Masifitas GWoT (Global War on Terrorism) di Indonesia
“Semasif apapun makar yang disusun negara penjajah dan diamini oleh rezim-rezim pengekor di negeri-negeri muslim, siapa yang sanggup memadamkan cahaya Islam?”
Oleh: Pratma Julia Sunjandari
MuslimahNews.com, ANALISIS — Indonesia Jelas masih berada dalam radar GWoT (Global War on Terrorism). Setelah peledakan bom di Polrestabes Medan (13/11/2019), tiba-tiba polisi menuai prestasi dengan menangkap 74 terduga teroris yang tersebar di Aceh, seantero Jawa, hingga Kalimantan Timur.
Sebelumnya, 23 orang yang ditangkap di Sumatera Utara dan Aceh dinyatakan sebagai bagian Jamaah Ansharut Daulah (JAD). JAD disebut berafiliasi dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dan dianggap bertanggung jawab atas serangan Januari 2016 di Jakarta yang menewaskan 8 orang termasuk para penyerang.
Departemen Luar Negeri AS telah menetapkan JAD sebagai kelompok teroris pada 10 Oktober 2017. Departemen Keuangan AS turut mengumumkan sanksi-sanksi terhadap orang-orang Indonesia yang berafiliasi pada ISIS.
Seperti Bahrum Syah–yang mengirim dana untuk para militan di Indonesia dari Suriah– dan mentornya Aman Abdurrahman–yang dari penjara merekrut militan untuk tujuan ISIS dan melakukan serangan-serangan–.[1]
Indonesia dianggap menjadi “lokus” (tempat) yang sesuai untuk memfabrikasi “perkembangan terorisme”. Bukan hanya sekadar reputasi jumlah muslim terbesar di dunia, namun juga mengingat perkembangan Islam politik tumbuh subur menjelang akhir kekuasaan rezim Orde Baru.
Apalagi kampanye GWoT yang dicanangkan George W. Bush sejak peristiwa 9/11, menjadikan negara pengekor seperti Indonesia tak akan berani mengambil risiko dicap sebagai “you are with terrorists”.
Pada hari yang sama saat, Bush berpidato di depan Kongres AS (20/9/2001)[2], Presiden Megawati menemuinya di Ruang Oval, Gedung Putih, Washington DC untuk menegaskan posisi Indonesia sebagai penentang aksi terorisme.[3]
Karena itu, mudah bagi Indonesia untuk melaksanakan Resolusi 1377 Dewan Keamanan PBB tertanggal 12 November 2001 tentang deklarasi memerangi terorisme secara internasional. Resolusi itu menjadi legitimasi yang mengikat negara peratifikasinya untuk turut masif melancarkan “War on Terrorism”.
Kejadian bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang–sebagian besar orang asing–sekalipun dianggap janggal oleh beberapa pengamat intelijen dan keamanan, telah menjadi momentum untuk memaksa Indonesia selalu dalam pantauan agenda besar ini.
AS dan Australia berperan penting dalam meningkatkan kemampuan-kemampuan kontraterorisme Indonesia setelah peristiwa itu.[4] Apalagi dampak “teori balon” turut menyeret veteran atau simpatisan perang ISIS untuk melancarkan aksi tunggal (lone wolf) terorisme di Indonesia.
Teori itu terjadi karena tekanan kepada ISIS di Suriah berimplikasi pada aksi-aksi radikal kanan di tempat lain. Dengan kemajuan teknologi, mereka mudah terhubungkan melalui jaringan global[5] sebagaimana yang selama ini dituduhkan pemerintah.
Hari ini, AS berjanji tidak akan meninggalkan usaha membasmi ISIS, sambil mendorong para sekutu untuk lebih bertanggung jawab melawan veterannya. Menlu AS Mike Pompeo (14/11/2019) memulai pertemuan koalisi untuk terus mengalahkan ISIS, sekalipun pemimpinnya Abu Bakar al-Baghdadi telah dinyatakan tewas (31/10/2019).
Pasukan yang didukung AS di Suriah membebaskan wilayah terakhir yang dikuasai ISIS pada akhir Maret, mengakhiri kekhalifahan yang dideklarasikan.[6] Namun, ISIS masih dipakai sebagai common enemy karena jaringan ISIS di Irak dan Suriah berupaya merebut kembali sejumlah wilayah yang sumber minyak. Demi semua kepentingan itu, sekutu AS, Sekjen NATO Jens Stoltenberg menyuarakan perjuangan belum selesai.[7]
Tak hanya ISIS. Fakta bahwa ISIS telah menjadi target utama Barat, membuat Al Qaeda berkesempatan mengubah diri dan menjadi jaringan teror yang lebih terdesentralisasi. Dalam Laporan Tahunan tentang Terorisme 2018, Deplu AS menyatakan afiliasi Al Qaeda di Yaman telah berhasil merekrut anggota baru, melancarkan serangan, dan mengancam Barat.[8]
AS belum hendak meninggalkan perang melawan Islam. Pre-emptive strike tetap dilakukan, mengingat tujuan menghalangi kebangkitan Khilafah dan sekaligus merebut wilayah yang kaya dan strategis.
Sadar jika ongkos program ilusi ini amat besar, Presiden Trump meminta Kongres menambah USD24,9 miliar untuk Department of Defense (DoD) dan USD5,1 miliar untuk Overseas Contingency Operations (OCO) demi memerangi “Kelompok Negara Islam”[9].
Anggaran yang dikeluarkan AS untuk mengukuhkan supremasinya sebagai negara pertama dalam “perang” melawan terorisme dan ekstremisme ini nyaris “unlimited budget”. Karena itu di masa Barrack Obama, AS menyediakan USD5 M untuk mendanai badan intelijen internasional dan penyelenggaraan hukum demi melumpuhkan jaringan teroris di kepulauan Indonesia hingga Afrika.
Uni Eropa juga menyokong 500 juta euro untuk proyek long term khusus kepada Densus 88[10]. Dana itu memaksa Indonesia untuk mematuhi komitmen GWoT. Bahkan hanya beberapa bulan setelah kasus 9/11,
Indonesia telah memberikan laporan rutin kepada Counter Terrorism Committee (CTC) –organ PBB- sejak 21 Desember 2001 dalam kerangka UN Global Counter-Terrorism Strategy (UNGCTS).
Tak heran hingga saat ini dalam pertemuan Arria-Formula Dewan Keamanan PBB (DK PBB) di Markas Besar PBB, New York (12/11/2019) yang bertemakan Challenges to Radicalization in Prisons, Indonesia menyampaikan pengalaman dalam memperlakukan napiter (narapidana teroris) dan upaya pencegahan radikalisasi di LP.
Program itu terjadi atas kerja sama Indonesia, Belgia dan United Nations Office on Drugs and Crimes (UNODC). Andalannya, melibatkan pemuka agama, penyintas serangan bom, mantan narpiter, hingga program pelatihan life management dan kewirausahaan bagi napi teroris.[11]
Pada pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, komitmen GWoT ditunjukkan dengan pengangkatan Wapres Ma’ruf Amin sebagai komando koordinasi penanganan terorisme. Ma’ruf telah memanggil Menag, Mendagri, Mendikbud dan Kepala BNPT untuk membahas strategi penanganan terorisme. Sosok Ma’ruf yang ulama dianggap Mendagri Tito Karnavian paling tepat memimpin proyek itu[12].
Bagaimana pun juga, komisi itu akan berhadapan dengan kaum muslimin dan ajaran Islam. Ma’ruf cukup tahu cara menghadapi ‘saudara-saudaranya’ tersebut. Karena itu, ada sementara pihak yang beranggapan bila posisi itu amat tepat untuk melakukan demonisasi Islam.
Pemerintah telah menyiapkan APBN 2019 dengan mengalokasikan Rp505,5 miliar untuk dana deradikalisasi sebesar Rp169 miliar dan Rp122 miliar untuk penindakan teroris.
Sekalipun demikian, isu terorisme tidak selalu ‘berhasil’ untuk menggiring kebencian publik pada Islam, khususnya ajaran jihad dan Khilafah. Betapa banyak aksi teror yang terjadi dengan janggal sehingga kesimpulan publik mengarah pada fabricated isu. Ada hidden agenda yang membuahkan agenda setting untuk mengubah opini publik tentang Islam.
Buktinya, sungguh terang benderang kalimat yang disampaikan Henry Kissinger–mantan Menlu AS, dalam sebuah wawancara November 2004–. Katanya, “… yang kita sebut sebagai terorisme di AS sebenarnya adalah pemberontakan Islam radikal terhadap dunia sekuler, dan terhadap dunia yang demokratis, atas nama pendirian semacam Kekhalifahan.”
Karena itulah, dalam Mapping The Global Future: Report of the National Intelligence Council’s 2020 Project, National Intelligent Council/NIC, yang diterbitkan pada Desember 2004, menjadi catatan jika AS turut menggencarkan terminologi radikalisme.
“Kekhalifahan Baru memberikan contoh bagaimana sebuah gerakan global yang dipicu oleh politik identitas agama radikal dapat menjadi tantangan bagi nilai-nilai Barat sebagai dasar dari sistem global,” demikian salah satu klausul dokumen tersebut.
Bagaimana pun, GWoT ini menjadi pintu masuk untuk deradikalisasi. Pemikiran radikal dianggap sebagai conveyor belt aksi terorisme. Seperti pernyataan Deputi 1 Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT Mayjen TNI Hendri P. Lubis yang menilai paling bahaya adalah radikal dalam pemikiran, sikap, dan tindakan.[13]
Apalagi terorisme tidak sering terjadi seperti perkataan Mahfud MD bahwa insiden bom bunuh diri di Polrestabes Medan bukan karena aparat keamanan kebobolan, melainkan tindak terorisme memang selalu hit and run.[14]
Begitulah posisi Indonesia sebagai negara pengekor. Lebih suka menari mengikuti tabuhan genderang perang AS. Secara tak langsung, pemerintah menganggap yang paling berbahaya justru rakyatnya sendiri, yang distigma dan dimonsterisasi sebagai ekstremis, radikalis, ataupun teroris.
