Membangunkan Indonesia dari Mimpi Menjadi Mitra Potensial AS
“Yang sesungguhnya terjadi adalah perampasan kedaulatan dan penghisapan kekayaan negara-negara lemah atas nama kerja sama mitra potensial.“
Oleh: Endiyah Puji Tristanti, S.Si. (Penulis dan Pemerhati Politik Islam)
MuslimahNews.com, OPINI – Dunia terkoneksi dengan penjajahan global negara-negara besar melalui forum bilateral dan internasional. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-35 tahun 2019 dengan jelas mengungkapkan targetnya untuk memastikan kerja sama dan proyek infrastruktur dalam konteks Indo-Pasifik.
Presiden Indonesia, Joko Widodo bertolak ke Bangkok, Thailand, Sabtu (2/11/2019) untuk menghadiri KTT ASEAN ke-35 tersebut. Tema hajatan ASEAN kali ini “Memperluas Kerja Sama untuk Kesinambungan (Advancing Partnership for Sustainability)“. ASEAN Summit 2019 difokuskan membahas kepastian kemitraan negara anggota ASEAN dan negara lainnya bagi keberlanjutan kemajuan kawasan.

Sementara Presiden Amerika Serikat Donald Trump hanya melalui utusan khusus presiden AS yang juga penasihat keamanan nasional AS Robert O’Brien hadir untuk mengundang para pemimpin ASEAN untuk melakukan pertemuan di Amerika Serikat.
Menteri perdagangan Amerika Serikat (AS), Wilbur Ross segera menampik opini yang beredar bahwa AS kehilangan minat untuk bekerja sama dengan negara Indo-Pasifik.
Bagi AS, Asia Tenggara bahkan merupakan satu-satunya partner dagang regional terbesar di mana volume dagangnya mencapai dua kali lipat dari Eropa atau Amerika Latin.
Hubungan dengan Asia Tenggara–termasuk Indonesia–adalah hubungan yang penting dan harapan hubungan tersebut masih bisa berlanjut. Hal ini disampaikan saat kunjungan ke Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, (6/11/2019).
Ross juga mengatakan bahwa pintu AS terbuka lebar untuk investasi langsung dari bisnis Indonesia. Bahkan, Ross mengundang menteri dan delegasi dari Indonesia untuk datang ke Washington pada Juni 2020 untuk menghadiri USA Investment Summit 2020 atau Konferensi Foreign Direct Investment (FDI) terbesar mereka.
Sebelum datang ke Indonesia, kementerian perdagangan dan delegasi dari AS ini sudah berkunjung ke negara-negara Asia Tenggara lain yaitu India dengan kunjungan ke New Delhi dan Bangalore, Singapura, lalu Sydney dan Canberra Australia.
Adapun Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk Urusan Politik, David Hale mengemukakan tiga elemen yang menjadi dasar implementasi kerja sama Indo-Pasifik bagi Jakarta dan Washington dalam diskusi “Future of Indo-Pacific, #IndonesiaUSA70th, and Beyond” di Kantor Kedutaan Besar AS di Indonesia, Jakarta, Senin (29/4/2019).
Pertama, pertumbuhan ekonomi bagi pihak yang berpartisipasi–termasuk Indonesia dan AS–terutama dengan menggunakan model yang melibatkan sektor swasta seperti AS.
Kedua, tata pemerintahan yang baik sebagaimana apresiasi AS atas Indonesia sebagai salah satu negara Asia Tenggara yang demokratis dengan penduduk yang beragam.
Dan ketiga, AS menilai peningkatan keamanan dalam kerangka kerja sama Indo-Pasifik perlu dipastikan. Pasalnya, kolaborasi kerja sama Indo-Pasifik memerlukan kondisi perbatasan dan keamanan regional yang stabil.
Sebagai Mitra potensial AS, kerja sama dengan Indonesia perlu mengedepankan sikap inklusif dan sentralisasi ASEAN.
Indonesia memegang posisi kunci di Asia Tenggara karena memainkan peran sebagai mitra AS dalam memberantas terorisme, mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan toleransi, serta saling mendorong pertumbuhan ekonomi.
Indonesia sendiri telah menjadi tuan rumah High Level Dialogue on Indo-Pacific Cooperation yang digelar di Jakarta, Rabu 20 Maret 2019. Ini merupakan yang pertama di mana 18 negara duduk dan membahas secara terbuka mengenai pengembangan konsep kerja sama Indo-Pasifik berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, inklusif, dan penghormatan terhadap hukum internasional.
Dihadiri para pejabat tingkat tinggi dari 18 negara kunci di kawasan Indo Pasifik. Yaitu Amerika Serikat, Australia, Brunei Darussalam, Filipina, India, Indonesia, Jepang, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Republik Korea, Cina, Rusia, Selandia Baru, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Masing-masing negara memiliki konsep Indo-Pasifik sesuai dengan versi masing-masing, seperti AS menyuarakan “Free and Open Indo-Pacific” serta Cina yang menjadikan kawasan itu sebagai salah satu perhatiannya dalam konsep “Belt and Road“.
