Khilafah Pelaksana Islam Kaffah
“Khilafah terus dicaci, Khilafah semakin dicari.“
Oleh: Endiyah Puji Tristanti, S.Si. (Penulis dan Pemerhati Politik Islam)
MuslimahNews.com, OPINI – Indonesia demam Khilafah. Saat ini tidak ada perbincangan berbobot kecuali tentang Khilafah. Sebab bobot Khilafah diletakkan langsung oleh syariat. Tidak akan ada yang mampu meringankan kualitas perbincangannya melainkan hanyalah upaya sia-sia belaka.
Menkopolhukam Mahfud MD ber-statement saat memberikan sambutan dalam acara Dialog Kebangsaan Korps Alumni HMI (KAHMI) di Kalimantan Barat, Sabtu (26/10/2019). Menurutnya, banyak pihak yang mengharapkan terbentuknya sistem Khilafah dalam pemerintahan Indonesia. Dirinya menjamin itu tidak ada. Tidak ada yang namanya sistem Khilafah dalam Islam, kata Mahfud. Yang ada itu adalah prinsip Khilafah dan itu tertuang dalam Alquran.
Pendapat Menko ini adalah pendapat tanpa argumentasi dan dalil syariat sehingga tertolak secara akademis lebih-lebih dari sisi agama (Islam).
Pendapat Menko lebih dominan bersifat politik semata, sebab dikeluarkan setelah dirinya didaulat menjadi pejabat kabinet baru.
Bagaimana tidak butuh Khilafah? Pada saat rakyat membutuhkan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok, baik bersifat individual seperti papan, sandang, pangan; maupun bersifat komunal seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan, negara justru menarik diri dari tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat. BPJS mencekik, biaya pendidikan melangit, harga sembako tak terjangkau.
Bagaimana tidak butuh Khilafah? Ketika manusia secara fitrah membutuhkan jaminan ketenangan dalam beribadah dan menggenggam keyakinannya terhadap agama, justru negara membangun suasana ketakutan terhadap agama mayoritas rakyatnya, mendiskreditkan pemeluknya yang lurus, bahkan para pengemban risalahnya, ulama-ulamanya diberi label radikalis.
Bagaimana tidak butuh Khilafah? Tatkala kekayaan alam milik rakyat dieksploitasi dan dikuasai asing secara kasat mata, negara justru berdiri membela penjajah pada saat yang sama negara bersikap keras terhadap rakyat yang berusaha menghalangi perampokan sumber daya alam. Indonesia for sale.
Bagaimana tidak butuh Khilafah? Ketika problem keamanan perbatasan dan disintegrasi mengancam negerinya, negara justru sibuk mengurusi pembagian kekuasaan. Negara memilih mengalah ketimbang menghadapi penjajah yang berambisi menyekat-nyekat kesatuan wilayahnya. Wamena berdarah, OPM melenggang dan melanggeng.
Selama negara abai terhadap kemaslahatan rakyat, negara bersikap keras kepada rakyat, negara sibuk melindungi kepentingan para penguasa, dan bersikap manis terhadap penjajah, maka selama itu pula rakyat akan semakin membuka diri terhadap solusi yang ditawarkan Islam (Khilafah).
Sistem buruk dan fasad yang diterapkan saat ini sungguh telah menjadi alasan kuat rakyat untuk memilih Khilafah ketimbang memilih harapan kosong perbaikan sistem.
Terlebih tatkala rakyat menyadari bahwa konsep Khilafah bukan perkara akal-akalan semata. Bahwa konsep Khilafah digali dari sumber-sumber otentik yakni Alquran dan Hadis yang kebenarannya diyakini dengan jalan rasional oleh mayoritas rakyat.
Walau bagaimana negara dengan penguasanya berusaha membenturkan konsep Khilafah dengan segala perangkat hukum dan perundang-undangan yang sengaja ditetapkan.
Dengan izin Allah Swt, Khilafah pasti tegak walaupun manusia-manusia lalim berusaha keras menghalanginya.
Dari Hudzaifah r.a., ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 18430), Abu Dawud al-Thayalisi dalam Musnad-nya (no. 439); Al-Bazzar dalam Sunan-nya (no. 2796))
Bahkan mempermasalahkan lemah kuatnya hadis ini bukanlah porsi pembahasan yang tepat untuk menafikan kewajiban penegakan Khilafah. Sebab hadis ini bukanlah dalil yang digunakan untuk membangun kewajiban menegakkan Khilafah, melainkan merupakan kabar gembira (bisyarah) Rasulullah saw..
Tafsir Islam Kafah
Setiap dada yang telah beriman diseru untuk masuk ke dalam Islam secara kafah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah : 208)
Kata as-silm (السِّلْمِ) dalam ayat ini menurut al-Hafizh al-Qurthubi menukil pendapat Ibn ‘Abbas dan Mujahid bahwa kata as-silm dalam ayat ini bermakna Al-Islam, begitu pula adh-Dhahhak, Ikrimah, Qatadah, Ibn Qutaybah, as-Saddiy, dan az-Zujaaj. Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh al-Hafizh ath-Thabari, sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh al-Qurthubi. Dan diadopsi pula oleh Imam Syihabuddin al-Alusi.
