Opini

Crosshijabers, Melawan Fitrah Akibat Liberalisme Sekuler

Dunia maya geger. Terkuak fenomena para pria yang menyukai berpenampilan layaknya perempuan berhijab syar’i, bahkan lengkap bercadar. Perilaku mereka meresahkan. Selain berpenampilan perempuan, mereka tak segan masuk ke lokasi wudu perempuan, masjid-masjid tempat salat perempuan, hingga toilet. Tentunya dengan identitas yang sulit dikenali aslinya. Diketahui, pelaku perilaku tak lazim itu disebut crosshijaber, serupa dengan perilaku menyimpang para crossdresser.


Oleh: Gizhel (Pemerhati Media Sosial)

MuslimahNews.com, OPINI — Crosshijaber ini tidak bergerak sebagai individu semata. Mereka berkomunitas, khususnya di media sosial seperti Facebook dan Instagram. Di sana mereka berbagi tips antarsesama crosshijaber, dan seolah ingin mengukuhkan eksistensi, mereka berani memasang tagar identitas tersebut di profil-profil mereka, meski sekarang sudah banyak yang dihapus.

Berdasar situs gendercentre[dot]org, crossdresser adalah istilah untuk menyebut orang-orang yang berpakaian atau berpenampilan sebagai jenis kelamin yang berlawanan. Pria berpakaian seperti perempuan, begitu pun sebaliknya. Sedangkan aktivitasnya disebut sebagai crossdressing. Maka, mengacu pada definisi ini, crosshijaber lebih spesifik pada pria yang menyukai penampilan berhijab seperti muslimah pada umumnya.

Muhammadiyah, salah satu ormas terbesar di Indonesia, melalui Sekretaris Umum Pimpinan Pusatnya, Abdul Mu’ti, meminta agar kepolisian segera menyelidiki motif dari kelompok crosshijaber tersebut.

“Polisi segera melakukan penyelidikan terhadap sinyalemen crosshijabers. Polisi dapat menyelidiki akun media sosial yang mereka gunakan. Selain itu, polisi dapat menyelidiki siapa para pelaku dan motif di balik aksi yang mereka lakukan,” kata Abdul Mu’ti dikutip liputan6[dot]com, Senin,(12/10/2019).

Mu’ti juga mewanti-wanti, laki-laki yang sengaja memakai pakaian perempuan bahkan dengan hijab dan cadarnya, berarti mereka telah mengalami penyimpangan psikologi yang harus dilakukan pembinaan. Pembinaan yang dilakukan harus dibina secara keagamaan.

Melawan Fitrah

Seorang psikolog asal Bali, Nena Mawar Sari, menjelaskan crossdressing dalam istilah medis dikenal sebagai transvestisisme, perilaku ingin mengenakan pakaian berlawanan dengan gendernya. Perilaku ini awalnya muncul biasanya dari riwayat seseorang yang merasa tidak nyaman dengan identitasnya, atau bisa juga dari trauma masa lalunya.

Baca juga:  Putusan MK: Bukan Sekedar Kontroversi, Tapi Juga Ideologisasi

Crossdressing, menurut Nena, berbeda dengan transgender. Secara orientasi seksual, crossdresser sama dengan orientasi jenis kelamin aslinya, sementara transgender sebaliknya. Maka, tujuan dari crossdressing sendiri bisa saja penyamaran untuk bertindak kriminal, hiburan dan ekspresi diri, hingga kepuasan seksual.

Sehingga wajar, banyak dari para crossdresser mengaku mereka tidak memiliki penyimpangan seksual, dengan dalih sebatas menyukai perbedaan penampilan. Faktanya, kesukaan berpenampilan yang berlawanan dengan gendernya, membuktikan sebuah penyimpangan perilaku yang sangat akut.

Tidak menutup kemungkinan pula bahwa orang yang crossdressing karena mereka memang ingin menjadi lawan jenisnya. Kelainan ini, mengutip psychologytoday[dot]com, disebut paraphilia, yakni keinginan memperoleh kenikmatan dari hal-hal yang ekstrem.

Secara fitrah –dan lazimnya–, laki-laki berpenampilan laki-laki, dan perempuan berpenampilan perempuan. Kekhasan pakaian laki-laki dan perempuan diatur dalam Islam, juga dalam kesepakatan masyarakat secara umum. Celana identik dengan pakaian pria, rok atau gaun adalah khasnya pakaian perempuan. Hijab (khimar, cadar), dalam kasus crossdressing, jelas merupakan identitas perempuan, khususnya muslimah. Sehingga layak para crossdresser disebut berperilaku melawan fitrah.

Fitrah Laki-laki dan Perempuan

Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan perbedaan yang sangat nyata. Misal bentuk tubuh beserta kondisi dan segala sifatnya. Perempuan mengalami haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Laki-laki tidak bisa, dan tidak akan bisa.

Allah berfirman dalam QS. Ali ‘Imran [3] : 36,

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَىٰ

“Laki-laki tidaklah seperti perempuan.”

Ilustrasi: Pasangan suami-istri. | Foto: Freepik.

Sebagai mukmin, wajib menerima dan meyakininya sebagai bentuk hikmah dari Allah yang Mahaadil dan Maha Penyayang. Untuk menjaga hikmah ini, Islam melarang laki-laki menyerupai perempuan, begitu pun sebaliknya. Konsekuensinya pun sangat berat, yaitu laknat atas pelakunya.

