Dakwah Ramah untuk Halau Radikalisme?
Menghentikan radikalisme menjadi tugas utama yang diberikan Presiden Jokowi pada kabinetnya. Namun bagaimana teknisnya, menjadi wacana tersendiri yang diperdebatkan banyak kalangan.
Oleh: Arini Retnaningsih
MuslimahNews.com, FOKUS — Anggota Komisi VIII dari FPKB Maman Imanulhaq menilai di tengah masifnya informasi yang masuk, dakwah yang ramah mampu halau radikalisme.
Menurutnya umat harusnya dikembalikan pada gerakan dakwah yang literalistik, pada referensi, dan berdasarkan atas dalil dan realitas kebutuhan masyarakat. Pihaknya berharap pada gerakan dakwah melalui ormas keislaman. (harakatuna, 8/11/2019)[1]
Melihat rekam jejak Maman Imanulhaq sebagai pegiat pluralisme agama,[2] kita bisa menebak ke arah mana yang dia maksud sebagai dakwah ramah.
Dakwah ramah menurutnya adalah pertama, dakwah kepada pluralisme, tidak menyalahkan apalagi mengafirkan agama lain. Kedua, Dakwah kepada toleransi, yaitu menerima perbedaan tanpa memandang diri sendiri sebagai pemilik kebenaran tunggal. Ketiga, dakwah pada ibadah dan akhlak, serta menjauhkan diri dari Islam politik. Dan keempat, dakwah pada nasionalisme serta menolak seruan dakwah Islam ideologis.
Dakwah Ramah vs Dakwah Haq
Betul, Islam memerintahkan umatnya untuk melakukan dakwah dengan cara yang ramah, yaitu dakwah yang mengandung hikmah dan kelembutan, menyentuh perasaan, dan membangkitkan kesadaran.
Allah Swt. berfirman,
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (Islam) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (TQS An-Nahl: 125)
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (TQS Ali ‘Imran: 159)
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai berikut:
Allah Swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya—Nabi Muhammad saw.—agar menyeru manusia untuk menyembah Allah Swt. dengan cara yang bijaksana.
Jika terhadap orang-orang yang dalam rangka menyeru mereka diperlukan perdebatan dan bantahan, maka hendaklah hal ini dilakukan dengan cara yang baik. Yaitu dengan lemah lembut, tutur kata yang baik, serta cara yang bijak.
Ayat ini sama pengertiannya dengan ayat lain yang disebutkan oleh firman-Nya:
وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
“Dan janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka … “ (TQS Al-‘Ankabut: 46) hingga akhir ayat.
Allah Swt. memerintahkan Nabi saw. untuk bersikap lemah lembut, seperti halnya yang telah Dia perintahkan kepada Musa dan Harun, ketika keduanya diutus oleh Allah Swt. kepada Fir’aun, yang kisahnya disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (TQS Thaha: 44)
Inilah dakwah yang ramah dalam Islam, yaitu memilih cara penyampaian yang baik, bijak, dan lembut. Alih-alih menyampaikannya dengan paksaan, dengan kata-kata kasar, apalagi menghujat sesama muslim yang memiliki pemahaman yang berbeda.
Sementara dakwah dengan cara memersekusi ulama, membubarkan pengajian yang tidak sepaham, maka yang seperti ini sudah keluar dari koridor dakwah billati hiya ahsan.
Namun perlu diperhatikan bahwa dakwah ramah seperti diajarkan Allah Swt. dalam QS An-Nahl: 125 ini bukan berarti dakwah pada pluralisme, yang toleransinya melampaui batas-batas akidah. Bila sudah melampaui batas akidah, maka dakwah Rasulullah saw. bisa menjadi tegas.
Dikutip dari buku The Great Episodes of Muhammad SAW (Said Ramadhan al-Buthy, 2017), setelah mendengarkan dakwah dan penjelasan Nabi Muhammad saw. tentang Islam, utusan Bani Tsaqif bersedia memeluk Islam.
Kendati demikian, mereka mengajukan permintaan kepada Nabi Muhammad agar Latta, berhala yang pernah disembah penduduk Tsaqif, tidak dihancurkan dalam kurun waktu tiga tahun ke depan.
Nabi Muhammad saw. langsung menolak permintaan itu dengan tegas. Mereka lantas memangkas waktunya menjadi dua tahun. Nabi juga menolak.
Tidak menyerah, mereka mengajukan lagi permohonan kepada Nabi Muhammad saw. agar Latta tidak dihancurkan hingga sebulan lamanya terhitung sejak mereka tiba di Madinah. Lagi-lagi Nabi menolak. Nabi Muhammad kemudian mengirimkan utusan yang dipimpin Khalid bin Walid ke Tsaqif untuk menghancurkan berhala Latta di Tsaqif.
