[Editorial] Di Tangan Rezim Neoliberal, Kran Impor Benar-benar Dol dan Ekonomi pun Kian Ambrol!
“Tentu saja kondisi ini harus segera dihentikan. Jika tidak, Indonesia benar-benar akan ambruk.”
MuslimahNews.com, EDITORIAL — Baru-baru ini media massa termasuk portal diramaikan dengan berita Presiden Jokowi yang dibuat kaget sekaligus mangkel. Pasalnya, Presiden baru tahu bahwa pengadaan cangkul saja ternyata masih impor. Padahal, kondisi neraca perdagangan Indonesia kini sedang terus mengalami defisit alias tekor.
Tak hanya cangkul. Presiden pun geram ketika mengetahui bahwa nilai impor BBM, petrokimia, elpiji, dan avtur juga sangat besar. Bahkan impor BBM menjadi penyumbang terbesar bagi nilai defisit neraca perdagangan.
Presiden menyatakan impor barang-barang seperti ini benar-benar kebangetan dan semestinya tak dilakukan karena barang seperti cangkul bisa dibuat oleh industri UMKM. Dan Indonesia memiliki banyak sumber daya alam yang bisa dikembangkan, misalnya batu bara untuk konversi elpiji dan olahan sawit untuk pengganti avtur.
Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa neraca perdagangan Indonesia per September 2019 mengalami defisit hingga US$160 juta. Posisi ini berbanding terbalik dari kondisi Agustus 2019 yang surplus US$80 juta.
Kondisi seperti ini tentu jadi PR besar. Karena defisit neraca perdagangan dipastikan akan memperberat beban APBN yang selalu dalam kondisi morat-marit akibat minimnya pemasukan dan membengkaknya nilai utang.
Tentu saja kekagetan Presiden menjadi sangat ironis, karena persoalan impor-mengimpor yang di luar kendali ini adalah bagian dari tanggung jawabnya. Apalagi kondisi ini sudah terjadi sejak lama termasuk di periode pertama pemerintahannya.
Saat itu, impor pun terjadi secara jor-joran untuk berbagai barang kebutuhan. Mulai bahan sandang seperti tekstil dan barang fashion lain. Juga berbagai bahan pangan seperti beras, kedelai, bawang, jagung, buah, daging, gula, serta garam. Bahkan air mineral, baju bekas dan berbagai jenis sampah pun deras masuk sebagai barang impor!
Sekitar tahun 2016, Jokowi sempat berjanji akan menghentikan impor pangan sekaligus mengupayakan agar 2018 Indonesia bisa swasembada. Salah satu caranya adalah melalui penyaluran dana desa yang terus ditingkatkan setiap tahunnya. Dengan begitu, Presiden berharap setiap desa bisa membangun infrastruktur, termasuk yang berkaitan dengan penguatan sektor pangan.
Tapi apa mau dikata, janji tinggal janji. Alih-alih bisa meraih swasembada, triliunan dana desa yang dikucurkan ternyata raib entah ke mana bersama puluhan ribu desa fiktif yang dibuat oleh para bawahannya.
Baca: https://www.muslimahnews.com/2019/11/08/horor-desa-siluman/
Sementara akibat kebijakan impor yang “out of control “itu, tak sedikit para pelaku usaha lokal–termasuk para petani–yang terpaksa gulung tikar. Indonesia pun harus rela menerima stigma sebagai tempat buang sampah, sekaligus menerima segala konsekuensi berupa ancaman kerusakan lingkungan yang cost-nya tentu sangat besar.
Di luar bidang pangan, impor pun terjadi pada berbagai jenis bahan bangunan seperti baja, semen, dan besi. Padahal semestinya pembangunan infrastruktur yang sedang jor-joran dilakukan di masa pemerintahannya akan mampu mendongkrak produksi bahan-bahan bangunan tersebut.
Yang terjadi justru sebaliknya. Selain membuka pintu impor bahan-bahan tersebut lebar-lebar, pabrik baja dan semen berkapasitas besar milik perusahaan Cina malah diizinkan berdiri di beberapa tempat di Indonesia. Sementara industri semen dan baja dalam negeri dibiarkan collaps. Menyisakan masa depan suram bagi ribuan pekerja yang dirumahkan.
Inilah yang terjadi pada industri baja Krakatau Steel yang terancam bangkrut karena terus mengalami kerugian. Harian Neraca (28/6/2019) misalnya, menyebut gejala Krakatau Steel bermasalah sudah berlangsung selama tujuh tahun dengan membukukan rugi bersih berkepanjangan. Tercatat sampai kuartal I-2019 total kerugian Krakatau Steel mencapai USD62,32 juta atau ekuivalen dengan Rp878,74 miliar (kurs Rp14.100 per dolar AS).
Selain miss management, kondisi Krakatau Steel ini juga diperparah oleh derasnya arus impor baja dan besi ke Indonesia. Menurut BPS, nilai impor besi dan baja pada Juli 2018 sudah tumbuh 56,55 persen menjadi US$996,2 juta dari periode yang sama tahun sebelumnya.

