Wamena Berdarah, Babak Lanjut Konflik Papua
Wamena berdarah. Peristiwa itu mewakili kondisi sosial politik Indonesia yang tak pernah sehat. Bayangkan, ‘hanya’ berawal dari salah dengar, kesalahpahaman itu memicu kontraksi sosial. Bangunan fisik, jiwa, dan relasi sosial kemasyarakatan rusak. Laku anarkis menyasar masyarakat pendatang di Papua. Sumber resmi mendata 33 orang meninggal, sementara 9.000 orang telah mengungsi.
Oleh: Pratma Julia Sunjandari
MuslimahNews.com, FOKUS – Adriana Elisabeth -Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Koordinator Jaringan Damai Papua- menyatakan bahwa kerusuhan di sejumlah wilayah di Papua –temasuk di Wamena- merupakan rekayasa dan diskenariokan. Alasannya, model penyerangannya janggal dengan memanfaatkan kondisi sosial Wamena yang banyak pengangguran dan adanya Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Yahukimo.
Papua memang menyimpan konflik. Masalah yang terjadi di Wamena menjadi potret kegagalan pemerintah RI mengatasi masalah laten Papua. Konflik bersenjata sebenarnya mulai memanas sejak penandatanganan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang menetapkan penyerahan Irian Barat dari Belanda ke Indonesia.
Pertempuran sporadis antara tentara pro-Indonesia dan pro-Belanda langsung terjadi usai penandatanganan hingga tahun 1969. Setelah itu, hampir setiap tahun selalu terjadi kisruh yang makan korban jiwa. Bahkan, konflik yang terjadi di dataran tinggi tengah pada September-Desember 1981 diduga menewaskan 13.000 orang.
Terakhir, sebelum kasus Wamena, protes tindakan rasialisme di Surabaya dan Malang 29 Agustus 2019, berakhir rusuh di Sentani, Abepura, Kotaraja, sampai Jayapura, hingga Manokwari dan Sorong di Provinsi Papua Barat.
Kuasa Asing atas Papua
Rentetan konflik Papua menimbulkan tanya, apakah konflik itu sengaja dipelihara? Mengingat pemerintah Indonesia tidak pernah mampu mengusir cengkeraman kekuatan asing di bumi Cendrawasih.
Asing jelas mengincar Papua karena nilai ‘jual’-nya. Geostrategis Papua diapit oleh dua samudra besar, yakni Pasifik dan Hindia, serta dua benua, yakni Australia dan Asia.
Budi Susilo Soepandji, Mantan Gubernur Lemhannas menuturkan posisi silang ini dikenal sebagai posisi silang maut (‘Das Totenkreuz’) karena selain melahirkan potensi kejayaan yang besar bagi bangsa Indonesia, tapi juga rentan terhadap konflik.
Secara khusus, Daoed Jusuf dalam bukunya ‘Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional’ menyampaikan bahwa siapa menguasai Papua dan Maluku berarti menguasai jantung arsipel Indonesia, siapa menguasai jantung arsipel Indonesia akan menguasai arterinya, dan siapa yang menguasai arteri itu akan berdaulat atas keseluruhan negara-bangsa Indonesia.
Tentu saja yang paling menguasai posisi geostrategis dan geopolitik Indonesia adalah negara pertama, Amerika Serikat. AS sudah berhasil menyandera Indonesia melalui ‘jasanya’ dalam penyerahan Irian Barat. Maklum, Indonesia sudah membawa persoalan Papua ke forum PBB sejak tahun 1954, 1955, 1957, dan 1960, namun tidak pernah berhasil.
Atas desakan AS, Belanda akhirnya mau duduk berunding dalam New York Agreement. Perjanjian yang terjadi saat Perang Dingin antara AS dan USSR itu menjadi sarana bagi AS untuk mengokohkan posisinya di Asia Pasifik.
Untuk menandingi kredit USD250 juta yang diberikan Nikita Khrushchev, Presiden Soviet pada Januari 1960 kepada Indonesia, Presiden AS John F. Kennedy menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar USD18 juta.
Rupanya selain pertimbangan geopolitik, AS mengincar emas dan mineral berharga yang sangat besar di Papua.
