Pelayanan Kesehatan Khilafah Model Terbaik: Antidefisit, Manusiawi, Lagi Menyejahterakan (Bagian 2/2)
Jelaslah, lama usia dan perbaikan teknis seperti kemajuan teknologi, berbagai sanksi, dan perbaikan administrasi termasuk kenaikan premi sekalipun tidak mampu mengatasi persoalan defisit kronis pelayanan kesehatan UHC dan krisis pelayanan kesehatan neoliberalisme. Karena persoalannya ada di tataran paradigma ideologis sistemik yang membutuhkan adanya koreksi total bersifat ideologis pula. | Sambungan dari tulisan pertama.
Oleh: Dr. Rini Syafri (Doktor Biomedik, Pengamat Kebijakan Publik)
Persoalan Ideologis, Kerusakan Pada Akarnya
MuslimahNews.com, ANALISIS – Laporan audit BPKP sebagaimana disampaikan Menkeu menyebutkan akar masalah BPJS Kesehatan karena adanya rumah sakit yang melakukan kebohongan data, jumlah layanan melebihi jumlah peserta, adanya perusahaan yang mengakali iuran, peserta aktif rendah, data tidak valid, dan persoalan manajemen klaim. [1]
Defisit juga ditengarai oleh mudahnya menjadi peserta BPJS Kesehatan tapi iuran macet. “Semua pihak bertanya mengapa setiap tahun defisit ini semakin lebar. Itu sangat terkait dengan pertama, akses semakin baik..”. “Kedua, jadi akses semakin baik, faskes semakin bertambah, masyarakat semakin sadar. ..”,[2] demikian Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris.
Namun bila ditelisik, semua yang dikemukakan tersebut bukan akar persoalan, akan tetapi hanyalah aspek permukaan dan cabang. Akar defisit kronis BPJS Kesehatan dan krisis pelayanan kesehatan hari ini adalah tidak diterapkan Islam secara keseluruhan dalam aspek kehidupan.
Dan pada persoalan defisit dan krisis pelayanan kesehatan era JKN, sedikitnya ada dua konsep batil yang menjadi biang perkara.
Pertama, liberalisasi-komersialisasi pelayanan kesehatan melalui pembiayaan kesehatan berbasis asuransi kesehatan wajib. Kedua, liberalisasi fungsi negara. Yakni, negara berlepas tanggung jawab dalam pengurusan hajat pelayanan kesehatan publik dengan berfungsi sebagai regulator bagi kepentingan korporasi khususnya korporasi BPJS Kesehatan.
Selain sebagai penyebab defisit, kedua konsep batil ini berakibat pada harga pelayanan kesehatan yang terus melangit, serta pelayanan tunduk kepada kepentingan bisnis. Bahkan, prinsip-prinsip ilmiah kedokteran pun harus dinomorduakan. Sehingga, tak jarang berujung pada perjudian nyawa publik di fasilitas kesehatan. Ini di satu sisi, di sisi lain publik (dipaksa) menanggung beban finansial di luar batas kemampuan, karena harus menanggung biaya kesehatan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara secara langsung tanpa perantara industri bisnis kesehatan BPJS Kesehatan.
Inilah akar persoalan defisit kronis pembiayaan kesehatan era JKN berikut persoalan krisis pelayanan yang mendera jutaan publik. Yakni, konsep, paradigma batil neoliberalisme-kapitalisme berikut sistem kehidupan sekularisme itu sendiri. Khususnya sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik demokrasi. Dengan kata lain, karena tidak diterapkannya Islam sebagai solusi persoalan kehidupan manusia, dalam hal ini pada pembiayaan dan pelayanan kesehatan
Penting dipahami bahwa konsep batil neoliberalisme tersebut tak ubahnya pohon yang akarnya rusak, tidak akan pernah berbuah kebaikan. Sebaliknya, ia hanya akan menjadi sumber petaka dan penderitaan umat manusia.
Tentang hal ini Allah SWT menegaskan dalam QS Ibrahim [14] : 26 yang artinya, “Dan perumpamaan kalimat (pen. konsep) yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tegak sedikit pun.”
