Mewujudkan Negara yang Maju, Adil, dan Beradab
Oleh: Chusnatul Jannah
MuslimahNews.com, OPINI – Majelis Ulama Indonesia akan menggelar Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-7 di Bangka Belitung pada 26-29 Februari 2020 mendatang. Mengusung tema “Strategi Perjuangan Umat Islam Indonesia untuk mewujudkan NKRI Maju, Adil, dan Beradab“, KUII ini akan dihadiri 700 peserta, di antaranya pengurus MUI pusat hingga daerah, ormas Islam, perguruan tinggi, pesantren, dan pemangku kebijakan lainnya.
KUII diharapkan mampu melahirkan ide inklusif dan berperan aktif untuk kemajuan Indonesia. Beberapa materi yang dibahas dalam kongres tersebut mencakup masalah ekonomi, politik, pendidikan, hukum, kebudayaan, media sosial, filantropi Islam, dan kerukunan antarumat beragama.
Ketua Steering Committee (SC) KUII VII, Buya Anwar Abbas mengatakan, tujuan KUII VII secara khusus untuk meneguhkan kembali kiblat bangsa. “Sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa yang termaktub dalam pembukaan (mukadimah) dan pasal-padal UUD 1945 serta ajaran Islam,” katanya di Gedung MUI Pusat, Selasa (11/2/2020). (santrinews.com)
Mendudukkan KUII sebagai Momen Perubahan
Seperti diketahui, Indonesia sebagai negeri mayoritas muslim terbesar di dunia memiliki sejumlah potensi yang membuat negeri ini bisa menjadi negara maju, adil, dan beradab. Potensi itu terletak pada jumlah umat, girah keislaman umat, dan persatuan umat.
Sebagai negeri yang dihuni beragam latar, budaya, suku, dan agama, bisa dibilang Indonesia lebih stabil menghadapi beraneka macam perbedaan yang muncul di tengah masyarakat. Sayangnya, Indonesia juga berpotensi memiliki kerawanan konflik yang cukup tinggi. Semua ini bergantung pada sistem yang diterapkan pada masyarakat dan negara.
Dewasa ini, sistem yang masih mendominasi tatanan kehidupan manusia adalah kapitalisme dan sekularisme. Indonesia sendiri termasuk negara yang menerapkan sistem tersebut. Berbagai problematik yang muncul dari ekonomi, pendidikan, politik, hukum, media sosial, dan kebudayaan tidak terlepas dari pengaruh sistem kapitalisme sekuler.
Ekonomi misalnya, kesenjangan sosial akibat kapitalisme makin terasa. Miskin dan kaya begitu nampak di hadapan kita. Negara menjelma menjadi negara korporatokrasi yang hanya menguntungkan korporasi. Kebijakan yang lahir masih bernapaskan kapitalis liberal. Alhasil, rakyat pun terbebani dengan berbagai beban dan biaya hidup yang makin tinggi.
Dalam persoalan pendidikan, generasi kian di ambang kehancuran. Budaya seks bebas, aborsi, perundungan, tawuran, hingga eljibiti menjadi pandangan sehari-hari. Moralnya rusak, mentalnya liar. Ditambah kurikulum asas sekuler menjadikan generasi muda makin jauh dari agama. Tak peduli halal haram. Maksiat pun merajalela.
Adapun dalam bidang hukum, penegakannya masih jauh dari harapan. Hukum tebang pilih nyata terlihat. Hukum berlaku sesuai selera dan kepentingan penguasa. Ketidakadilan hukum rasa-rasanya sangat telanjang dipertontonkan di hadapan kita.
Ada yang mudah diciduk karena kritis terhadap pemerintah. Ada pula yang kebal hukum meski berulang kali menista agama dan menebar fitnah. Lantaran dekat dengan penguasa mereka aman saja. Ada pelaporan kasus yang cepat ditindak. Ada pula yang lambat ditangani dengan berbagai dalih.
Di media sosial, perang opini mewarnai dinamika perpolitikan. Pro dan kontra menjadi pemandangan setiap hari. Yang paling menarik hati, isu Khilafah dan radikalisme paling viral sepanjang pemerintahan Jokowi. Sampai-sampai pejabat dan penguasa negeri ini tak proporsional menanggapi problematik negeri.
Beberapa pejabat bahkan sembrono mengaitkan permasalahan dengan mengambinghitamkan Khilafah. Pun sebaliknya, kinerja Pemerintah habis dikuras dengan memainkan narasi radikal radikul alias radikalisme.
Sejumlah fakta di atas memang membutuhkan sinergi dan koneksi yang sehat antarumat. Kongres Umat Islam Indonesia mungkin menjadi salah satu penyalur aspirasi umat. Hanya saja, kita juga perlu mendudukkan hal ini dengan sudut pandang yang luas. Setiap masalah selalu memiliki sebab. Dengan mengetahui sebabnya, maka kita mampu merumuskan solusinya.
Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah pemersatu umat memang semestinya berperan besar dalam mewujudkan negara yang maju, adil, dan beradab. Harapan umat, dengan diselenggarakannya KUII, para alim ulama yang tergabung mampu memberi kesadaran kepada masyarakat bahwa penyebab ‘sakitnya’ negeri ini tidak lain karena penerapan kapitalis sekuler.
Jangan sampai kongres itu justru menghasilkan deklarasi yang menjemukan yang berputar pada solusi teknis dan pragmatis. Sementara negeri ini membutuhkan solusi ideologis dan sistemis untuk menjadi negara maju, adil, dan beradab.
Negara Maju, Adil, dan Beradab hanya dengan Sistem Islam
Berbagai persoalan bangsa hingga detik ini tak mampu terselesaikan secara fundamental dan komprehensif. Sebab, sejauh ini penyelesaian masalah hanya menyentuh perkara cabang, belum mendasar. Padahal semua persoalan di berbagai bidang berpangkal pada penerapan sistem kapitalisme dan sekularisme yang diterapkan.
Strategi perjuangan umat Islam untuk mewujudkan negara maju, adil, dan beradab hanya bisa tercapai dengan mencontoh metode perjuangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Negara akan maju hanya jika Indonesia menerapkan sistem politik antikeculasan dan sistem ekonomi antiriba dan utang. Yakni politik dan ekonomi Islam. Bukan ekonomi syariah yang hanya setengah-setengah, namun ekonomi berbasis syariah yang ditopang politik Islam yang mampu meriayah, bukan berdasar kepentingan dan rebutan jabatan.
Negara adil hanya akan terwujud manakala sistem hukum Islam ditegakkan. Aturannya jelas, hukumnya tegas. Tidak seperti hukum produk Belanda. Mudah direvisi dan diubah sesuai kehendak manusia.
Negara beradab hanya bisa tercapai dengan sistem pendidikan dan sosial yang berlandaskan akidah Islam. Bukan dengan menjauhkan agama dari kehidupan. Hal ini bisa dilihat dari penerapan pendidikan Islam di masa Khilafah. Khilafah berhasil melahirkan manusia cerdas, bertakwa, dan berakhlak mulia.
KUII haruslah menjadi gerbong perjuangan dan perubahan untuk umat Islam khususnya dan manusia pada umumnya. Masa depan umat itu ada di tangan Islam. Sebab, demokrasi, kapitalisme, dan sekularisme makin nampak kebobrokannya.
Persatuan umat bukanlah hal mustahil untuk diwujudkan. Hal itu sudah teruji dengan gerakan 212 yang turut mewarnai perpolitikan Indonesia. Umat, ulama, dan seluruh komponen masyarakat hanya perlu menyatukan visi misi saja. Visi membangun peradaban gemilang. Misi membawa pesan rahmatan lil alamin.
Bukan hanya untuk umat Islam, namun untuk umat manusia secara keseluruhan. Inilah momennya, 2020, tahun umat Islam sebagai kiblat lahirnya peradaban baru. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? [MNews]