Intervensi AS juga ditegaskan oleh Noam Chomsky. Tabloid Jubi edisi Desember 2013 merilis pernyataan kritis Chomsky yang menilai situasi di Papua Barat sebagai sebuah skandal besar. Aktor utama di balik ketidakstabilan di tempat tersebut adalah pemerintah AS dan Australia yang punya kepentingan terhadap sumber daya alam di Papua.
Situasinya serupa dengan yang terjadi di Timor Timur, wilayah yang diperjuangkan kemerdekaannya oleh Chomsky sejak pertama kali terjadi ‘invasi’ militer Indonesia pada 1975.
AS jelas berkepentingan besar menguasai wilayah Asia Pasifik. Peluncuran strategi Indo Pasifik oleh AS terkait upayanya membendung ekspansi ambisius Cina dalam menguasai ekonomi kawasan itu. Betapa pentingnya kawasan ini hingga ternyata Indonesia dikepung 13 pangkalan militer AS yang berada di Pulau Christmas, Pulau Cocos, Darwin, Guam, Filipina, Malaysia, Singapura, Vietnam, Kepulauan Andaman, dan Nicobar.
AS tidak sendirian, namun memanfaatkan negara satelitnya. Sebagai Quad Indo Pacific, Australia dipersiapkan secara khusus menampung marinir AS. Pada 2011, AS berencana mengirim 2.500 personel Marinir ke Darwin. Di antaranya bakal ditempatkan di Pulau Cocos, yang dekat dengan perairan Indonesia.
Australia memang secara transparan mendukung separatisme Papua. Menanggapi kisruh Wamena, Menlu Australia Marise Ann Payne menegaskan bahwa perwakilan mereka di Jakarta akan terus memonitor kondisi Papua. Payne bereaksi sehubungan pidato Menlu Vanuatu, Ralph Ragenvanu di Majelis Umum PBB ke-74, akhir September 2019 yang meminta Australia turun tangan menangani konflik Papua.
Demikian pula Inggris, yang memberi suaka pada Benny Wenda –ketua Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Bahkan sebagai warga Oxford Wenda diberi gelar ‘peaceful campaigner for democracy‘.
Konon Inggris memberikannya paspor hingga Wenda bisa menembus pertahanan Sidang Umum PBB ke-74. Hingga Jeremy Corbyn, Pemimpin Oposisi Inggris, yang baru-baru ini membela hak asasi manusia di Papua bahkan menyerukan referendum baru tentang kemerdekaan.
Inggris tak mau melepas Papua karena perusahaan migasnya, British Petroleum (BP) menjadi kontraktor utama proyek kilang LNG Tangguh, di Teluk Bintuni Papua Barat. Apalagi Juli 2019 lalu pengeboran di sumur Berau dan Muturi, di lepas pantai Papua ditemukan cadangan gas baru.
Tak ketinggalan Cina, yang bersaing secara ekonomi dengan Barat, disinyalir turut berambisi menanam pengaruh di kawasan Pasifik dengan menggelontorkan bantuan pada negara-negara Melanesia. Wajar jika negara-negara itu kerap suarakan kebangkitan Melanesia serta mendukung pembentukan negara-negara baru di kawasannya.
Perwakilan Papua yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group cukup keras dalam mempersoalkan Indonesia. Karenanya, Kemlu pernah melayangkan protes keras terhadap Pemerintah Vanuatu yang telah memfasilitasi Benny Wenda untuk bertemu Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Januari 2019 lalu.
Dan jangan lupa, sekalipun Sekjen PBB Antonio Guterres menegaskan bahwa referendum di Papua -yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)- sudah dilakukan tahun 1969 dan tidak bisa diulang lagi karena dikuatkan dalam resolusi MU PBB No.2504/1969.
Namun, tak bisa dipungkiri jika opini kemerdekaan Papua senantiasa bergulir setiap tahun dalam Sidang Majelis Umum PBB. Pelapor Khusus PBB telah berulang kali menyuarakan keprihatinan atas pelanggaran di Papua Barat selama dekade terakhir.