Dengan demikian, jelas menaikkan nilai premi bukan “obat” bagi defisit kronis BPJS Kesehatan dan krisis pelayanan kesehatan yang ditimbulkannya. Demikian pula, pemaksaan setiap orang menjadi peserta BPJS Kesehatan dan berbagai sanksi yang tidak manusiawi. Sebaliknya, semua itu justru mengekalkan masalah dan memperpanjang penderitaan masyarakat.
Islam Solusi Satu-Satunya
Islam adalah solusi yang sesungguhnya bagi setiap persoalan kehidupan manusia, tidak terkecuali persoalan pelayanan kesehatan. Karena, dilandaskan pada akidah yang sahih, bersumber dari wahyu Allah subhanahu wata’ala.
Setidaknya ada dua aspek paradigma Islam yang penting bagi penyelesaian persoalan defisit kronis BPJS Kesehatan dan krisis pelayanan kesehatan yang berlarut-larut.
Pertama, konsep bahwa kesehatan merupakan kebutuhan pokok publik, bukan jasa untuk dikomersialkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya“. (HR. Bukhari).
Artinya, tidak dibenarkan bahkan haram pemerintah memiliki program yang bertujuan mengomersilkan pelayanan kesehatan –dalam hal ini program JKN termasuk keberadaan badan penyelenggaranya, BPJS Kesehatan. Di samping asuransi -apapun bentuk dan jenisnya- adalah institusi kapitalisme yang diharamkan Islam. Keharaman program JKN dan BPJS Kesehatan dengan sendirinya akan mengakhiri persoalan defisit kronis BPJS Kesehatan.
Kedua, negara bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan publik, gratis berkualitas terbaik. Rasulullah saw menegaskan, artinya, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Artinya, haram negara berfungsi sebagai regulator dan fasilitator yang memuluskan agenda hegemoni dan bisnis korporasi, apapun alasannya. Dua prinsip ini dengan sendirinya akan menegasikan model pembiayaan neolib berbasis asuransi kesehatan wajib.
Islam hanya mengenal prinsip pembiayaan kesehatan berbasis baitul mal yang bersifat mutlak. Sumber-sumber pemasukan baitul dan pintu-pintu pengeluarannya sepenuhnya berlandaskan ketentuan Allah Subhanahu wa ta’ala, agar negara memiliki finansial memadai untuk pelaksanaan berbagai fungsi pentingnya, termasuk pembiayaan kesehatan antidefisit.[3] Baik termaktub dalam Alquran dan Sunah, maupun apa yang ditunjukkan oleh keduanya berupa ijmak sahabat dan qiyas.
Salah satu sumber pemasukan baitul mal adalah harta milik umum berupa sumber daya alam dan energi dengan jumlah berlimpah. Dari sumber daya energi saja sudah luar biasa memadai, karena di Indonesia ada 128 cekungan migas. Seperti Blok migas raksasa Masela di kepulauan Tanimbar Maluku, Blok Cepu, Blok Natuna, Blok Rokan, Blok Maratua, dan Blok Nunukan dengan potensi 10 besar dunia.
Namun, sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme mengharuskan “diserahkan” pemerintah pada negara kafir penjajah seperti Jepang, Inggris, dan Amerika melalui korporasi mereka. Seperti INPEX corporation (Jepang), MNC Shell Oil Company, ExxonMobile, Chevron, Premier Oil. Juga sumber daya alam seperti tambang Grasberg di Papua sebagai tambang emas terbesar di dunia, namun “diserahkan” pemerintah pada negara kafir penjajah Amerika Serikat melalui Freeport McMoran.
Bersifat mutlak, maksudnya adalah ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pembiayaan pelayanan kesehatan wajib diadakan negara.[4] Bila dari pemasukan rutin tersebut di atas tidak terpenuhi, Islam memiliki konsep antisipasi berupa pajak temporer yang dipungut negara dari orang-orang kaya sejumlah kebutuhan anggaran mutlak.