Larangan menyerupai ini, yang disebut sebagai tasyabbuh (menyerupai), mencakup segala kekhasan suatu jenis kelamin, seperti gaya berbicara, berjalan, bahkan berpakaian.

Baca juga:  Adakah Fikih Waria?

Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al-Bukhari, no. 5885; Abu Dawud, no. 4097; Tirmidzi, no. 2991)

Dari Abu Hurairah ra., “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian perempuan, begitu pula perempuan yang memakai pakaian laki-laki.” (HR. Ahmad, no. 8309; Abu Dawud, no. 4098; Nasai dalam Sunan al-Kubra, no. 9253. Disahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

Oleh karena itu, pakaian khas perempuan, tidak boleh dipakai oleh kaum laki-laki; seperti daster, kebaya, bra, khimar, cadar, sandal perempuan, dan semacamnya. Demikian juga pakaian khas laki-laki, tidak boleh dipakai oleh perempuan; seperti peci, gamis laki-laki, dan sejenisnya. Crossdressing jelas merupakan tasyabbuh yang dilaknat Rasulullah saw.

Adapun jenis pakaian nongender, yang memang biasa dipakai untuk laki-laki dan perempuan, maka tidak mengapa mereka menggunakannya. Seperti izar (sejenis sarung), selimut, jaket, dan lainnya. Batasannya tentu terkait bentuk, juga tidak boleh menyerupai kekhasan lawan jenis.

Akan tetapi, Allah juga memberikan persamaan pada keduanya, hanya saja dalam hal mengemban kewajiban beribadah, beriman, dan beramal saleh. Laki-laki dan perempuan juga memiliki persamaan dalam hak menerima pahala atau balasan atas segala amal mereka.

Firman Allah Subhanahu wata’ala dalam QS. An-Nisa [4] : 124,

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا

“Barang siapa mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia orang yang beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”

Muncul akibat Liberalisme

Harus diakui, segala bentuk penyimpangan perilaku dan seksual yang ada, lahir akibat liberalisme sekuler. Kebebasan berperilaku yang menjadi ciri dari liberalisme, memang menimbulkan banyak mudarat ketimbang maslahat. Liberalisme memberi ‘hak’ manusia berbuat sesuai kehendak hawa nafsunya, bukan kehendak Sang Pencipta manusia.

Baca juga:  Merusak tapi Dibiarkan

Legitimasi demikian semakin luas terbuka dalam sistem demokrasi kapitalis yang dianut negara ini. Sejumlah penelitian menunjukkan, perilaku menyimpang bukanlah perilaku yang datang ‘dari sananya’. Tapi ini adalah jenis perilaku yang ‘tertular dan menularkan’. Inilah bahaya dan ironi yang timbul ketika liberalisme diizinkan berkembang.

Galibnya manusia yang lemah, serba kurang, dan terbatas ini, ketika menjadikan akal sebagai penentu aturan tentu mengakibatkan kacaunya proses berkehidupan. Bila masing-masing manusia –yang notabene memiliki selera dan kecenderungan berbeda-beda–, bebas beraktivitas berdasar nafsunya semata, sudah tentu menimbulkan kerancuan. Yang satu ingin ini, yang satu ingin itu.

Crossdressing, hanyalah satu dari buah yang lahir dari rahim liberalisme. Sehingga, menyelesaikan masalah yang terkait paham selain Islam, tidak bisa hanya dari satu sisi saja. Sistematisasi sempurna yang ada dalam Islam, meniscayakan seluruh sistem untuk berjalan melengkapi sistem lainnya.

Kebebasan berperilaku akibat penerapan liberalisme sekularisme, tidak bisa dihilangkan dan diatur dari satu sisi semata, individu misalnya. Seorang crossdresser tidak cukup diatasi atau dilarang sebatas faktor individunya, tapi harus disangga komponen lainnya, yaitu masyarakat yang mengontrol, serta negara yang membuat regulasi aturannya.

Secara individu harus dipahamkan terkait hukum tasyabbuh dengan lawan jenis serta dikuatkan sisi akidahnya, masyarakat ikut mengawasi dan mengontrol perilaku individu yang ada di sekitarnya tinggal sekaligus mengondisikan sistem pergaulan di lingkungannya, dan negara ikut membuat aturan dan regulasi terkait sistem sosialnya termasuk sanksinya.

Bahkan, siaran-siaran tidak bermutu yang hanya menimbulkan gejolak jinsi, seperti kebanyakan acara dan iklan-iklan televisi saat ini, harusnya tidak diizinkan tayang oleh negara. Tontonan menye-menye ala artis Korea dan lelaki bergincu, wajib diberangus oleh negara.

Ilustrasi. | Foto: iMOM[dot]com

Ketiga pilar di atas, tentu mustahil diterapkan dalam sistem demokrasi, sehingga sistem ini terlebih dulu harus dihancurkan. Diganti dengan sistem yang bisa membuat kukuh tegaknya tiga komponen tadi. Sistem itu tak lain adalah sistem Islam, yang akan menerapkan semua aturan secara komprehensif dalam bingkai sistem pemerintahan Khilafah.

Dengan demikian, bukan hanya soal crossdressing yang akan terselesaikan, tapi seluruh problematik penyimpangan perilaku dan seluruh mudarat yang timbul akibat hukum buatan manusia, akan diminimalisir dan ditangani secara tuntas oleh aturan Ilahi. Wallahu a’lam bishawab. [MNews]


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *