Menyongsong Sang Khalifah bagi Kemuliaan Guru
Oleh: Noor Afeefa (Pemerhati Kebijakan Pendidikan)
MuslimahNews.co, FOKUS — Hari Guru tahun ini terasa berbeda. Sang menteri milenial menyapa guru dengan kalimat penuh empati dan harapan. Teks pidatonya viral di media sebelum dibacakan dan mendapatkan sambutan beragam.
Sebagian besar menaruh harapan besar adanya perubahan signifikan pada kualitas pendidikan. Sebagian lagi justru nyinyir karena Nadiem tak menyinggung nasib guru honorer. Mereka pun tak mudah percaya pada janji-janji. Kebiasaan bohong rezim ini tak bisa dipungkiri.
Berikut sebagian kutipan surat Nadiem untuk para guru:
“Anda ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi waktu Anda habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas. Anda tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan. Anda ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan.”
Guru mana pun bisa tersentuh dengan kalimat penuh empati itu. Namun, apalah arti empati jika tak ada solusi. Sebab, itulah sejatinya janji yang tak pasti ditepati. Perubahan mungkin akan terjadi, tapi diyakini tak signifikan dan sesuai harapan pendidikan.
“Saya tidak akan membuat janji-janji kosong kepada Anda. Perubahan adalah hal yang sulit dan penuh dengan ketidaknyamanan. Satu hal yang pasti, saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia. Namun, perubahan tidak dapat dimulai dari atas. Semuanya berawal dan berakhir dari guru. Jangan menunggu aba-aba, jangan menunggu perintah. Ambillah langkah pertama. Besok, di mana pun Anda berada, lakukan perubahan kecil di kelas Anda.”
Sebuah paradoks dimunculkan. Bagaimana mungkin guru harus memulai langkah (perubahan kecil) ketika berbagai problem yang dihadapi–seperti disampaikan Menteri–nyata-nyata menghambat langkah tersebut?
Nadiem memahami sebagian persoalan guru, tapi beretorika dan mengembalikannya kepada guru. Tentu sangat disayangkan ketika dinyatakan bahwa perubahan tidak dapat dimulai dari atas. Padahal banyak sekali kendala dan problem pendidikan justru datangnya dari atas, dari sistem dan aturan yang dibuat negara. Mengapa Menteri tidak menyadari hal ini?
Mengurai Problem
Jasa guru, siapa pun tak dapat memungkiri. Namun berbagai problem justru melilit sosok penentu kualitas generasi ini. Tak selayaknya guru hidup merana padahal pengorbanannya tiada tara. Tak selayaknya pula guru dililit berbagai kendala kompetensi padahal tugasnya sangat strategis, mencetak generasi.
Tak terhitung lagi keluhan dari para guru honorer yang digaji hanya ratusan ribu rupiah per bulan. Itu pun habis untuk biaya transportasi. Hanya tersisa sedikit untuk menutup biaya makan.
Maka pantaslah netizen berkomentar nyinyir ketika membandingkan staf khusus presiden yang bergaji 51 juta dengan nasib guru honorer. Perbedaan yang sangat fantastis seakan negara tak peduli dengan jasa guru. Begitu mudahnya mengeluarkan angka puluhan juta untuk staf khusus yang baru saja dibentuk dibandingkan guru honorer yang sudah belasan bahkan puluhan tahun mengabdi.
- Baca juga: Ironi Gaji Abdi Negara di Sistem Demokrasi
Di tengah kondisi miris tersebut, ternyata Indonesia pun juga kekurangan guru. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), kekurangan guru lebih dari 870 orang per 31 Desember 2018. Bahkan menurut versi PGRI bisa mencapai 1,1 juta guru hingga Agustus 2019 ini.
Kekurangan guru lebih banyak disebabkan oleh banyaknya guru ASN yang pensiun di samping bertambahnya sekolah baru. Sementara pemerintah tak mampu mengangkat ASN baru sesuai kebutuhan. Apalagi pemerintah juga melakukan moratorium pengangkatan guru.
Kekurangan guru yang akhirnya ditutup dengan guru honorer justru menambah masalah, sebab upah mereka amat minim.
Tak hanya soal jumlah, penyebarannya pun bermasalah. Di beberapa daerah terpencil problem kekurangan guru akhirnya disiasati dengan sekolah multigrade (kelas rangkap). Tentu saja efektifitas pendidikan dengan model ini menjadi sangat berkurang. Kualitas output pendidikan kembali menjadi taruhannya.
Di sisi lain, animo masyarakat terhadap pendidikan tinggi keguruan sebenarnya cukup tinggi. Maka tentu sangat ironis ketika ada problem kekurangan guru, pemerataannya, hingga kesejahteraannya di tengah berlimpahnya lulusan pendidikan tinggi keguruan. Sumber daya banyak, namun mereka tak dapat mengaplikasikan ilmunya dan berkiprah untuk memajukan pendidikan.
Di samping beberapa problem tersebut, Indonesia juga memiliki PR besar seputar kompetensi guru. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, rata-rata nasional hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2018 hanya mencapai sekitar 53,02 atau berada di bawah standar kompetensi minimal yang ditetapkan sebesar 55,00 dan maksimal 100. Tentu memprihatinkan, meski UKG hanya fokus mengidentifikasi kemampuan pedagogik dan profesional saja.
