Tak Punya Hati, Insentif Miliaran di tengah Kemelut BPJS
Oleh: Ragil Rahayu, S.E.
MuslimahNews.com, OPINI – Raja Tega! Mungkin itulah sebutan yang tepat bagi jajaran direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Di saat rakyat tercekik karena kenaikan iuran BPJS tahun ini, mereka justru menikmati insentif bernilai miliaran rupiah.
Terungkap, dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) BPJS Kesehatan 2019, terdapat anggaran insentif kepada direksi sebesar Rp32,88 miliar. Jika dibagi ke delapan anggota direksi, setiap direksi mendapatkan insentif sebesar Rp4,11 miliar.
Dengan kata lain seluruh direksi menikmati insentif Rp342,56 juta per bulan. Tak hanya itu, BPJS Kesehatan juga disebut-sebut mengalokasikan dana insentif kepada dewan pengawas sebesar Rp2,55 miliar. Dengan demikian, satu dewan pengawas akan mendapatkan insentif sebesar Rp211,14 juta per bulan (cnnindonesia.com, 21/01/2020).
Selalu Bermasalah
Sejak awal berdirinya, BPJS Kesehatan selalu bermasalah. Di dalam Undang-undang BPJS disebut sebagai lembaga jaminan sosial. Nyatanya, praktik BPJS serupa perusahaan asuransi. BPJS juga selalu mengalami defisit. Tercatat defisit itu terjadi sejak tahun 2014 dan tiap tahun defisitnya makin membengkak.
Pada 2014 defisitnya Rp 1,9 triliun. Pada 2015, defisit BPJS Kesehatan meningkat drastis menjadi Rp 9,4 triliun. Pada 2016, defisit sedikit mengecil menjadi Rp 6,4 triliun. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut terjadi kenaikan iuran peserta.
Meski iuran sudah naik, BPJS Kesehatan tetap defisit. Pada 2017 tercatat defisitnya melonjak menjadi Rp 13,8 triliun. Sedangkan di tahun 2018 defisitnya melesat ke angka Rp 19,4 triliun. Akibat selalu defisit, Pemerintah selalu menyuntikkan modal pada BPJS Kesehatan.
Pada 2015 diberikan suntikan sebesar Rp 5 triliun, tahun 2016 sebesar Rp 6,8 triliun, pada 2017 sebesar Rp 3,6 triliun, dan tahun 2018 sebesar Rp 10,3 triliun (tirto.id, 21/08/2019). BPJS Watch memprediksi defisit BPJS Kesehatan pada 2019 mencapai Rp 17 triliun (liputan6.com, 13/01/2020).
Layanan BPJS Kesehatan juga banyak mendapat sorotan dari masyarakat. Berbagai keluhan diantaranya : pasien ditolak rumah sakit; dihentikannya obat tertentu untuk pasien kanker; antre panjang di rumah sakit; kesulitan mendapatkan kamar rawat inap karena kamar untuk peserta BPJS sering penuh; ada obat-obatan yang tidak dijamin oleh BPJS sehingga peserta harus menanggung sendiri; meskipun seharusnya gratis –selama sesuai kelas– peserta kadang masih harus membayar kelebihan plafond, yang jika tidak dibayar, rumah sakit enggan melayani. Inilah keluhan yang kerap muncul di media.
Yang terbaru, mulai 1 Januari 2020, iuran BPJS Kesehatan resmi naik sebesar 100 persen. Kenaikan iuran tersebut berlaku bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja. Berdasarkan Pasal 34 Perpres Nomor 75 Tahun 2019, kenaikan iuran BPJS secara rinci menjadi:
– Kelas III dari Rp 25.500 per bulan menjadi Rp 42.000
– Kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000
– Kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000
Kenaikan tersebut juga berlaku bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dari Rp 23.000 per bulan menjadi Rp 42.000.
Namun BPJS watch menilai kenaikan iuran ini tidak akan menyelesaikan problem defisit BPJS Kesehatan. Masalah defisit akan terus ada. Apalagi ditambah dengan insentif bernilai miliaran rupiah untuk direksi. BPJS akan makin tenggelam dalam kubangan masalah, tak mampu memberi solusi kesehatan secara mumpuni.
