Wamena Bersimbah Darah, di Mana Negara?
Wamena kembali bersimbah darah, padahal tahun 2000 peristiwa serupa sudah terjadi sehingga darinya pemerintah bisa belajar banyak. Namun sangat disayangkan, respon pemerintah khususnya kepala negara sangat lambat. Mulai dari upaya pencegahan dan antisipasi pertumpahan darah yang potensinya begitu nyata, hingga upaya penyelamatan dan penanganan korban.
Sebuah analisis pelengkap berita: Dr. Rini Syafri: Wamena, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga
Oleh: Dr. Rini Syafri (Doktor Biomedik dan Pengamat Kebijakan Publik)
MuslimahNews.com, ANALISIS — Sungguh berat, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Bagaimana tidak, di tengah trauma karena kekerasan fisik dan psikis, kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, dan bahkan orang-orang yang dicintai harus hidup terlunta-lunta di tempat pengungsian dengan fasilitas pemenuhan hajat hidup yang jauh dari memadai. Namun, inilah yang diderita ribuan jiwa kerusuhan Wamena.
Hal ini mengingatkan pada keseharian pengurusan negara terhadap pemenuhan hajat publik yang begitu buruk. Akibat disfungsi negara, yakni regulator bagi kepentingan korporasi, sehingga semua hajat hidup publik dalam kendali korporasi. Baik pangan, sandang, dan papan.
Demikian juga pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, energi, dan transportasi. Hasilnya, sebagaimana tampak negara lemah dari berbagai aspek juga logistik menghadapi kondisi darurat seperti ini.
Diperparah oleh otonomi daerah, kekuatan bangsa ini tercabik-cabik dalam ikatan kesukuan dan kedaerahan yang rendah dan diharamkan Islam. Seakan berada di negara yang berbeda, masing-masing kepala daerah mengambil langkah penyelamatan sendiri-sendiri terhadap para perantau daerahnya, sebagaimana tampak dari yang dilakukan pemerintah daerah Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan.
Baca Berita: Dr. Rini Syafri: Wamena, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga
Tentu hasilnya akan sangat membantu para korban jika sekat-sekat kedaerahan ini lebur dan berwujud menjadi satu kekuatan di bawah satu komando yang terpusat (kekuasaan yang tersentralisasi).
Penting dicatat, fakta ini hanyalah pelengkap ribuan fakta buruk tentang kegagalan negara demokrasi, dengan sistem kehidupan sekulernya. Di samping menegaskan bahwa kegagalan itu sendiri menjadi karakter aslinya, baik dalam hal melindungi generasi manusia, akal, kehormatan, jiwa, maupun harta, akidah, dan keamanan.
Sangat berbeda dengan negara Khilafah, pelaksanaan syariat Allah SWT sebagai inti politik dalam negeri tidak mengenal fungsi regulator, bahkan diharamkan. Juga tidak mengenal desentralisasi kekuasaan, yang ada hanyalah sentralisasi kekuasaan dan administrasi yang terdesentralisasi.
Di saat yang bersamaan, inti politik luar negeri berupa penyebaran ideologi Islam. Kedua aspek ini benar-benar menjadikan karakter raa’in (pemelihara urusan rakyat) dan junnah (pelindung) begitu menonjol pada negara.
Terpeliharanya keberlangsungan generasi, akal, kehormatan, jiwa, harta, akidah, dan keamanan setiap insan disaksikan dunia selama tiga belas abad. Sementara, negara Khilafah menaungi berbagai bangsa, bahasa, dan agama. Wilayah Timur hingga ke Asia Tenggara, dan Wilayah Barat hingga Andalusia.
Namun, karakter Islam sebagai ideologi yang insaniah yang diterapkan oleh Negara yang akuntabel, yakni Khilafah, menjadikan mereka melebur dalam satu visi dan misi yang mulia untuk peradaban yang mulia dan memuliakan.
Demikianlah, fakta sejarah berbicara ketika dunia berada di bawah pimpinan peradaban Islam yang berlangsung selama tiga belas abad dengan luas kawasan dua per tiga dunia.
Sungguh hari ini, bangsa Indonesia dan dunia butuh kehadiran negara yang berkarakter sebagai raa’in (pengurus kehidupan masyarakat) dan junnah (pelindung) dari berbagai keburukan.
Karena hanya dengan kehadiran Khilafah, krisis Wamena dan berbagai persoalan krusial lain di negeri ini dan di berbagai belahan dunia akan berakhir.
Karakter yang muncul secara alami ketika negara hadir sebagai pelaksana syariat Allah subhanahu wata’ala. Lebih dari pada itu, kembali kepada pangkuan Khilafah adalah kewajiban yang disyariatkan Allah SWT kepada setiap insan.
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu…” (TQS Al-Anfaal: 24) [MNews]