Mempertahankan BPJS Melanggengkan Kezaliman
“Lubang tikus pun bukan tempat yang aman bagi persembunyian masyarakat untuk lari dari pemalakan model BPJS.”
Oleh: Endiyah Puji Tristanti, S.Si (Penulis dan Pemerhati Politik Islam)
MuslimahNews.com, OPINI — Sehat itu rumit. Untuk mendapatkan jaminan kesehatan dari negara, masyarakat harus membayar iuran kesehatan wajib bulanan. Sangat mudah sistem pembayarannya, sebab negara tengah menyiapkan sistem autodebit pada rekening nasabah.
Bagi yang tidak punya rekening dan terlambat membayar, harus berhadapan dengan debt collector resmi negara. Lebih dari itu, sanksi negara atas itu tidak main-main, yakni terhentinya berbagai layanan publik yang merupakan hak masyarakat Suatu bentuk kezaliman modern tersistem yang dilegalkan perundang-undangan.
Lebih kejam dari sanksi yang diberikan lembaga perbankan yang menyita barang milik nasabah yang tidak mampu membayar tagihan.
Sanksi terhadap penunggak iuran BPJS Kesehatan berupa penghentian akses pelayanan publik yakni seperti perpanjangan SIM, pembuatan paspor, dan IMB.
Melalui regulasi instruksi presiden, pelaksanaan sanksi layanan publik akan diotomatiskan secara daring antara data di BPJS Kesehatan dan basis data yang dimiliki oleh kepolisian, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Badan Pertanahan Negara, dan lain-lain.
Maka, masyarakat yang ingin mengakses layanan publik, seperti memperpanjang SIM tapi masih menunggak iuran, sistem yang terintegrasi secara daring tidak bisa menerima permintaan tersebut.
Sanksi layanan publik tersebut dikukuhkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan bahwa sanksi otomatis layanan publik dimaksudkan untuk meningkatkan kolektabilitas iuran peserta BPJS Kesehatan dari segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) ini merujuk pada Korea Selatan dan Eropa.
Antisipasi terakhir yang disiapkan demi mengejar tunggakan iuran peserta, BPJS Kesehatan mengerahkan 3.200 orang penagih yang diberi gelar kader JKN. Rupanya, lubang tikus pun bukan tempat yang aman bagi persembunyian masyarakat untuk lari dari pemalakan model BPJS.
Negara di Bawah Korporasi
UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS menunjukkan bahwa konsep yang diadopsi sebenarnya bukan jaminan kesehatan, melainkan konsep asuransi kesehatan.
Keberadaan iuran wajib yang harus dikeluarkan oleh masyarakat setiap bulan menempati posisi premi asuransi. Artinya, masyarakat sendiri yang menanggung biaya kesehatan secara kolektif, bukan negara.
BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara dari salah satu program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yaitu program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memosisikan BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik seperti yang tertuang dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 yang bertanggung jawab langsung ke presiden.
Sebagai badan hukum publik, BPJS kesehatan memiliki kewenangan yang luar biasa besar. Seperti menagih iuran, penyusunan dan penyajian laporan keuangan dibuat sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku, dan bertanggung jawab langsung kepada presiden; serta melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan pemberian sanksi atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya.
Negara tunduk di bawah korporasi BPJS. Atas kondisi defisit BPJS, untuk menutupinya pemerintah saat ini tengah menyiapkan peraturan berupa Instruksi Presiden untuk para penunggak iuran BPJS Kesehatan. Terutama untuk 32 juta kategori peserta mandiri.
Anehnya, pemerintah tidak pernah meminta pertanggungjawaban kepada BPJS atas kegagalan lembaga asuransi ini dalam mengelola dana layanan kesehatan masyarakat. Jangankan menghadapi tekanan negara-negara besar selevel AS dan Cina, menghadapi lembaga sekelas BPJS saja pemerintah tidak sanggup.
Atas ketidakmampuan negara dalam keadaan yang demikian, bagaimana masyarakat harus mempercayakan pengurusan urusan kehidupannya kepada negara sekaligus pemerintah?
Kezaliman BPJS Akibat Demokrasi-Neoliberalisme
Allah SWT telah berfirman,
إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الأرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” [QS. Asy-Syuuraa : 42].
Begitu keras celaan Islam terhadap para pemimpin yang mengabaikan pengurusan urusan rakyatnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
سَيَكُونُ أُمَرَاءُ فَسَقَةٌ جَوَرَةٌ، فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبَهُمْ، وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنهُ، وَلَنْ يَرِدَ عَلَيَّ الْحَوْضَ.
“Akan ada nanti para pemimpin yang fasik lagi jahat. Barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka dan menolong kezalimannya (atas rakyatnya), maka ia bukan termasuk golonganku dan aku bukan termasuk golongannya. Ia tidak akan sampai pada Al-Haudl (telaga).”