Jaminan Kesehatan Hakiki ada dalam Khilafah
Problem mendasar kemelut BPJS Kesehatan adalah kesehatan diposisikan sebagai jasa komersial, sehingga dituntut untuk menghasilkan keuntungan. Padahal sejatinya kesehatan adalah kewajiban negara pada rakyatnya. Sedihnya, negara saat ini abai dalam mengurusi kesehatan rakyat. Negara justru mencukupkan diri dengan membuat lembaga BPJS dan menyerahkan urusan kesehatan padanya.
Padahal masalah kesehatan adalah bagian dari sistem kenegaraan. Tak bisa “pasrah bongkokan” pada sebuah lembaga yakni BPJS. Saat ini negara hanya berfungsi sebagai regulator, yakni membuat regulasi dan membiarkan rakyat memenuhi kebutuhannya sendiri.
Dalam Islam, negara tak boleh menjadi regulator, melainkan harus menjadi raa’in (pengurus) rakyat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Wujud negara menjadi raa’in adalah pemerintah bertanggungjawab penuh dalam urusan kesehatan, mulai dari penyediaan RS, laboratorium, litbang, dokter dan paramedis lainnya, industri obat, alat kesehatan, sebaran fasilitas kesehatan, pendanaan, pendidikan kesehatan, dan lain-lain.
Semuanya ditanggung pemerintah dan rakyat menikmati layanan ini secara cuma-cuma alias gratis. Meski serba gratis, bukan berarti rakyat khilafah akan suka mondar-mandir ke RS dan membebani negara. Karena khilafah akan melakukan langkah edukasi terkait hidup sehat.
Misalnya terkait pola makan, pola hidup, anjuran puasa sunah, pembentukan kebiasaan olah raga, dll. Sehingga masyarakat Islam menjadi masyarakat yang sehat. Dulu, di masa Rasulullah, Madinah menjadi kota yang penduduknya sehat. Sehingga dokter hadiah dari Raja Muqawqis, Mesir, menganggur karena tak ada pasien.
Tak ada istilah defisit dalam sistem kesehatan khilafah. Berapa pun kebutuhannya akan dipenuhi oleh baitul mal. Sumber dananya dari pengelolaan kekayaan sumber daya alam yang dikelola secara mandiri oleh khilafah, juga wakaf dari masyarakat untuk kesehatan. Pegawai di bidang kesehatan digaji oleh negara sesuai besar jasanya.
Dr. Raghib As-Sirjani dalam buku “al-Qishshah al-Thibbiyyah fî al-Hadhârah al-Islâmiyyah” (2009: 77-82) menyebutkan bahwa rumah sakit Islam pertama kali dibangun sejak abad pertama Hijriah di masa Kekhilafahan Umawiyah. Tepatnya, pada masa kepemimpinan Walid bin Abdul Malik (86-96 H). Lembaga ini menangani pelayanan orang yang sakit kusta.
Menyusul pembangunan rumah sakit pertama, pada fase berikutnya dibangun banyak rumah rakit yang menjadi semacam markas atau pusat pelayanan kesehatan. Pada gilirannya, bukan saja menjadi tempat untuk melayani orang sakit tapi juga menjadi semacam universitas kedokteran dalam istilah sekarang dan dilengkapi dengan perpustakaan yang berisi berbagai referensi medis.
Kontribusi ini terhitung fantastis karena rumah sakit yang pertama kali dibangun di Eropa (tepatnya di Paris), baru sembilan abad kemudian.
Hal yang patut diungkap juga adalah pelayanan dokter-dokter rumah sakit dalam peradaban Islam saat itu begitu lembut dan manusiawi. Siapa pun yang sakit –apa pun agamanya—pasti cepat ditangani dengan pelayanan prima.
Ini berbanding terbalik dengan pelayanan Rumah Sakit yang pertama kali dibangun di Eropa (Prancis) di mana pasien tidak ada kamar khusus, semua dijadikan satu, campur baur meski berbeda penyakit.
Demikianlah, kisruh BPJS bukan masalah milik BPJS saja. Masalah ini butuh solusi komprehensif yakni pemimpin yang amanah dan sistem sahih yang menerapkan solusi Islam agar polemik BPJS terselesaikan. Di sinilah urgensi khilafah, negara yang menerapkan aturan kesehatan yang benar-benar melayani. Waallahu a’lam bishshawab.[MNews]