Ironisnya, serbuan baja-baja impor yang mayoritas datang dari Cina ini ternyata difasilitasi negara. Yakni dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja.
Pemberlakuan Permendag yang diklaim untuk mengurangi waktu bongkar muat di pelabuhan (dwelling time) tersebut, akhirnya justru menjadi celah pengimpor yang ingin mendapatkan bea masuk yang murah dengan mengubah jenis baja impornya. Akibatnya, pasar besi baja dalam negeri dibanjiri barang impor berharga lebih murah.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah memang tak memiliki visi jelas dalam membangun ekonomi Indonesia. Alih-alih menyejahterakan rakyatnya, negara justru terus memberi karpet merah bagi bangsa lain untuk menguasai ekonomi Indonesia, khususnya negara-negara adidaya seperti Cina dan Amerika.
Kalaupun pemerintah seolah peduli, bahkan presidennya mengaku sedih dan meminta agar impor dipersulit seraya meminta para pembantunya mendorong produksi nasional, ini semua nampak hanya sebagai lip service saja. Sekadar untuk merespons protes publik yang mulai melihat situasi ini sebagai sebuah persoalan besar.
Faktanya banyak kebijakan yang justru menunjukkan sebaliknya. Dukungan terhadap produksi barang lokal, termasuk industri barang strategis masih sangat minim.
Kebijakan antisubsidi, termasuk di sektor pertanian, dukungan modal, serta kebijakan terkait tarif bea masuk barang impor, telah memberi beban berat pada para petani dan para pengusaha lokal yang rata-rata bermodal minim untuk bisa maju dan berdaya saing dengan produk impor.
Begitu pun dengan kebijakan yang makin longgar di bidang investasi asing –seperti penghapusan syarat penyertaan IMB dan Amdal– tentu saja akan membuat penguasaan sektor Industri dan profitnya justru mengalir ke luar negeri. Di samping akan menambah persoalan baru berupa makin parahnya kerusakan lingkungan dan penguasaan aset tanah dan bangunan oleh pihak asing.
Kondisi ini juga dipersulit dengan lemahnya bargaining position negara di hadapan tekanan negara-negara asing serta adanya pengaruh kuat para kapitalis (yakni importir kelas kakap) yang kongkalikong dengan para penguasa.
Hingga akhirnya rezim nampak terhalang untuk melakukan kebijakan setop impor. Bahkan dengan mudah meneken izin impor untuk berbagai barang kebutuhan dengan dalih untuk mengendalikan harga akibat stok yang kurang di dalam negeri.
Situasi ini memang sangat niscaya terjadi dan akan terus terjadi manakala rezim tetap bersikukuh menerapkan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal. Karena penerapan sistem ini telah membuat negara terjebak dalam agenda liberalisasi ekonomi dunia yang sesungguhnya disetir oleh negara-negara adidaya.
Dengan dan atas nama pasar bebas, negeri ini dipaksa bersaing di atas ring tinju yang telah di-setting memenangkan negara bermodal tak terbatas. Berbagai perjanjian dagang, kerja sama regional dan internasional, justru menjadi alat ampuh memuluskan penguasaan ekonomi Indonesia oleh kekuatan asing.
Dan ini sangat telanjang. Agenda liberalisasi ekonomi dunia terbukti telah membuat kran impor dan pintu investasi asing di Indonesia, benar-benar dol. Dan ujung-ujungnya berhasil membuat ekonomi Indonesia kian ambrol.
Tak heran jika baru-baru ini muncul pemberitaan soal situasi miris ekonomi Indonesia. ADB melaporkan ada 22 juta orang kelaparan di era kepemimpinan Jokowi. (https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20191106150657-532-446069/adb-laporkan-22-juta-orang-kelaparan-di-era-jokowi).
Diberitakan pula bahwa pengangguran Indonesia tertinggi di Asia Tenggara. (https://www.idtoday.co/2019/10/miris-pengangguran-indonesia-tertinggi.html).
Semua ini tak sesuai janji Presiden. Malah pertumbuhan ekonomi Indonesia diakui terus melambat akibat penurunan produksi nasional. Sampai-sampai Bank Dunia memberi warning khusus soal ini kepada pemerintah Indonesia. (https://m.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/d-4696420/bank-dunia-warning-ekonomi-ri-sri-mulyani-akan-kita-perbaiki).
Namun sayangnya, pemerintah tetap saja berdalih situasi ini terjadi secara global. Dan Indonesia katanya tidak bisa menghindar.

Tentu saja, kondisi ini harus segera dihentikan. Karena jika tidak, maka Indonesia benar-benar akan ambruk dan jatuh pada kekuasaan penuh kekuatan ekonomi pasar global ciptaan negara-negara adidaya. Dan saat itu, Indonesia tak akan pernah bisa bangkit lagi dari keterpurukan.