Begitu pun dakwah yang ramah, tidak menoleransi kemaksiatan. Pada sebuah riwayat yang sahih dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha diceritakan bahwa orang-orang Quraisy merasa belas kasihan terhadap seorang wanita dari Bani Makhzum yang telah mencuri.
Mereka berkata, “Tak ada seorang pun yang berani membicarakan tentang pembelaannya (terhadap wanita tersebut) kepada Rasulullah saw melainkan Usamah bin Zaid, yang sangat dikasihi Rasulullah saw..”
Maka Rasulullah saw. bersabda, “Apakah engkau (Usamah) memberi pembelaan bagi pelanggaran terhadap salah satu batas-batas Allah?!” Kemudian beliau berdiri dan berkhotbah lalu bersabda, “Wahai sekalian manusia, tidaklah orang-orang sebelum kalian sesat melainkan karena apabila seorang yang mulia mencuri, mereka membiarkannya. Sedangkan apabila seorang yang lemah mencuri, mereka tegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, kalaulah seandainya Fatimah binti Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR Bukhari)[3]
Dakwah ramah tidak berarti tidak boleh marah. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Mas’ud Al Anshari radliyallahu ‘anhu, dia berkata, “Seorang laki-laki berkata (kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam), ‘Wahai Rasulullah, hampir saja aku tidak mengerti salat kami yang diimami oleh si fulan karena sangat panjang.‘.” Maka aku (perawi) tidak pernah melihat Nabi saw. marah dalam menasihati yang lebih keras daripada hari itu.
Beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah membuat orang lari. Maka barang siapa salat mengimami manusia, hendaklah dia memperingan (salatnya) karena di antara mereka ada orang yang sakit, lemah, dan orang yang memiliki kebutuhan.” (HR Bukhari)
Al ’Allamah Al ’Ainy berkata dalam mengomentari hadis di atas, “Pada hadis ini terdapat makna yang menunjukkan tentang bolehnya marah karena perkara-perkara agama yang diingkari.” (‘Umdatul Qari’ 2/107)
Sikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah diperlakukan kepada orang yang menentang al-haq dan menampakkan kefasikan dan kejelekannya secara terang-terangan.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia membutuhkan bujuk rayuan dan sikap lemah lembut tanpa kekerasan saat mereka diajak kepada kebaikan kecuali seorang yang menentang (Al-Haq) dan menampakkan kefasikan beserta kejelekannya secara terang-terangan. Maka wajib atasmu mencegahnya (dengan keras) dan mengumumkannya (di hadapan khalayak ramai), karena dahulu dikatakan bahwa tak ada kehormatan bagi seorang yang fasik. Oleh sebab itu orang yang seperti ini tak ada kehormatan baginya.” (Al Amru bil Ma’ruf Wa An Nahyu ‘Anil Munkar, Al Khallal halaman 47).
Allah juga telah mengizinkan untuk bersikap keras dalam dakwah kepada orang-orang yang zalim. Firman-Nya dalam QS Al Ankabut: 46,
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
“Dan janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang terbaik kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka ….”
Dengan demikian jelas bahwa dakwah ramah adalah dakwah dengan menggunakan cara yang sebaik-baiknya dalam menyerukan Islam dan penerapannya. Sama sekali bukan dakwah kepada pluralisme, toleransi yang kebablasan, atau hanya menyampaikan sebagian hukum Islam dan menyembunyikan sebagiannya.
Dengan kata lain, dakwah yang telah ditentukan oleh Rasulullah saw. adalah dakwah ila al haq; sedangkan kelembutan, keramahan, dan sikap yang baik dalam dakwah adalah cara yang dianjurkan dalam menyampaikan konten dakwah. Hanya sekadar cara, bukan kontennya itu sendiri.
Karena itu, konten-konten haq dalam pandangan Islam, seperti meyakini kebenaran hanya dalam Islam, Islam politik, kewajiban berhukum pada hukum Islam, dan wajibnya menerapkan Islam dalam institusi negara khilafah, tetap menjadi konten dakwah yang harus disampaikan.
Jangan sampai kita hanya bicara tentang ibadah dan akhlak, sehingga membuat Islam kehilangan ruhnya, mati karena tidak diterapkan dalam kehidupan. [MNews]
[1] https://www.harakatuna.com/halau-radikalisme-dengan-penguatan-dakwah-ramah.html
[2] https://radarcirebon.com/kang-maman-bawa-pluralisme.html, https://fahmina.or.id/kiai-maman-dibully-kita-jangan-diam/
[3] Dalam Kitabul Hudud bab Karahiyah Syafaah Fil Hadd Idza Rufi’a Ilas Sulthan hadis nomor 6778, 12/87).