Padahal Indonesia memiliki masalah serius dalam kemandirian hankam sebagaimana diungkapkan Menhan Prabowo di hadapan Komisi I DPR. Minimum Essential Force (MEF) Indonesia hanya 74 persen.
Untuk memenuhi syarat minimal efek deterrent (menangkal) serangan dari luar, angkatan bersenjata harus memiliki MEF 100 persen. Belum lagi industri pertahanan nasional yang belum lepas sama sekali dari kontrol negara lain. [15]
Alih-alih mampu mempertahankan kemandirian pertahanan negara, Indonesia justru sukarela mengamankan kepentingan musuh negara dan musuh Islam. Sedangkan kepada umat Islam –pembayar pajak dominan dan pemilik kekayaan tanah usyuriyah Indonesia- , amat bengis dan kejam.
Atas dalih pengawasan, elite politik berani melontarkan kebijakan untuk membelah umat. Seperti pernyataan Wakil Ketua DPR Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Azis Syamsuddin yang memandang masyarakat wajib berperan aktif untuk melaporkan segala bentuk aktivitas (radikal) yang mencurigakan di lingkungan sekitar.[16]
Ma’ruf Amin turut menyeru masyarakat kembali menghidupkan fungsi RT dan RW di lingkungannya untuk menangkal terorisme sampai RW RT.[17] Mencurigai rakyat pada semua lini, nyatanya telah menjadi karakter rezim.
Justru hal ini mengaburkan ancaman nyata Indonesia, yakni sukarela menyerahkan kedaulatan dan kemandirian bangsa pada AS. Jika bukan penjajahan, apalagi namanya?
Bagaimana pun juga, semasif apapun makar yang disusun negara penjajah dan diamini oleh rezim-rezim pengekor di negeri-negeri muslim, siapa yang sanggup memadamkan cahaya Islam? Ajaran sempurna yang berasal dari Zat Mahatinggi. Tiada faedah pengorbanan, dana, ataupun ketundukan hina mereka jika berujung pada lenyapnya kekuasaan mereka di dunia.
“Dan siapakah yang
lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia
diajak kepada Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
zalim.Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka,
tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir
membencinya.” (QS. Ash-Shaff ayat 7-8). [MNews]
[1] https://www.voaindonesia.com/a/as-tetapkan-kelompok-indonesia-sebagai-organisasi-teroris/3671691.html
[2] https://books.google.co.id/books?id=PNSMqv4UykcC&pg=PA1&lpg=PA1&dq=kalimat+george+bush+either+with+us+terorist&source=bl&ots=suSo3Fvf_I&sig=ACfU3U2ooSZDxPH8LsVPjSUlOjVQoxQuIg&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwis-M2tiPrlAhX0yDgGHbQaAK0Q6AEwBXoECAcQAQ#v=onepage&q=kalimat%20george%20bush%20either%20with%20us%20terorist&f=false
[3] https://www.liputan6.com/global/read/20277/presiden-megawati-indonesia-menentang-terorisme
[4] Ibidem 1
[5] https://jurnalintelijen.net/2016/07/23/terorisme-teori-balon-dan-lone-wolf/
[6] https://www.voaindonesia.com/a/as-berjanji-terus-pimpin-upaya-perangi-kelompok-teror-isis/5167124.html
[7] Ibidem 6
[8] https://www.voaindonesia.com/a/dunia-fokus-pada-isis-al-qaeda-kembali-bangun-kekuatan/5162208.html
[9] https://www.thebalance.com/war-on-terror-facts-costs-timeline-3306300
[10] https://mediaumat.news/amerika-dan-proyek-deradikalisasi/
[11] https://kemlu.go.id/portal/id/read/781/berita/di-forum-pbb-indonesia-suarakan-upaya-deradikalisasi-di-lembaga-pemasyarakatan
[12] https://nasional.kompas.com/read/2019/11/15/20085281/koordinasi-penanganan-terorisme-di-bawah-komando-maruf-amin
[13] https://www.ayobandung.com/read/2019/11/08/69525/bnpt-radikalisme-bukan-pakaian-tapi-
[14] https://www.antaranews.com/berita/1161660/bantah-kebobolan-mahfud-terorisme-selalu-hit-and-run
[15] https://nasional.republika.co.id/berita/q02dkd335/3-pekerjaan-rumah-prabowo-sebagai-menhan
[16] https://nasional.republika.co.id/berita/q0xlqy430/pemberantasan-terorisme-butuh-peran-semua-pihak
[17] https://nasional.kompas.com/read/2019/11/14/10021621/cegah-terorisme-maruf-amin-tak-boleh-suudzon-tapi-perlu-kecurigaan