Hanya saja, upaya mengubah keadaan yang parah seperti ini membutuhkan upaya perubahan yang radikal. Dimulai dari perubahan paradigma berpikir seluruh komponen umat dan para penguasa, dari yang sekuler kapitalistik liberalistik menjadi berparadigma Islam Ideologis.
Paradigma Islam inilah yang akan membuat negara memiliki visi besar dan global untuk keluar dari penjajahan, dan justru memiliki motivasi kuat untuk menjadi negara berdaulat sebagai penebar rahmat bagi seluruh alam.
Terlebih Islam bukan sekedar agama spiritual, tapi agama politis yang memiliki seperangkat aturan untuk merealisasikan visi besar dan global itu. Mulai dari aturan politik, ekonomi, sosial, hukum yang bisa menjadi penopang kebangkitan umat dengan kebangkitan yang ril dan hakiki.
Bahkan aturan-aturan Islam yang sifatnya ritual dan individual pun, menjadi basis bagi pembentukan sumberdaya manusia unggul yang mutlak dibutuhkan untuk membangun peradaban cemerlang hingga yang bersifat material sekalipun.
Inilah yang sudah dibuktikan oleh sejarah peradaban Islam. Dimana umat dan negara mampu menampilkan prototype bangsa yang kuat dan mandiri dalam berbagai hal.
Konsepsi tentang jati diri umat Islam sebagai umat terbaik dan penebar rahmat, sedemikian melekat dan mewujud dalam berbagai bentuk kebijakan negara.
Negara menerapkan politik ekonomi Islam yang memastikan jaminan kesejahteraan bagi orang per orang, bukan dihitung agregat seperti sekarang.
Negara, benar-benar akan berupaya memaksimalkan semua potensi sumber daya yang luar biasa Allah karuniakan atas prinsip kedaulatan dan kemandirian negara sebagaimana yang juga Allah perintahkan.
Ya, Islam memerintahkan agar negara memiliki kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang perindustrian atau produksi kebutuhan barang nasional.
Islam bahkan melarang negara memberi celah sedikit pun kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin di bidang apa pun.
Allah Swt. berfirman,
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS Al-Nisâ’ [4]: 141)
Itulah kenapa, di bidang industri Islam mengharuskan negara melaksanakan sebuah politik industri yang bertumpu pada industri berat atau strategis alias industri perang. Bahkan menempatkan bidang ini di bawah Amirul Jihad.
Karena faktanya strategi industri seperti ini akan memberi multiflyer effect berupa tumbuhnya industri-industri penopang di bidang yang lainnya termasuk industri barang-barang konsumsi alias logistik.
Dan faktanya pula, umat ini mampu mewujudkannya karena negeri-negeri muslim ini telah dikaruniai berbagai kekayaan alam dan sumber daya manusia yang sedemikian berlimpah ruah.
Itulah kenapa kesejahteraan dan kekuatan mampu ditampilkan oleh umat Islam saat hidup di bawah naungan institusi yang konsisten menerapkan Islam.
Umat Islam dan negaranya mampu memimpin sebuah revolusi industri yang berperadaban dan mampu mengangkat harkat martabat manusia sebagaimana tujuan penciptaan, yakni sebagai hamba Allah sekaligus khalifah pemelihara alam.
Justru kekuatan umat itu kian melemah saat negaranya sedikit demi sedikit melepaskan penerapan Islam di berbagai bidang kehidupan. Hingga negeri-negeri muslim hari ini jatuh dalam cengkeraman penjajahan sistem rusak yang selain menghilangkan sisi kemanusiaan juga berdampak pada kerusakan alam.
Para penguasa negeri muslim hari ini, justru jatuh dalam rayuan gombal negara-negara penjajah, yang sudah lama mengkavling tanah-tanah mereka, kekayaan, dan penduduknya sebagai objek eksploitasi dan sasaran kerakusan mereka akan dunia.
Termasuk di antaranya, saat dengan lugu mereka mau menerima advis busuk negara-negara penjajah atas nama teori keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif serta kerja sama-kerja sama perdagangan bebas, sehingga mereka rela hanya berkutat dengan membangun industri “ecek-ecek” semacam industri pariwisata dan industri kreatif yang sampai kapan pun tak akan pernah membuat mereka mampu menjadi negara besar.
Sementara di saat yang sama, industri strategis justru dikuasai oleh negara-negara penjajah. Di mana ironisnya, nyaris seluruh sumber bahan baku, tenaga kerja dan pasar justru diambil dari negeri-negeri muslim!
Sungguh ketiadaan paradigma berpikir Islam ideologis terbukti telah membawa berbagai kemudaratan. Satu-satunya jalan untuk mengembalikan kemuliaan negeri muslim terbesar ini adalah dengan menghadirkan kembali jati diri Islam sebagai sebuah sistem kehidupan alias ideologi dan mencampakkan semua aturan yang bertentangan dengan Islam.
Terutama sistem sekuler kapitalis neoliberal yang hari ini tegak dan dijaga oleh para penguasa yang loyal pada negara-negara penjajah. Wallaahu a’lam bi ash-shawwab. [MNews | SNA]