Masalah Mendasar Papua
Pergantian rezim yang berkuasa di Indonesia, sejak Orde Lama hingga hari ini tak mampu menyelesaikan masalah Papua. Jangankan merancang solusi jitu, menentukan masalah mendasar Papua saja, rezim tak mampu. Mereka hidup dalam ideologi kapitalis yang hanya mengukur pencapaian materialistik.
Soeharto, sukses menjadikan Papua dijajah korporasi raksasa, Freeport Sulphur sebagai pelopor penanaman modal asing di Indonesia pada 1966. Kehadiran Freeport langsung mengancam penduduk asli dari suku Amungme yang berdiam di dataran tinggi sekitar proyek tambang.
Konflik sosial Papua kian bertambah dengan kedatangan transmigran sebagai proyek pemerintah Orde Baru. Suku Amungme dan suku-suku lainnya terjepit oleh migrasi pendatang dari luar Papua dan terjadi perpindahan sejuta hektare lahan mukim mereka.
Antropolog Austria Christian Warta, menyebutkan Soeharto berasumsi para pendatang membawa modernitas ke daerah-daerah terpencil Papua. Rakyat Papua dipandang sebagai masyarakat tertinggal yang harus dijadikan berbudaya dan beradab.
Inilah kegagalan pemerintah. Tidak memanusiakan rakyat Papua sejak awal. Warta menyimpulkan, ketakutan menjadi minoritas di tanah sendiri inilah yang secara wajar memicu nasionalisme Papua.
Visi materialistik itu tak berubah hingga rezim Jokowi. Dalam wawancara bersama Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas, Budiman Tanuredjo (21/8/2019) Jokowi sesumbar Papua (dan Papua Barat) akan lebih diperhatikan dengan pendekatan kesejahteraan.
Jelas yang dimaksud kesejahteraan adalah ukuran-ukuran angka keekonomian semata. Karena itu pemerintah akan mengalokasikan anggaran Rp8,37 triliun untuk Dana Otonomi Khusus Papua dalam RAPBN 2020. Dana tersebut ditujukan untuk tambahan pembiayaan infrastruktur di Papua dan Papua Barat.
Padahal menurut Direktut Imparsial, Al Araf, akar konflik di Papua tidak hanya kesenjangan ekonomi tapi juga kontroversi historis Papua masuk ke Indonesia yang dianggap manipulatif oleh sebagian masyarakat Papua. Juga persoalan pelanggaran HAM yang tak diselesaikan serta faktor marjinalisasi.
Bila disederhanakan, sebab mendasar konflik Papua hanya satu. Siapa pun presidennya, tidak pernah menempatkan diri sebagai ri’ayatusy syu’unin naas. Yakni sebagai penanggung jawab dan penjamin keamanan, kenyamanan, dan martabat hidup rakyat Papua.
Janji-janji perbaikan ekonomi, tak mampu memberikan pemerataan kesejahteraan sepanjang Papua berada dalam pangkuan Indonesia. Hingga Maret 2019, Papua dan Papua Barat masuk dalam lima provinsi dengan tingkat kemiskinan paling tinggi. Apalagi martabat. Pemerintah gagal membangun SDM Papua agar kualifikasinya merata dan setara hingga mampu mandiri membangun wilayahnya.
Data BPS menunjukkan, sejak 2010 hingga 2017 Papua memiliki status pembangunan manusia rendah. Rata-rata Indeks Pembangunan Manusia (IPM) secara nasional pada 2017 mencapai 70,81, sedangkan skor Papua hanya 59,09.
Problem inilah yang memicu kecemburuan sosial, hingga saat konflik Wamena menjadi mudah sebagai pemantik kerusuhan. Akibatnya, warga pendatang menjadi sasaran empuk serangan para perusuh.
Solusi Tuntas Masalah Papua
Tak ada yang berharap Papua bakal lepas dari Indonesia menyusul Timor Leste, pun Orang Asli Papua (OAP). Segala skema pembangunan juga tak pernah menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan orang Papua, baik pendatang ataupun OAP, serta tak mempan atasi konflik Papua. Artinya, referendum ataupun Otonomi Khusus akan tetap membawa masalah laten bagi Papua.