Imam al-Alusi menuturkan,
“Dan maksud dari kata as-silm mencakup seluruh syari’at Islam dengan penyebutan yang khusus namun maksudnya umum berdasarkan pendapat bahwa al-Islam adalah syari’at Nabi kita Muhammad saw.”
al-’Alim asy-Syaikh ’Atha bin Khalil pun menuturkan,
Maka, kata as-silm dalam ayat ini adalah al-Islam, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibn ‘Abbas r.a. dan maksudnya adalah keseluruhan ajaran al-Islam yakni beriman terhadapnya tanpa pengecualian dan mengamalkan seluruh syariatnya tanpa yang lainnya. Artinya berakidah dengan akidah islamiah secara sempurna tanpa terkecuali dan mengamalkan syariat Islam saja tanpa syariat lainnya.
Maka ayat ini jelas menolak konsep sekularisme yang memisahkan atau mengenyampingkan peran agama dalam mengatur kehidupan, sebagaimana didefinisikan al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani ketika beliau mengkritik pemahaman sesat sekularisme (al-‘ilmaaniyyah) yakni pemisahan agama dari kehidupan.
Sedangkan makna kaaffah (كافّة) dalam ayat yang mulia ini diantaranya Ibn ‘Abbas, Qatadah, adh-Dhahhak dan Mujahid sebagaimana penuturan al-Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari bermakna jamii’an (جميعًا) yakni keseluruhan.
Maka sangat mengena apa yang dituturkan oleh Imam Mujahid –rahimahullaah- yakni:
ادخلوا في الإسلام جميعًا “Masuklah kalian ke dalam Islam seluruhnya.”
Lebih lengkapnya Al-’Alim asy-Syaikh ’Atha bin Khalil menjelaskan,
“Kaaffah adalah keterangan dari lafaz as-silm yakni as-silm keseluruhannya yang artinya al-Islam keseluruhannya. Dan asal-usul kata kaaffah dari ism al-faa’il (kaaffun) artinya yang menghalangi, dari kata kerja kaffa yakni mana’a (mencegah). Maka perkataan Anda: “Hal ini kaaffun” yakni yang mencegah untuk dibagi-bagi ke dalam pecahan, maka seakan-akan Anda mengatakan secara kiasan (hal ini semuanya atau seluruhnya) dengan hubungan sababiyyah.”
Khilafah: Sistem Pemerintahan yang Allah Wajibkan
Adapun dalil-dalil tentang kewajiban menegakkan Khilafah bisa dilihat rinciannya dalam Alquran, Sunah, serta ijmak’ sahabat.
1. Dalil Alquran
Allah SWT berfirman, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah.’” (TQS al-Baqarah : 30).
Imam al-Qurthubi (w. 671 H), ahli tafsir yang sangat otoritatif menjelaskan, “Ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat Khalifah.”
Bahkan dia kemudian menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang syariat) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Lihat, al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz I/2640).
Dalil Alquran lainnya antara lain QS an-Nisa’ (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll. (Lihat, Ad-Dumaji, Al–Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hal. 49).
2. Dalil Sunah
Di antaranya sabda Rasulullah saw.:
“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” (HR Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, menurut Syeikh ad-Dumaiji mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib. (Lihat, Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 49).
Nabi juga mengisyaratkan bahwa sepeninggal Baginda saw. harus ada yang menjaga agama ini, dan mengurus urusan dunia, dialah Khulafa’, jamak dari Khalifah (pengganti Nabi, karena tidak ada lagi Nabi).
Nabi bersabda,
“Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi (Bani Israil) wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” (HR Muslim)
3. Dalil Ijmak Sahabat
Perlu ditegaskan, kedudukan ijmak sahabat sebagai dalil syariat—setelah Alquran dan Sunah—sangatlah kuat, bahkan merupakan dalil yang qath’i (pasti). Para ulama ushul menyatakan, bahwa menolak ijmak sahabat bisa menyebabkan seseorang murtad dari Islam.
Dalam hal ini, Imam as-Sarkhashi [w. 483 H] menegaskan,
“Siapa saja yang mengingkari kedudukan ijmak sebagai hujah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini … Karena itu orang yang mengingkari ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini.” (Lihat, Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, Juz I/296).
Karena itu, ijmak sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah tidak boleh diabaikan atau dicampakkan seakan tidak berharga karena (dianggap) bukan Alquran atau Sunah. Padahal, ijmak sahabat hakikatnya mengungkap dalil yang tak terungkap. (Lihat, as-Syaukani, Irsyadu al-Fuhul, hal. 120 dan 124).
Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan,
“Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (Khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/Khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” (Lihat, Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).
Lebih dari itu, menurut Syekh ad-Dumaji kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariat: “Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Sudah diketahui bahwa banyak kewajiban syariat yang tidak dapat dilaksanakan oleh individu semata, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya.
Syariat juga telah menempatkan kewajiban pengurusan urusan rakyat (siyasah) ke dalam domain penguasa (hukkam). Sebab penguasa adalah raa’in, mas’ul, penanggung jawab kemaslahatan umat. Penguasa juga menjadi pelindung (junnah) umat dari serangan dan penguasaan musuh (asing) atas wilayah dan keamanan mereka.
Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah Khilafah. Walhasil, kaidah syariat di atas juga merupakan dasar atas kewajiban menegakkan Khilafah (Lihat, Syeikh ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).
Jika tidak ada Khilafah, lalu bagaimana? [MNews]