Menggugat Kewajiban Jilbab berarti Melawan Alquran dan Para Ulama Salaf

Oleh: Dedeh Wahidah Achmad

MuslimahNews.com, FOKUS – Muslim Indonesia kembali dihebohkan dengan berita yang diangkat berbagai media, di antaranya tempo.co mengabarkan istri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengatakan bahwa perempuan muslim tidak wajib untuk memakai jilbab.

Ia mengakui bahwa setiap muslimah tidak wajib untuk mengenakan jilbab karena memang begitu adanya yang tertulis di Alquran jika memaknainya dengan tepat. “Enggak juga (semua muslimah harus memakai jilbab), kalau kita mengartikan ayat dalam Alquran itu secara benar,” kata Sinta.

Selama ini ia berusaha mengartikan ayat-ayat Alquran secara kontekstual bukan tekstual. Sinta juga mengakui bahwa kaum muslim banyak yang keliru mengartikan ayat-ayat Alquran karena sudah melewati banyak terjemahan dari berbagai pihak yang mungkin saja memiliki kepentingan pribadi.

Pernyataan tersebut bukan semata ujaran tanpa makna yang menyertainya. Paling tidak ada tiga makna, yakni:

Pertama, kedustaan nyata mengatakan bahwa kewajiban jilbab tidak tertulis di dalam Alquran . Padahal istilah “jilbab” dalam Alquran terdapat kata tersebut sekalipun dalam bentuk pluralnya, yaitu “jalaabiib”.

Ayat Alquran yang menyebut kata “jalaabiib” adalah firman Allah Swt. (artinya),”Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin,’Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (Arab : yudniina ‘alaihinna min jalaabibihinna). (QS Al Ahzab [33] : 59).

Baca juga:  Propaganda Antijilbab, Upaya Mendistorsi Ajaran Islam (Bagian 1/2)

Imam Al Qurthubi mengatakan, “Kata jalaabiib adalah bentuk jamak dari jilbab, yaitu baju yang lebih besar ukurannya daripada kerudung (akbar min al khimar). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa jilbab artinya adalah ar ridaa` (pakaian sejenis jubah/gamis). Ada yang berpendapat jilbab adalah al qinaa’ (kudung kepala wanita atau cadar). Pendapat yang sahih, jilbab itu adalah baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub alladzy yasturu jamii’ al badan).” (Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, 14/107).

Sedangkan Imam Ibnu Katsir menyebutkan, “Jilbab adalah rida‘ (selendang untuk menutupi bagian atas) yang dipakai di atas khimar. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Al Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An Nakha’i, Atha’ Al Khurasani, dan selain mereka.” (Tafsir Ibni Katsir, 6/481).

Dari makna jilbab yang disampaikan kedua ulama tersebut dapat dikatakan bahwa dalam Alquran ada perintah kepada perempuan muslimah untuk memakai jilbab, yakni mengenakan kain untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.

Kedua, mencerminkan sikap lancang terhadap ulama terdahulu. Para ulama salaf tidak ada beda pendapat terkait kewajiban menutup aurat dengan mengenakan jilbab. Para pewaris para Nabi ini sepakat (berijmak’) bahwa berjilbab itu wajib.

Baca juga:  Cara Islam Cegah Perzinaan Produk Kapitalisme Sekuler

Di antaranya adalah para ulama pengikut Imam Syafi’iy yang lebih dikenal dengan Syafi’iyah, menurut mereka aurat perempuan adalah seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan (Al Majmu’ Syarhil Muhadzab, (3/122). Minhajuth Thalibin, (1/188).

Pendapat mereka tentu saja bukan tanpa dalil. Banyak nas yang dijadikan hujjah baik dari Alquran maupun dari hadis sahih, diantaranya adalah firman Allah ta’ala:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya,” (QS. An Nur: 31).

Yang dimaksud dengan ‘kecuali yang biasa nampak padanya’ menurut para ulama tafsir adalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat karena kebutuhan yang menuntut keduanya untuk ditampakkan (Al Iqna’, (1/221)).

Menurut ulama Syafi’iyah seluruh tubuh perempuan kecuali muka dan telapak tangan adalah aurat sehingga harus ditutupi kapan saja seorang perempuan bertemu dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Dan pada saat itulah mereka wajib memakai jilbab dan khimar.

Ketiga, pernyataan tersebut merupakan pendapat yang menyesatkan terkait metode menafsirkan Alquran. Untuk memahami hukum yang terkandung dalam Alquran tidak cukup dengan sekadar mengetahui arti kata-katanya saja. Juga tidak bisa hanya dengan melihat konteksnya semata.

Baca juga:  Moderasi Islam di Tengah Pandemi, Lebih Ganas dari Virus Corona

Dibutuhkan pemahaman yang mendalam dan komprehensif supaya menghasilkan penetapan hukum yang sesuai dengan tuntutan Pembuat hukum, Dialah Allah yang mewahyukan Alquran.

Karenanya, untuk menafsirkan ayat-ayat Alquran tidak boleh sembarangan, dan diperlukan kemampuan khusus yang hanya dimiliki oleh ulama yang berkompeten di bidang tafsir.

Di antara syarat yang harus dimiliki adalah seperti disampaikan Imam al-Zarkasyi ketika beliau memaknai istilah tafsir, yakni: “Pengetahuan yang digunakan untuk memahami Kitab Allah yang diturunkan kepada Muhammad, pengetahuan tentang makna-maknanya, tentang bagaimana mengeluarkan hukum dan hikmah di dalamnya. Caranya dengan memahami ilmu bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Bayan, Ushul Fiqh, Ilmu Qiraat, Ilmu Asbabun Nuzul, dan Nasikh dan Mansukh.”

Penutup

Hendaklah kaum muslim waspada terhadap upaya-upaya yang akan menjauhkan umat dari keterikatan terhadap syariat Islam. Salah satu caranya dimulai dengan mengotak-atik nas-nas syariat dan ditafsirkan dengan metode yang salah, tidak mengikuti kaidah yang sudah disepakati para ulama salaf.

Semoga kita semua dilindungi Allah dari makar yang dibuat mereka dan ditunjukkan Nya pada jalan yang telah dicontoh Baginda Rasul saw., Sahabat beliau serta para ulama yang mengikuti minhajnya, aamiin. Wallahu A’lam. [MNews]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.