam”. Atau dengan kata lain: “Membaca ajaran Islam dengan memakai kacamata Barat”.

Itulah kenapa, mereka begitu membuka diri terhadap berbagai diskursus dan polemik tentang pemikiran Islam, demi dan atas nama kebebasan berpikir, pencerahan, dan kepentingan ilmiah. Sehingga berbagai wacana dikembangkan, bahkan terkadang seolah tanpa batas, karena sampai menyentuh hal-hal yang sangat mutlak dan mendasar (yakni tataran akidah) yang nantinya akan sangat berpengaruh pada tataran syariat.

Di antara konsep-konsep yang menjadi polemik hangat dan intens dilontarkan adalah konsep tentang moderasi Islam (wasathiyah Islam) dan mitsaqul wathan (kesepakatan berbangsa dan bertanah air). Di mana konsep-konsep ini dipandang jitu untuk menghadapi apa yang mereka sebut sebagai serangan radikalisme yang fenomenanya sudah mengglobal.

Padahal sekalipun konsep-konsep tersebut sangat filsafati dan disajikan seolah-olah merupakan “pemikiran Islam”, akan tetapi justru menjadi dasar dan penguat bagi tertancapnya pemikiran-pemikiran asing yang saat ini terus digembar-gemborkan musuh-musuh Islam untuk meracuni pemikiran kaum muslimin. Misalnya ide kebebasan, demokrasi, HAM, dialog antaragama, nasionalisme, dan lain-lain.

Baca juga:  [News] Kasus Bom Makassar, Dimanfaatkan untuk Moderasi Islam?

Faktanya ketika ide-ide ini diterima umat sebagai standar berpikir dan berbuat, umat Islam justru jatuh dalam berbagai kerusakan. Mulai krisis politik, krisis moral, krisis ekonomi, serta krisis persaudaraan. Kondisi inilah yang akhirnya justru membuat umat hilang kekuatan dan ujung-ujungnya kian mengukuhkan hegemoni kapitalisme global.

Inilah yang semestinya disadari oleh umat Islam, bahwa diskursus tentang gagasan moderasi dengan berbagai bentuk dan istilah yang diaruskannya hanyalah bagian dari skenario Barat untuk menghalangi kebangkitan Islam. Barat betul-betul memahami bahwa saat ini Islam ideologislah satu-satunya musuh potensial setelah sosialisme hancur dengan runtuhnya kekuasaan Soviet beberapa waktu lalu.

Ini pula yang semestinya dipahami para tokoh umat, terutama para ulama yang masih memiliki keikhlasan dan perhatian pada masa depan umat. Bahwa sesungguhnya pembelaan dan dukungan mereka terhadap pemikiran yang diaruskan Barat –hanya karena ingin diterima Barat– hanyalah bentuk “bunuh diri politik” yang akan menjatuhkan umat pada palung yang lebih dalam. Dan selanjutnya akan membuat umat terus ada dalam kehinaan dan jerat penjajahan.

Sungguh umat ini hanya akan mulia dengan berpegang teguh pada ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunah. Bukan dengan berpegang teguh pada ajaran Islam yang dipersepsikan dengan ajaran Barat.

Bukankah Allah SWT telah mengingatkan, bahwa musuh-musuh Allah akan terus berusaha berbuat makar agar umat Islam mengikuti sistem hidup mereka dan menanggalkan Islam yang menjadi kunci kemuliaannya? Tidakkah mereka paham bahwa hari ini umat Islam telah jadi buih dan hidangan justru dikarenakan umat Islam telah mencampakkan Islam?

“Sesungguhnya orang-orang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka jahanamlah orang-orang kafir itu dikumpulkan.” (QS Al Anfal: 36). Wallahu a’lam bish-shawab. [MNews – SNA]

5 komentar pada “Bunuh Diri Politik di Balik Pengarusan Istilah Berbau Moderasi Islam

  • Leni setiani

    Allahu Akbar. Khilafah satu-satunya sistem yang haq.

    Balas
  • Cucu Aprilianti

    Back To Khilafah

    Balas
  • Mutia Kanza

    Maa syaa Allah. Allahu Akbar

    Balas
  • Putri Anjani

    MasyaAllahhh Allahuakbar

    Balas
  • Atikah Mauluddiyah

    Sepakat.
    “Diskursus tentang gagasan moderasi dengan berbagai bentuk dan istilah yang diaruskannya hanyalah bagian dari skenario Barat untuk menghalangi kebangkitan Islam.”

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *