Pelayanan Kesehatan BPJS Makin Tidak Manusiawi; Darurat Kebutuhan Publik pada Khilafah
Oleh: Rini Syafri (Doktor Biomedik, Pengamat Kebijakan Publik)
MuslimahNews.com, ANALISIS — Pelayanan kesehatan BPJS yang menyakitkan sudah umum dirasakan masyarakat. Diskriminatif, tidak manusiawi, bahkan sering membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa pasien. Kondisi buruk ini semakin dipertegas oleh sejumlah peristiwa pilu di fasilitas kesehatan selama sepekan terakhir.
Seperti kematian pasien BPJS Kesehatan kelas III di selasar Rumah Sakit Abdul Moeloek Lampung. Ruang perawatan yang penuh, sebagaimana pengakuan keluarga pasien, membuat almarhum tidak mendapat perawatan yang semestinya.[1]
Juga penyanderaan mayat bayi seorang warga miskin oleh Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar akibat kartu BPJS Kesehatan belum diaktifkan dan tidak punya uang Rp12 juta untuk pembayaran biaya perawatan selama 3 hari di Pediatric Intensive Care Unit (PICU);[2] Atau tindakan operasi yang gagal diteruskan akibat peralatan yang tidak memadai di RSUD Sultan Daeng Radja Bulukumba pada pasien penderita gondok.[3]
Penting dicatat, sejumlah fakta ini hanyalah puncak fenomena gunung es yang menegaskan tidak manusiawinya pelayanan kesehatan BPJS.
Sementara itu, dampak buruk defisit BPJS terus membayangi, yang terbukti telah memperburuk pelayanan kesehatan pada banyak rumah sakit.[4] Seperti di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di mana sejumlah tindakan yang dibutuhkan pasien terpaksa tidak diberikan.
“Kita sampai harus menghentikan beberapa pelayanan, pasien harus dipulangkan karena tidak jadi operasi. Tidak ada obat bius,” ujar Direktur Utama RSCM, dr Lies Dina Liastuti, SpJP(K), MARS, dikutip dari health.detik.com, Selasa (16/7/2019; 22;27 wib).[5]
Dan, setidaknya 800 ribu peserta BPJS Kesehatan turun kelas karena terbebani premi yang naik sebanyak dua kali lipat.[6] Sementara tidak ada tindakan segera pemerintah untuk melakukan penambahan fasilitas pelayanan kelas III yang jumlahnya memang sudah terbatas.[7] Ujungnya, dapat dipastikan kian memburuknya kualitas pelayanan kesehatan, khususnya kelas tiga.
Perlu diketahui, buruknya kualitas pelayanan kesehatan jaminan kesehatan neolib Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan penyelenggaranya BPJS Kesehatan –yang secara global dipopulerkan dengan sebutan UHC (Universal Health Coverage)– telah menjadi persoalan dunia.
Sebagaimana ditegaskan laporan Komisi Kesehatan Global Lancet, November 2019, yang menunjukkan 5,7 juta orang meninggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah setiap tahun akibat perawatan kesehatan yang berkualitas buruk dibandingkan dengan 2,9 juta yang meninggal karena kurangnya akses ke perawatan.[8]
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menegaskan, yang artinya, “Tiada bahaya dan kesengsaraan dalam Islam.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad) Alhasil, keluar dari persoalan ini merupakan perkara yang mendesak bagi bangsa ini dan dunia.
Akar Masalah dan Kelalaian Negara
Bila ditelaah secara mendalam dan menyeluruh, penderitaan publik akibat buruknya pelayanan kesehatan BPJS adalah buah kelalaian negara. Yakni ketika negara hadir sebagai pelaksana berbagai paradigma sekularisme yang berlandaskan hawa nafsu bukan kebenaran. Khususnya paradigma tentang kesehatan dan peran negara yang dilegalkan dalam wujud peraturan dan perundang-undangan.
Kesehatan dalam perspektif sekularisme adalah jasa yang harus dikomersialkan. Negara melalui fungsinya sebagai regulator menjamin komersialisasi itu berlangsung.
Kehadiran negara sebagai pelaksana kedua konsep batil ini beserta keseluruhan sistem kehidupan sekularisme –khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi ruang subur bagi paradigma sekularisme– telah berdampak luas dan serius.
Seperti keterbatasan jumlah dan sebaran fasilitas kesehatan dengan dokter ahli serta kelengkapan obat-obatan dan peralatan medis yang memadai, harga pelayanan kesehatan melangit, dan ketundukan pelayanan kesehatan pada agenda bisnis rumah sakit dan korporasi BPJS Kesehatan.
Ketundukan pelayanan kesehatan pada kepentingan bisnis cukup mudah terindra: Tampak dari ketentuan yang berlaku pada fasilitas kesehatan, yakni hanya akan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien yang mampu membayar.
Ditegaskan dalam Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1 (SNARS Ed 1) pada butir Standar Tata Kelola Rumah Sakit poin ke 12.[9] Bagi orang miskin yang dibayarkan Pemerintah, juga akan mendapatkan pelayanan. Hanya saja, sesuai logika bisnis, kelompok papa ini tentu bukan prioritas.
Ini saja sudah cukup menihilkan atmosfer yang dibutuhkan secara insani bagi kesembuhan pasien. Yaitu perawatan yang tulus dengan prinsip-prinsip sahih kedokteran.
Terlebih lagi, BPJS Kesehatan sebagai korporasi juga menetapkan sejumlah ketentuan sesuai kepentingan bisnisnya, bukan kesembuhan dan keselamatan jiwa pasien. Misal pembayaran premi dengan sejumlah prasyaratnya sebagai pengaktifan kartu BPJS jika pelayanan kesehatan akan dibayarkan BPJS.
Hingga konsep layanan berjenjang (reveral system/sistem rujukan), tagihan casemix (INA CBGs), dan penggajian kapitasi, yang semua konsep-konsep itu bila ditelaah hanyalah mengedepankan logika bisnis, bukan kesehatan dan keselamatan jiwa pasien.
Pada akhirnya prinsip-prinsip kebenaran ilmiah kedokteran yang begitu penting bagi kesembuhan dan keselamatan jiwa pasien, berupa kecepatan dan ketepatan dalam penegakan diagnosis serta dan pengobatan, harus dinomorduakan.
Tidak heran bila fasilitas kesehatan pada era BPJS Kesehatan yang berlangsung dalam sistem kehidupan sekularisme kapitalisme demokrasi, benar-benar kosong dari aspek kemanusiaan. Bahkan, fasilitas kesehatan telah berubah menjadi tempat perjudian nyawa publik. Inilah fakta jaminan kesehatan neoliberalisme.
Jelas ini semua kelalaian negara yang sangat memprihatinkan, dan menuntut kelalaian ini harus segera diakhiri. Sebab Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menegaskan, yang artinya, “Dan siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (perintah-Ku) maka sungguh baginya kehidupan yang sempit …” (TQS Thaha[20]: 124).
Paradigma Sahih Islam dan Kebutuhan pada Khilafah
Di tataran teoretis maupun praktis, kehadiran penguasa sebagai pelaksanaan syariat secara kafah –yaitu khilafah– adalah satu-satunya jalan pembebas masyarakat dari buruknya pelayanan kesehatan hari ini.
Sebab, hanya paradigma sahih Islam yang steril dari muatan komersialisasi pelayanan kesehatan yang terbukti telah membahayakan kesehatan dan jiwa banyak orang. Dan hanya paradigma Islam pulalah yang mampu membuat negara kembali pada fungsinya yang benar.
Sejumlah paradigma sahih Islam terkait jaminan kesehatan khilafah yang bila diterapkan secara kafah dalam bingkai negara khilafah benar-benar akan mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyehatkan lagi menyejahterakan setiap individu masyarakat.
Dan, yang terpenting di antaranya adalah:
Pertama, kesehatan adalah kebutuhan pokok publik, bukan jasa untuk dikomersialkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari).
Sehingga apa pun alasannya, tidak dibenarkan dalam negara khilafah ada program JKN dan program lain yang bertujuan mengkomersialkan pelayanan kesehatan.
Kedua, negara bukan regulator, akan tetapi pihak yang bertanggung jawab langsung dan penuh terhadap pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan publik, gratis lagi berkualitas.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Salaam menegaskan, artinya, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Artinya, negara bertanggung jawab langsung dan sepenuh terhadap ketersediaan fasilitas kesehatan. Baik dari segi jumlah, kualitas terbaik dengan para dokter ahli berikut obat-obatan, dan peralatan kedokteran yang dibutuhkan, serta sebarannya hingga ke pelosok negeri.
Ketiga, fasilitas kesehatan baik puskesmas dan rumah sakit pemerintah adalah institusi teknis pelaksana fungsi negara.
Yaitu fungsi negara sebagai raa’in atau pelayanan pemenuhan hajat publik terhadap pelayanan kesehatan. Karenanya wajib dikelola negara secara langsung di atas prinsip pelayanan. Sebagaimana perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallaam sebagai penanggung jawab dan pengatur langsung kemaslahatan publik di Madinah, termasuk masalah pelayanan kesehatan.[10]
Keempat, model pembiayaan kesehatan antidefisit tanpa membebani publik, rumah sakit, dan insan kesehatan sepeser pun.
Yaitu model pembiayaan berbasis baitulmal dan bersifat mutlak. Sumber-sumber pemasukan dan pintu-pintu pengeluaran sepenuhnya berlandaskan ketentuan syariat.[11] Artinya, tidak dibenarkan keberadaan lembaga-lembaga unit pelaksana teknis fungsi negara seperti rumah sakit ataupun laboratorium dijadikan sumber pemasukan kekayaan negara.[12] Juga tidak dibenarkan penggunaan anggaran berbasis kinerja, apa pun alasannya.
Secara konsep dan praktis, model pembiayaan ini benar-benar menjadikan negara memiliki kemampuan finansial memadai. Baik untuk pembiayaan pengadaan rumah sakit yang mencukupi secara jumlah, kualitas, dan sebaran dengan segala kelengkapan terbaiknya, maupun untuk gaji dokter dan insan kesehatan lain.