Model pembiayaan kesehatan seperti ini tidak saja antidefisit, namun juga akan membebaskan pelayanan kesehatan dari cengkeraman korporasi, agenda hegemoni, dan industrialisasi kesehatan yang sangat membahayakan kesehatan dan nyawa jutaan orang.
Pada gilirannya, penerapan paradigma Islam berikut keseluruhan sistem kehidupan Islam, khususnya sistem ekonomi Islam dan sistem pemerintahan Islam, benar-benar “obat mujarab” defisit kronis BPJS Kesehatan berikut krisis pelayanan kesehatan yang ditimbulkan.
Sudah Terbukti
Lebih dari pada itu, sejarah membuktikan penerapan paradigma Islam yang sahih tentang kesehatan, fungsi negara, dan pembiayaan serta pelaksanaan sistem kehidupan Islam secara total dalam bingkai Khilafah benar-benar memberikan pelayanan kesehatan terbaik selama puluhan abad bagi setiap individu publik. Sampai-sampai bagi yang berpura-pura sakit sekalipun. Bahkan, fakta sejarah peradaban menunjukkan pelayanan kesehatan Khilafah yang dilandaskan pada paradigma Islam yang sahih adalah yang terbaik sepanjang masa.
Ruang pelayanan kesehatan benar-benar meraih puncak kemanusiaan. Salah satu buktinya dipaparkan sejarawan berkebangsaan Amerika, Will Durant, rumah sakit Al Manshuri (683 H/1284 M) Kairo, sebagai berikut, “…Pengobatan diberikan secara gratis bagi pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka; dan sejumlah uang diberikan pada tiap pasien yang sudah bisa pulang, agar tidak perlu segera bekerja…“. [W. Durant: The Age of Faith; op cit; pp 330-1]
Ini adalah kepastian, sebagaimana Allah subhanahu wata’ala tegaskan dalam TQS Ibrahim (14): 24 dan 25, yang artinya, “Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit; (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan izin Rabb-nya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.”
Penutup
Kehadiran sistem kehidupan Islam, Khilafah adalah kebutuhan yang mendesak bagi bangsa ini dan dunia, dengan izin Allah SWT akan hadir kembali sebagai obat dan penyembuh berbagai persoalan dan “penyakit” yang ditimbulkan oleh sistem kehidupan sekularisme-kapitalisme, dalam hal ini defisit kronis pembiayaan kesehatan neoliberalisme dan krisis pelayanan kesehatan yang ditimbulkan hingga ke akar persoalan.
Sehingga, segera terwujud pelayanan kesehatan gratis yang mudah diakses kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja. Tidak saja ada, tetapi dengan derajat kemanusiaan tertinggi, mengutamakan prinsip-prinsip kedokteran terkini dengan berbagai kemajuan teknologinya, di samping menyejahterakan semua pihak. Baik publik, rumah sakit, maupun insan kesehatan.
Lebih dari pada itu, Khilafah adalah syariat Islam yang diwajibkan Allah SWT kepada kita semua.
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu,..” (TQS Al Anfaal: 24).
Wallahu a’lam bishshawab. []
[1] https://www.beritasatu.com/kesehatan/573041/sanksi-penunggak-bpjs-kesehatandinilai-tak-etis
[2] https://m.detik.com/finace/moneter/d-4690271/bpjs-kesehatan-tekor-karena-pendaftaran-mudah-tapi-iuran-macet
[3] Pandangan ini ditegaskan pada awal pembahasan sub bab “Dharaa-ib”, bab “Baytul Maal”, bab “Mizaniyatu Daulah”, kitab nizomul Iqtishodi fil Islaam, halaman 245 (An Nabhani, T. An Nidzomul Iqtishody fil Islam. Darul Ummah. Beirut. 2005. Hal 245
[4] Pandangan ini dipaparkan Syaikhul Islam Taqiyyudin An Nabhani rahimahullah, pada sub bab “Nafaaqatu bayti maal” poin ke empat, bab “Baytul Maal” kitab nizomul Iqtishodi fil Islaam, halaman 236 (An Nabhani, T. An Nidzomul Iqtishody fil Islam. Darul Ummah. Beirut. 2005. Hal 236