Kebijakan populis Presiden SBY yang mengangkat 1,1 juta honorer (sebagiannya guru) tanpa tes diduga turut menyumbang rendahnya kompetensi guru. Jadi, persoalan kompetensi (kualitas) ternyata juga berhubungan erat dengan problem jumlah (kuantitas).
Selama ini, jika kuantitas naik maka kualitas menurun, begitu pun sebaliknya. Padahal pendidikan memerlukan kualitas dan kuantitas yang baik. Mirisnya, hingga saat ini negara tak memiliki solusi. Masalah guru terus terkatung-katung.
Pemerintah mengklaim telah memberikan anggaran cukup besar bagi sektor pendidikan (20% dari APBN) atau sebesar Rp492,5 triliun. Angka ini tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kenyataannya, anggaran tersebut masih kurang.
Keterbatasan pengangkatan guru honorer menjadi ASN di antaranya juga karena dana. Demikianlah, anggaran menjadi salah satu penyebab problem guru.
Efisiensi anggaran yang dianut pemerintah (melalui sistem anggaran berbasis kinerja) menjadikan sekolah tak mampu membiayai berbagai keperluan pendidikan. Upaya meningkatkan mutu banyak terkendala.
Kondisi ini tentu sangat rawan dimainkan oleh swasta (korporasi). Sehingga upaya kapitalisasi pendidikan pun kian nampak, utamanya di pendidikan vokasi yang memang butuh banyak biaya.
Problem kekurangan guru, pemerataan, dan kesejahteraannya juga terkendala oleh ketidaksinkronan kebijakan pemerintah daerah dengan pusat. Sebab, meski pendidikan menjadi urusan pemerintah, namun pemerintah telah membagi kewenangan antara pusat dan daerah. Bahkan kewenangan pemerintah pusat telah dikurangi, sedangkan pemerintah daerah diperbesar. Ini adalah konsekuensi dari sistem otonomi daerah.
Kedua hal tersebut–minimnya anggaran (kemiskinan) dan otonomi daerah–merupakan produk dari sistem kapitalis yang diterapkan negara. Dengan demikian, kapitalisme merupakan biang rusaknya tata kelola pendidikan. Sistem rusak dan merusak inilah yang melahirkan berbagai problem kekurangan guru, pemerataan, kesejahteraan hingga kompetensi guru.
Karenanya, selama kapitalisme digunakan untuk mengelola negara dan pendidikan maka guru akan sulit untuk keluar dari masalah.
Meski menteri berganti. Meski perubahan kecil bisa dicoba dilakukan guru di kelas. Guru akan terus terbebani dengan segudang problem. Hari Guru hanya menjadi hiburan sesaat, yakni ketika para siswa mengapresiasi pengorbanannya. Tentu saja, itu semua tidaklah cukup.
Jaminan Khilafah
Khilafah dengan sistem ekonomi Islam yang diterapkannya, sesuai ketentuan syariat, menetapkan anggaran pendidikan berbasis baitulmal dengan sifat mutlak. Baitulmal adalah institusi khusus pengelola semua harta yang diterima dan dikeluarkan negara sesuai ketentuan syariat.
Negara memiliki kemampuan finansial memadai untuk pelaksanaan berbagai fungsi pentingnya; yang dalam hal ini penjamin kebutuhan pokok publik berupa pendidikan gratis berkualitas termasuk kebutuhan terhadap guru dengan gaji yang menyejahterakan dan memuliakan.
Bersifat mutlak, maksudnya adalah ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pembiayaan pelayanan, pendidikan wajib diadakan negara. Bila dari pemasukan tetap/rutin seperti dari harta milik umum berupa barang tambang yang jumlahnya melimpah tidak terpenuhi, Islam memiliki konsep antisipasi berupa pajak temporer yang dipungut negara dari orang-orang kaya sejumlah kebutuhan anggaran mutlak.
Khilafah juga bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan di daerah. Khilafah tidak mengenal otonomi daerah yang kerap menjadikan kebijakan daerah tumpang tindih dengan pusat, atau saling berlepas tanggung jawab antara pusat dengan daerah.
Sebagai kepala negara, khalifah memastikan kebijakannya terwujud sampai ke daerah. Tentunya dengan tujuan pendidikan dan sistem pendidikan yang sahih berlandaskan pada akidah Islam.
Sistem Khilafah sangat memperhatikan guru dengan memberi gaji yang sangat layak. Hal ini diabadikan oleh tinta emas sejarah peradaban Islam.
Seperti Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khaththab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas atau sekitar 31 juta rupiah dengan kurs sekarang). Demikianlah, kesejahteraan guru di masa Khilafah benar-benar nyata.
Sistem kehidupan Islam sebagai wujud pelaksanaan syariat Islam secara kafah dalam bingkai khilafah juga menjaga atmosfer keimanan di masyarakat. Siapa pun akan menghargai profesi guru.
Para guru menyadari betul tugasnya sebagai pendidik, sehingga tidak mempersoalkan di mana pun mereka harus mendidik karena yang dikehendaki adalah kebaikan dari Allah Swt.. Problem pemerataan guru pun amat mudah diwujudkan dalam khilafah. Terlebih perhatian dari negara juga sangat baik.
Walhasil, khilafah memang layak menjadi penantian para guru. Kemuliaan guru akan terpancar karena penerapan syariah Islam secara kafah di ranah pendidikan khususnya dan negara pada umumnya. Semoga kehadirannya segera terwujud. Aamiin. [MNews]