Pemimpin diangkat oleh rakyat untuk mengurusi urusan mereka. Sehingga pemimpin bertanggung jawab menjalankan fungsi pelayanan. Tindakan penguasa melepaskan tanggung jawabnya dapat dinilai sebagai bentuk kezaliman. Bila kezaliman penguasa dikukuhkan dalam bentuk undang-undang, berarti kezalimannya terlegitimasi dan bersifat sistemis.
Kezaliman BPJS dipandang wajar dalam sudut pandang sistem demokrasi-neoliberalisme yang berasaskan sekularisme. Dimensi ukhrawi terlepas sama sekali secara bebas dalam setiap pengambilan kebijakan publik. Tidak ada hukum halal-haram, pahala dan dosa bagi para pelaku kezaliman.
Bahkan, lembaga eksekutif, legislatif, bersama yudikatif berkolaborasi saling mengukuhkan melakukan kezaliman model asuransi BPJS Kesehatan.
Demokrasi melalui legislasi parlemen menjadi dalih legalitas suatu produk undang-undang zalim. Nurani rakyat sama sekali tak memiliki tempat di dalam majelis parlemen, meski mereka mengklaim sebagai wakil rakyat.
Demokrasi-Neoliberalisme telah menghapus rasa kasih sayang antara pemimpin, wakil rakyat kepada rakyat.
وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
“Sungguh jabatan ini adalah amanah. Pada Hari Kiamat nanti, jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan hak dan menunaikan amanah itu yang menjadi kewajibannya.” (HR Muslim).
Pandangan Islam: Kesehatan Bukan Barang Ekonomi
Islam memiliki mekanisme yang khas dalam pemenuhan kebutuhan asasi masyarakat. Untuk kebutuhan pokok yang bersifat individual, negara memiliki tanggung jawab menyediakan kemudahan akses masyarakat untuk memperolehnya.
Negara secara tidak langsung memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti pemenuhan papan, sandang, dan pangan masyarakat, dengan membuka lapangan pekerjaan dan memberikan modal cuma-cuma, bukan pinjaman dengan bunga lunak (riba).
Berbeda dengan kebutuhan pokok yang bersifat publik, negara bertanggung jawab penuh secara langsung. Perkara ini meliputi kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Maka, negara dalam hal ini bertanggung jawab menyediakan segala sarana dan prasarana kebutuhan publik dengan taraf terbaik, tanpa menarik biaya sedikit pun dari masyarakat. Fungsi pelayanan berjalan penuh tanpa diskriminasi kelas sosial dan ekonomi.
Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، آمِنًا فِي سِرْبِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya; aman jiwa, jalan, dan rumahnya; dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya.” (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi).
Dalam hadis ini, kesehatan dan keamanan disejajarkan dengan kebutuhan pangan. Ini menunjukkan bahwa kesehatan dan keamanan statusnya sama sebagai kebutuhan dasar yang harus terpenuhi.
Kesehatan bukan barang ekonomi yang memiliki harga, sehingga bisa diperjualbelikan kepada masyarakat. Bahkan, dalam pandangan Islam, negara dilarang menarik harganya kepada masyarakat walau sedikit. Sebab negara dan pemerintah adalah raa’in, pelayan umat penyelenggara urusan publik.
Adapun sumber pendanaan secara penuh diambilkan dari Baitul Maal, bukan dengan pemalakan dana umat maupun asuransi kesehatan.
Pada masa Rasulullah SAW, delapan orang dari Urainah datang ke Madinah menyatakan keislaman dan keimanan mereka. Lalu mereka menderita sakit gangguan limpa. Nabi SAW kemudian memerintahkan mereka dirawat di tempat perawatan, yaitu kawasan penggembalaan ternak milik baitulmal di Dzi Jidr arah Quba’, tidak jauh dari unta-unta baitulmal yang digembalakan di sana. Mereka meminum susunya dan berada di tempat itu hingga sehat dan pulih.
Raja Mesir, Muqauqis, pernah menghadiahkan seorang dokter kepada Nabi SAW. Beliau menjadikan dokter itu untuk melayani seluruh kaum muslim secara gratis. Khalifah Umar bin al-Khaththab, menetapkan pembiayaan bagi para penderita lepra di Syam dari baitulmal.
Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah membangun rumah sakit bagi pengobatan para penderita leprosia dan lepra serta kebutaan. Para dokter dan perawat yang merawat mereka digaji dari baitulmal.
Bani Thulan di Mesir membangun tempat dan lemari minuman yang di dalamnya disediakan obat-obatan dan berbagai minuman. Di tempat itu ditunjuk dokter untuk melayani pengobatan.
Telah jelas bahwa Islam menetapkan jaminan kesehatan menjadi tugas dan tanggung jawab negara. Sehingga mempertahankan BPJS sama saja melanggengkan kezaliman dan wujud pelanggaran terhadap ketetapan Allah SWT.
Saatnya umat beralih ke sistem Islam yang kepemimpinannya berdimensi ri’ayah dan junnah dengan aturan syariat yang solutif dan adil. Tentu saja hanya dengan satu metode yang baku penerapannya, yakni tegaknya Khilafah Islamiyah ‘ala minhaajin nubuwwah. [MNews]