Keterlibatan bisnis AS adalah inti dari tujuan AS untuk menciptakan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Tidak ada negara yang berinvestasi lebih besar di Indo-Pasifik daripada Amerika Serikat. Hingga 2018 saja, AS telah menyalurkan $940 miliar investasi asing langsung untuk memicu pertumbuhan di kawasan.
Selain investasi pribadi, pada 2018 AS telah menguraikan bantuan senilai lebih dari $110 juta berupa dukungan AS untuk proyek-proyek digital, energi, dan infrastruktur untuk membantu menyebarkan kemakmuran di kawasan yang merupakan rumah bagi sepertiga populasi dunia dan empat dari enam ekonomi terbesar di dunia. AS berkomitmen terhadap proyek investasi publik-swasta yang baru di negara-negara di seluruh wilayah ini, termasuk Papua Nugini.
Dari Tsauban Radhiyallahu‘anhu, Rasulullah saw. bersabda,
“Hampir-hampir musuh-musuh ini memperebutkan kalian (umat Islam) -dalam riwayat lainnya: dari seluruh penjuru-, layaknya memperebutkan makanan yang berada di mangkuk.” Seorang laki-laki bertanya: “Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?”
Beliau menjawab: “Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di genangan air dan Allah Ta’ala akan mencabut dari dada musuh-musuh kalian rasa takut kepada kalian serta akan menanamkan ke dalam hati kalian Al-Wahn.”
Seseorang lalu berkata: “Wahai Rasulullah, apa itu Al-wahn?”, beliau menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.”.
(Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad Rahimahullahu Ta’ala, 5/278 dan Abu Dawud Rahimahullahu Ta’ala, 4/111 no.4297)
Maka, cara pandang ideologislah yang benar dan tepat untuk menilai AS dan Cina hari ini–termasuk terhadap negara adidaya lain baik Rusia maupun Eropa–yakni mereka sebagai negara kafir harbi fi’lan. Haram hukumnya menjalin kerja sama bilateral maupun internasional bersama negara-negara ini.
Apalagi kerja sama dalam penjagaan perbatasan sekalipun untuk kepentingan ekonomi masing-masing negara. Sebab jalan penguasaan terhadap negeri Islam menjadi terbuka lebar. Allah Azza wa Jala berfirman yang artinya,
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS Al-Nisâ’ [4]: 141)
Umat Islam harus menjaga perbatasannya sendiri tanpa sedikit pun bergantung kepada asing. Menjaga perbatasan adalah wajib. Bilamana kaum muslimin tidak mampu menjaga daerah perbatasan negara mereka, baik ia tentara atau sipil, maka seluruh kaum muslimin berdosa.
Hal demikian juga akan menyebabkan musuh seenaknya menyelundupkan berbagai komoditas yang dengannya stabilitas perekonomian negara terguncang, seperti narkoba, dan senjata.
Tanpa cara pandang ideologis, musuh juga akan leluasa membangun perangkap kerja sama ekonomi dan politik. Melalui jebakan utang luar negeri dan investasi.
Padahal Allah SWT berfirman,
“Dan persiapkanlah olehmu segala macam kekuatan apa saja yang kamu miliki dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk menggetarkan musuh-musuh Allah dan musuh-musuhmu….” (QS Al-Anfal: 60)
Dahulu Inggris bisa menjadi negara adidaya pada abad 18 hingga menjelang abad 20 M karena Inggris mengalami Revolusi Industri pada dekade abad 18 M.
Begitu pula Khilafah Islamiyah, mampu bertahan menjadi adidaya dunia selama 13 abad karena industri yang dibangunnya diletakkan sebagai industri perang dan alat berat.
Kaidah ushul “maa la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib”, yakni
tidak akan terlaksana suatu kewajiban tanpa sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu hukumnya adalah wajib’.
Artinya tidak akan terlaksana kewajiban mempersiapkan segala persiapan untuk perang tanpa adanya industri perang dan alat berat. Maka, mendirikan industri perang dan peralatan hukumnya menjadi wajib. Bukanlah industri startup, industri digital, industri pariwisata, apalagi industri ramah lingkungan (daur ulang) yang mampu menggentarkan negara penjajah.
Terang benderang bahwa Indonesia begitu juga negara-negara ASEAN hanyalah objek pemuas nafsu eksploitatif Barat (AS). Tak ada mitra potensial bagi negara penjajah. AS hanya berbicara dan berbuat untuk kepentingan nasionalnya saja.
Bagi negara-negara kapitalis Barat dan Timur, Islam dan umat Muslim adalah musuh ideologis. Sebagaimana takkan bisa air dan minyak bercampur. Harus ada garis tegas di antara keduanya. Dan garis tegas yang akan melindungi umat dari bahaya neoimperialisme hanyalah negara Khilafah Islamiyah Rasyidah. [MNews]