Dr. Rini Syafri: Wamena, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga
Pascatragedi Wamena, aspek kedaerahan justru menjadi sangat menonjol.
MuslimahNews.com, KOMENTAR POLITIK – Kerusuhan di Wamena, Papua, pada Senin (23/9/2019) lalu, menelan banyak korban. Tak hanya penduduk asli, masyarakat luar Papua pun turut menjadi korban.
Bahkan, gelombang eksodus masih terjadi hingga kini. Dilansir Antara, terdata lebih dari 11 ribu orang meninggalkan Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, pascakerusuhan.
“Sebanyak 11.646 orang terdata eksodus sejak 23 September hingga 2 Oktober 2019,” kata Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial, Harry Hikmat, Kamis (3/10/2019).

Menurut pengamat kebijakan publik, Dr. Rini Syafri, kondisi serupa pernah terjadi pada 2000 silam.
“Wamena kembali bersimbah darah. Setelah sebelumnya, pada tahun 2000 peristiwa serupa juga terjadi. Sungguh berat penderitaan masyarakat yang tertimpa peristiwa mengenaskan itu,” ujar Rini yang juga merupakan Doktor Biomedik.
Rini mengibaratkan, Wamena sudah jatuh tertimpa tangga. Bagaimana tidak, lanjut Rini, di tengah trauma karena kekerasan fisik dan psikis, orang-orang harus kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan.
“Bahkan, orang-orang yang dicintai, sekarang harus hidup di pengungsian dengan fasilitas pemenuhan hajat hidup yang jauh dari memadai,” kata Rini kepada MNews, Kamis (3/10/2019).
Rini pun menilai respon pemerintah, dalam hal ini kepala negara, sangat lambat. Mulai dari upaya pencegahan dan antisipasi pertumpahan darah –padahal potensi kerusuhan begitu nyata-, hingga upaya penyelamatan korban.
“Upaya pencegahan dan antisipasi pertumpahan darah sangat lambat, padahal potensi kerusuhan begitu nyata,” ujar Rini.
Terkait peristiwa ini, Rini bahkan mengamati respon kepala daerah lainnya, khususnya Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan. Rini menilai para kepala daerah tersebut mengambil langkah sendiri-sendiri, seakan berada di negara yang berbeda.
“Aspek kedaerahan begitu menonjol, padahal mereka hidup di bawah satu negara,” Rini menyayangkan.
Sebagaimana diketahui, ketegangan antara warga asli Papua dengan pendatang meningkat pascademonstrasi yang berujung rusuh tersebut. Hal ini dipicu akibat mayoritas korban tewas adalah pendatang.
Data yang diungkap Kapolri Tito Karnavian sehari pascakejadian, dilansir bbc.com, 30 orang meninggal dan 60 lebih luka-luka. Sebanyak 22 orang korban tewas adalah warga pendatang yang meninggal akibat luka bacok atau terjebak dalam rumah yang dibakar massa. Empat korban meninggal lainnya adalah warga asli Papua.
Ketua Asosiasi Bupati Pegunungan Tengah Papua, Befa Yigibalom, mengungkapkan bahwa tidak semua warga asli Papua menginginkan kerusuhan terjadi. Hal itu terbukti ketika banyak warga asli Wamena justru memasang badan demi keselamatan warga pendatang dari seluruh suku bangsa yang ada di Pegunungan Tengah Papua, terutama di Kabupaten Jayawijaya.
“Aksi mereka melakukan penyelamatan kepada warga pendatang ini tentunya harus diberikan apresiasi. Ini membuktikan jika tidak semua anak asli daerah di Pegunungan Tengah Papua ini membenci masyarakat non-Papua. Mereka sangat mengasihi maupun familiar,” ungkapnya seperti dilansir Cendrawasih Pos (Jawa Pos Group), Kamis (3/10/2019). [MNews]