Pun demikian untuk pembiayaan pendidikan calon dokter sehingga tersedia dokter ahli secara memadai, juga lembaga riset, laboratorium, industri farmasi, dan biaya apa saja yang dibutuhkan bagi terjaminnya pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik. Mudah diakses oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.
Kehadiran negara sebagai pelaksana paradigma-paradigma sahih tersebut berikut keseluruhan syariat Islam (sistem kehidupan Islam) benar-benar menjadikan seluruh fasilitas kesehatan dilingkupi atmosfer ketulusan dan segala aspek yang dibutuhkan untuk kesembuhan dan keselamatan jiwa pasien.
Para dokter dan insan kesehatan memiliki ruang yang memadai untuk mendedikasikan keahlian bagi kesembuhan dan keselamatan jiwa masyarakat. Tidak akan ada lagi beban agenda bisnis rumah sakit dan korporasi BPJS Kesehatan yang menguras energi dan memasung idealisme.
Karenanya, dalam sejarah peradaban Islam, saat penguasa hadir sebagai pelaksana syariat kafah dalam bingkai khilafah, dunia menyaksikan selama puluhan abad sesuatu yang mengagumkan, yang belum pernah disaksikan sebelum dan sesudahnya; Di mana fasilitas-fasilitas kesehatan tersedia secara memadai, baik dari segi jumlah dan kualitas, maupun sebarannya hingga ke pelosok negeri. [13]
Tidak hanya itu, bahkan dunia juga menyaksikan pelayanan kesehatan di rumah-rumah sakit khilafah benar-benar berada pada puncak kemanusiaan yang menakjubkan.[14]
Inilah fakta jaminan kesehatan khilafah. Buah manis pelaksanaan syariat kafah yang bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Saat ini, di tengah pelayanan kesehatan era BPJS yang kian memprihatinkan, kehadiran negara pelaksana syariat kafah yakni khilafah benar-benar menjadi kebutuhan yang mendesak bagi Indonesia bahkan dunia. Lebih dari pada itu, khilafah adalah ajaran Islam yang disyariatkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada kita semua.
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.” (TQS Al Anfaal: 24). [MNews]
[1] https://kompas.com/regional/read/2020/02/11/21433711/keluarga-pasien-yang-meninggal-di-selasar-rumah-sakit-sempat-bersihkan. kamar-rawat-sendiri.
[2] https://m.brito.id/kisah-pilu-pasien-miskin-gara-gara-rp12-juta-mayat-bayinya-sempat-tertahan-di-rs-wahidin-makassar.
[3] https://kronologi.id/2020/02/07/pasien-gondok-di-rsud-bulukumba-batal-dioperasi-tapi-lehernya-sudah-dibedah-dokter/
[4] https://money.kompas.com/read/2019/09/12/194200326/suplai-obat-distop-rumah-sakit-tagih-tunggakan-bpjs-kesehatan-rp-6-5-triliun.
[5] https://health.grid.id/amp/351790319/pasien-bpjs-di-rscm-terpaksa-dipulangkan-dan-tidak-jadi-operasi-tidak-tersedia-obat-obatan-di-rumah-sakit-lain-kondisinya-serupa.
[6] https://cnnindonesia.com/ekonomi/20200120164938-78-467052/iuran-naik-800-ribu-peserta-bpjs-kesehatan-turun-kelas
[7] https://nasional.republika.co.id; 10 Januari 2020; RS Mitra BPJS Kekurangan Tempat Tidur Kelas Tiga.
[8] https://www.weforum.org/agenda/2019/11/effects-and-costs-of-poor-quality-healthcare/
[9] . Standar Nasional Akreditasi RS (SNARS) ed.1 Tahun 2017. http://www.pormiki-dki.org/2016-04-20-03-11-28/daftar-buku-kumpulan-peraturan/84-standar-nasional-akreditasi-rs-snars-ed-1-tahun-2017.
[10]. Hizbut Tahrir. Ajhizatu Daulatul Khilafah. Darul Ummah. Beirut. 2005.
[11] Pandangan ini ditegaskan pada awal pembahasan sub bab “Dharaa-ib”, bab “Baytul Maal”, bab “Mizaniyatu Daulah”, kitab nizomul Iqtishodi fil Islaam, halaman 245 (An Nabhani, T. An Nidzomul Iqtishody fil Islam. Darul Ummah. Beirut. 2005. Hal 245
[12] .Zalum, ‘Abdul Qadiim. Al Amwal Fi Daulatil KHilafah. Darul ummah. Beirut. 2004. Hal 106.
[13] . Muhammad T L. S. Hanafi. Muslim and Scientist.Medicine.Hal 295-303. https://ia601905.us.archive.org/17/items/MuslimScientist.pdf
[14] . As-Sirjani, R. Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia. Al Kautsar. Jakarta. 2011. Hal. 529-530.
Kesehatan adalah merupakan kebutuhan pokok bagi umat yg seharusnya tanggung jawab pemerintah (gratis) bukan malah dijadikan sebuah obyek yg menguntungkan bagi pihak yg bermodal …(swasta)
Problem solving= Islam
Rindu sistem kesehatan di dalam Islam.