Bahkan, pembangunan infrastruktur hanya bermanfaat bagi para pemodal yang ingin mendapatkan akses ke sumber-sumber ekonomi di Papua. Demikian pula anggaran besar yang diberikan pada Papua, tak bisa tuntaskan problem Papua seperti yang selama ini dilakukan pemerintah.
Dalam rentang tahun 2002-2018 pemerintah pusat telah mengucurkan dana 98,395 triliun untuk papua. Anggaran ini masih ditambah dengan bagi hasil dari minyak dan gas, sehingga total dana buat Papua mencapai Rp105 triliun. Nyatanya, dana itu tidak pernah tepat sasaran untuk kepentingan seluruh rakyat Papua.
Harapan itu jelas sulit dipenuhi oleh rezim yang hanya bekerja untuk ‘yang berani bayar.’ Jangankan mengurus Papua yang sulit medan dan kondisinya, menuntaskan masalah di Jawa saja tak beres. Banyak hal yang menyandera Indonesia untuk mampu melakukan keputuan strategis bagi Papua.
Yang paling utama, negara ini tak punya kemandirian dan kedaulatan untuk berani mengusir dan mengenyahkan campur tangan negara besar. Indonesia hanya mampu menggertak Vanuatu, tapi tak mampu mempermasalahkan korporasi raksasa.
Jadi mustahil mampu menuntaskan problem aneksasi negara besar plus korporasinya. Demikian pula menyatukan semua anak bangsa dalam ikatan yang sama. Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi slogan yang tak mampu meleburkan semua perbedaan.
Kalau ingin belajar kesuksesan membangun wilayah yang plural dan sulit medan, bercerminlah pada Khilafah Islamiyah. Kesuksesan Khilafah menyatukan 2/3 dunia dengan meleburkan semua ras manusia dalam butaqoh (wadah) yang sama, jelas mengikuti tuntunan Rasulullah SAW saat hijrah ke Madinah. Yang pertama kali dilakukan adalah mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar.
Inilah peleburan yang sesungguhnya. Saling menanggung satu sama lain, sekalipun sebelumnya tak pernah kenal dan bersua. Lambat laun, suasana kondusif ini menjalar pada nonmuslim, hingga mereka pun merasakan berkah persaudaraan yang tercipta sebagai implementasi ajaran Alquran dan Sunah.
Teladan itulah yang dipraktikkan para Khalifah hingga banyak di antara kafir dzimmi memilih menjadi muslim secara sukarela. Mereka juga dibiarkan jika tetap memeluk agama sebelumnya. Sehingga, ketika Granada yang menjadi kota Islam terakhir di Semenanjung Iberia jatuh ke tangan kaum Kristen (1492), kemudian Raja Ferdinand dan Ratu Isabella memaksa mereka masuk Kristen, sebagian besar Yahudi memilih keluar dari Andalusia.
Khilafah Utsmaniyah yang ketika itu memimpin dunia Islam, menerima dengan baik ribuan pengungsi Yahudi, bahkan mengeluarkan undang-undang yang melindungi mereka.
Supremasi Khilafah Islamiyah jelas menyatukan fungsi ri’ayatus su’unil ummah (penjamin kebutuhan dan kesejahteraan umat), melekatkan perbedaan secara bermartabat dan sekaligus menunjukkan haibah (kewibawaan) sebagai negara yang berdaulat.
Semua itu mampu terwujud karena negara mempraktikkan semua petunjuk Allah SWT dan tuntunan Rasulullah SAW dalam politik luar negeri ataupun pengaturan urusan rakyat di dalam negeri. Gangguan dan ancaman akan dituntaskan sesuai petunjuk syariat yang berkombinasi dengan strategi jitu yang terukur dan terarah.
Semua ini mampu terealisasi karena negara dibangun atas dasar ketaatan pada Allah SWT, bukan dikte kafir imperialis atau nafsu berkuasa demi harta dan tahta.
Walhasil, hanya pada Khilafah Islamiyah sajalah penduduk Papua bisa berharap menyongsong masa depan yang lebih baik. [MNews]