Analisis

Deliberalisasi Islam (Kritik atas Liberalisasi Islam)

Oleh: Arief B. Iskandar

MuslimahNews.com, ANALISIS — Banyak gagasan yang disampaikan orang-orang Islam Liberal sebetulnya merupakan repetisi (pengulangan) belaka dari gagasan yang sering dilontarkan oleh kalangan orientalis Barat.

Tulisan ini hanya menyoroti sekaligus mengkritisi sembilan hal di antaranya.

Pertama: Keharusan berpikir substantif, tidak literalistik.

Memang, upaya merumuskan kembali substansi Islam sangat urgen untuk dikedepankan. Namun demikian, apa yang selama ini oleh kalangan Islam Liberal sering dianggap sebagai ‘substansi’ Islam tidak jarang hanya merupakan aspek tekstual Islam. Banyak dari mereka yang alih-alih berpikir substantifistik, yang terjadi, mereka tidak lebih sekadar berpikir tekstualistik.

Ketika Islam diartikan sekadar ‘sikap pasrah’, salat dimaknai sekadar ‘doa’, jihad ditafsirkan sekadar ‘sungguh-sungguh’, syariah dimaknai sekadar ‘jalan’, dst., yang terjadi sebetulnya adalah tafsir tekstual—bukan substansial—atas Islam. (Lihat: M. Husyan Abdillah (1996), Mafâhîm Islâmiyyah, jld 2, hlm. 6-12. Beirut: Darul Bayariq).

Kegagalan menangkap substansi Islam inilah yang justru menjadi sumber perdebatan di seputar wacana syariah Islam yang tidak ada habis-habisnya.

Kedua: Islam itu semacam organisme dan bukan monumen yang mati.

Ini pernah dinyatakan koordinator JIL, Ulil Abshar Abdala. Memang, Islam itu bisa dianggap semacam organisme dan bukan monumen yang mati. Karena itulah, realitas sejarah Islam membuka pintu ijtihad yang pada masa-masa awal membuat peradaban Islam berkembang pesat. Namun, ‘paradigma organisme’ ini pada kenyataannya tidak bisa digeneralisasi, karena ada wilayah-wilayah dalam Islam yang tidak bisa diijtihadi.

Andai paradigma organisme ini begitu menonjol, maka Islam tidak akan tersisa lagi. Salat, puasa, atau haji, misalnya, bisa-bisa dianggap sebagai aktivitas mubazir yang tidak relevan dengan pembebasan manusia dari keterpurukannya.

Ketiga: Harus ada kontekstualisasi Islam; Islam harus dipahami berdasarkan konteks sosiohistorisnya.

Memang, Alquran dan Sunah tidak hanya sekadar teks yang ‘terasing’. Keduanya turun tidak terlepas dari konteks kehidupan manusia pada masanya. Karena itulah, dalam hal ini, kita mengenal apa yang disebut dengan asbâb an-nuzûl dan asbâb al-wurûd.

Namun demikian, tidak semua nas Alquran dan Sunah selalu dilatarbelakangi oleh asbâb an-nuzûl dan asbâb al-wurûd-nya. Apalagi para ulama ushul telah sepakat, bahwa keputusan hukum yang terkandung dalam nas Alquran dan Sunah harus didasarkan pada keumuman ungkapannya, bukan kekhususan sebabnya.

Karena itu ada kaidah ushul yang terkenal di kalangan para ulama ushul:

اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

“Ibrah (baca: hukum) itu bergantung pada keumuman ungkapan, bukan pada kekhususan sebabnya”

Di samping itu, kita mesti membedakan syariah (syari’ah) dalam perspektif Islam dengan hukum (law) dalam perspektif Barat. Dalam perspektif Islam, syariah adalah seruan Asy-Syâri‘ (Allah) yang terkait dengan perbuatan manusia (Lihat: ‘Atha’ ibn Khalil (2000), Al-Wushûl ilâ al-Ushûl, cet. ke-3, hlm. 9. Beirut: Darul Ummah).

Dalam konteks ini, syariah adalah sesuatu yang inheren dengan Islam itu sendiri sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Konsekuensinya, diktum syariah yang dipraktikkan oleh Nabi saw. bukanlah —sebagaimana sering menjadi anggapan kalangan Islam Liberal— merupakan keputusan yang bersifat manusiawi, tetapi bersifat ilahi.

Allah SWT telah berfirman:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى – إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى

Tidaklah apa yang diucapkan Muhammad itu berasal dari hawa nafsu (akal)-nya, melainkan wahyu yang diturunkan kepada dia.” (QS an-Najm [53]: 3-4).

Dalam hal ini, para mufassir sepakat bahwa kata mâ (apa saja) dalam kalimat di atas bermakna umum, yakni mengacu pada seluruh ucapan/tindakan yang terkait dengan risalah (baca: syariah) yang dibawa oleh beliau.

Lebih dari itu, Allah SWT sendiri telah mewajibkan umat Islam untuk mengambil seluruh perkara yang diperintahkan Nabi saw. dan membuang semua hal yang beliau larang:

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa saja yang diperintahkan Nabi kepada kalian, ambillah, dan apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]: 7).

Pemaknaan syariah semacam ini jelas berbeda dengan definisi hukum dalam perspektif Barat. Pasalnya, Barat memandang hukum tidak lebih sebagai aturan produk kesepakatan anggota masyarakat —yang diwakili oleh parlemen— yang berlaku untuk masa tertentu.

Karena merupakan hasil kesepakatan, apalagi berlaku untuk masa tertentu, adanya perubahan undang-undang (bahkan undang-undang dasar) merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Entah dalam rangka merespon aspek ‘sosiohistoris’ yang terus berubah ataupun karena adanya kepentingan yang berbeda.

Baca juga:  Sinyal Liberalisasi di Balik Listrik Mati

Oleh karena itu, ketika syariah Islam —yang merupakan wahyu Allah— dipandang dengan menggunakan kacamata Barat, maka wajar jika ia didudukkan sejajar dengan hukum positif buatan manusia.

Lebih dari itu, kontekstualisasi syariah —yang intinya syariah harus disesuaikan dengan konteks zamannya (dengan asumsi, zaman terus berubah)— sebagaimana yang dipahami kalangan Islam Liberal akan bertabrakan dengan dua prinsip:

  • Pertama: Yang disebut dengan ‘perubahan zaman’ sebetulnya tidak lebih dari perubahan sarana/prasarana yang terkait dengan teknologi.

Ketika orang menyebut zaman Nabi saw. adalah ‘zaman unta’ dan zaman sekarang disebut ‘zaman kuda besi’, itu sebetulnya hanya sekadar merujuk pada sarana/prasarana (teknologi). Manusianya sendiri, baik zaman dulu maupun zaman sekarang tidaklah berbeda. Mereka sama-sama memiliki fitrah (hâjah ‘udhawiyhah dan dan gharâ’iz) yang sama.

Pada faktanya, syariah Islam berkaitan dengan fitrah manusia ini (yang tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang), sama sekali tidak terkait dengan sarana/prasarana (teknologi) yang digunakan manusia.

  • Kedua: Syariah Islam lebih berfungsi sebagai social engineering ketimbang sekadar social control atau, lebih naif lagi, sebagai justifikasi perilaku sosial.

Oleh karena itu, menurut An-Nabhani (2001), kepentingan terbesar Islam sepanjang sejarahnya adalah bagaimana mengondisikan masyarakat dengan Islam, bukan malah menyesuaikan Islam dengan realitas yang ada.

Akan tetapi, sayang, masyarakat modern saat ini lebih menjadikan positivisme —yang mendapatkan akar legalitasnya dari filsafat Comte— sebagai panglima. Inilah yang mengilhami lahirnya istilah ‘hukum positif’. Wajar jika dalam masyarakat semacam ini, parameter akan sulit didapat, karena opini menjadi dewa. Padahal, sebagaimana kata Hitler yang dikutip Amien Rais, (1987), opini massa bisa dengan mudah direkayasa melalui mesin propaganda.

Keempat: Fikih hanyalah tafsir belaka para fukaha terhadap syariah Islam yang dipengaruhi oleh sosiohistorisnya.

Sebagaimana diketahui, para fukaha Islam pada masa lalu telah sepakat untuk mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan mengenai hukum-hukum syariah praktis yang digali dari dalil-dalil (baca: argumentasi) yang rinci (‘Atha ibn Khalil, ibidem.).

Dari sini, bisa dipahami, jika dalam kurun sejarah yang amat panjang, nyaris 14 abad (jika kita ukur sejak zaman Nabi saw. hingga keruntuhan Khilafah terakhir di Turki tahun 1924), secara historis, tidak ada seorang sejarahwan pun yang menemukan bukti bahwa umat Islam —terutama para fukahanya— melakukan perubahan hukum yang signifikan, apalagi mengadopsinya dari peradaban lain. Padahal, secara sosiohistoris, mustahil bahwa dalam kurun yang amat panjang tersebut tidak terjadi perubahan sosial.

Memang betul, di antara para fukaha acapkali terjadi perbedaan pendapat di dalam merespon sejumlah masalah tertentu. Akan tetapi, hal itu lebih didasarkan karena di dalam Alquran dan Sunah sendiri, secara inheren, terdapat sejumlah dalil yang zhannî yang bisa memicu perbedaan pendapat. Selain itu kemampuan mereka untuk memahami nash/dalil juga berbeda-beda.

Adanya perbedaan pendapat di kalangan para fukaha ini, yang bahkan sering terjadi pada kurun dan tempat yang sama (artinya melampaui batas-batas sosiohistorisnya), menunjukkan bahwa mereka konsisten untuk senantiasa menjadikan dalil sebagai parameter, bukan aspek sosiohistorisnya.

Kelima: Islam mengenal adanya ‘nilai-nilai universal’.

Pada faktanya, yang dipandang sebagai ‘nilai-nilai universal’ seperti nilai ‘kemanusiaan’ atau ‘keadilan’ pada tataran praktis akan menemui jalan buntu. Manusia di manapun memang diciptakan Tuhan untuk memiliki berbagai sifat yang sama, misal suka diperlakukan adil.

Namun, bagaimana adil itu diciptakan, ternyata tidak bisa berhenti pada dataran filosofis, namun harus turun ke dataran yuridis (hukum); bahkan pada beberapa hal harus turun lagi ke dataran aritmetis (misalnya, dalam hukum potong tangan atas kasus pencurian, Islam menetapkan kadar minimal harta curian adalah 1/4 dinar [1 dinar=4.25 gr emas]).

Di samping itu, syariah Islam, sebagaimana produk hukum manapun, tidak bisa diobjektivikasi. Contoh kecil, dalam satu kasus yang sama seperti perkosaan, jika diberlakukan dua hukum yang berbeda, yang satu hukum rajam, misalnya, sementara yang lain sekadar hukum penjara tiga bulan kurungan, manakah yang lebih adil? Jika hukuman kurungan tiga bulan dipandang lebih adil, adil bagi siapa? Apakah bagi pemerkosa, bagi yang diperkosa, atau bagi masyarakat? Apa parameternya? Siapa pula yang berhak menentukan adil-tidaknya hukum: manusia (yang serba terbatas) ataukah Allah Yang Mahatahu?

Keenam: Upaya menegakkan syariah adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam atau mengajukan syariah Islam adalah sebentuk kemalasan berpikir.

Baca juga:  [Editorial] Mengais Harap dari Kepemimpinan Sekuler Demokrasi Neoliberal

Ini juga pernah dilontarkan Ulil. Memang, jika kita Ulil menghadapi kalangan ‘radikal’ yang miskin konsep, maka pemahamannya adalah refleksi pengalamannya yang terbatas. Namun, generalisasinya sungguh tidak ilmiah. Sebab, fakta berbicara, ada kelompok-kelompok Islam yang berupaya menegakkan syariah, namun bukan sebagai wujud ketidakberdayaan ataupun malas berpikir. Justru sebagai bentuk keberdayaan berpikir.

Hizbut Tahrir, misalnya, banyak menerbitkan buku-buku yang memuat konsep-konsep syariah tentang pengentasan kemiskinan (sistem ekonomi Islam), sistem moneter Islam, sistem pendidikan Islam, sistem pemerintahan dan politik Islam, sistem hukum dan peradilan, dsb.

Kalau ada yang keberatan dengan pandangan bahwa syariah adalah suatu ‘paket lengkap’ untuk menyelesaikan masalah di dunia di segala zaman, maka selain barangkali ini karena keterbatasan pemahamannya atas syariah itu sendiri, juga keterbatasan dia memahami apa itu ideologi.

Ideologi adalah suatu ide dasar yang di atasnya dibangun suatu paket lengkap sistem untuk solusi atas problematika manusia. Jadi, kalau Ulil mengkritik orang-orang yang memahami Islam sebagai ideologi yang mengajukan syariah sebagai paket lengkap solusi, mengapa dia tidak melakukan kritik yang sama atas ideologi Kapitalisme maupun Sosialisme-Komunisme, yang juga mengajukan paket solusi yang sama—hanya atas dasar yang berbeda?

Ketujuh: Islam itu yang penting substansinya, bukan bentuk legal-formalnya.

Secara jujur kita bisa mengatakan bahwa sebuah ideologi—entah Islam, Kapitalisme ataupun Sosialisme-Komunisme—tidak akan pernah bisa eksis sekiranya hanya ditegakkan substansinya saja, tidak pernah dilegalformalkan atau terlembagakan dalam institusi negara.

Bukankah Islam pernah diperhitungkan eksistensinya pada masa lalu justru melalui institusi Kekhilafahan selama hampir 13 abad?

Bukankah Kapitalisme bisa diperhitungkan eksistensinya saat ini karena diformalkan di dalam institusi negara seperti Amerika dan Eropa?

Bukankah pula Sosialisme-Komunisme diperhitungkan eksistensinya ketika terlembagakan dalam institusi negara seperti Uni Soviet (sebelum bubar) atau Cina [Tiongkok, Ed.]?

Artinya, ideologi manapun, termasuk Islam, hanya akan menjadi ideologi utopia jika tidak pernah terlembagakan dalam negara. Oleh karena itu, sekiranya kita tidak berusaha memformalkan syariah Islam dalam negara, jangan-jangan, kita bukan saja secara pelan-pelan sedang menuju proses desakralisasi syariah, tetapi—lebih dari itu—juga deislamisasi.

Kedelapan: Pluralisme adalah sebuah keniscayaan.

Kemajemukan (pluralitas) adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dinafikan. Itu artinya, bahwa kehidupan manusia memang meniscayakan pluralitas (kemajemukan). Di dalamnya ada kaum pria dan wanita, tua dan muda, yang berkulit hitam dan putih, dengan beragam agama dan kepercayaan. Bahkan, dalam Islam juga dikenal beragam aliran dan mazhab.

Akan tetapi, menarik garis lurus, bahwa kemajemukan (pluralitas) itu identik dengan pluralisme, tentu merupakan kesalahan, kalau tidak mau dianggap penyesatan.

Memang benar, pluralisme adalah paham yang berangkat dari konteks pluralitas. Akan tetapi, sebagai paham, pluralisme jelas berbeda dengan pluralitas (kemajemukan) itu sendiri. Sebagaimana dinyatakan dalam Alquran (QS al-Hujurat [49]: 13), pluralitas adalah sebuah keniscayaan. Pluralitas ini tidak hanya terjadi dalam konteks fisik, tetapi juga nonfisik (menyangkut pandangan, aliran, paham, agama, dan ideologi).

Hanya saja, dalam konteks yang pertama, pluralitas dapat diterima sebagai keniscayaan, seperti apa adanya. Ini berbeda dengan konteks yang kedua. Sebab, yang terakhir ini melibatkan pandangan, aliran, paham, agama, dan ideologi yang menjadi anutan.

Dalam hal ini, seorang Muslim tentu saja harus meyakini bahwa hanya Islamlah yang benar, dan yang di luar Islam adalah salah/batil (Lihat: QS Ali Imran [3]: 19 dan 85). Dalam ayat ini juga sudah sangat jelas, bahwa yang mulia di sisi Allah hanyalah orang-orang yang bertakwa. Mereka tentu saja hanya mungkin berasal dari para penganut akidah Islam; bukan penganut akidah lain di luar Islam.

Kesembilan: Tidak boleh ada monopoli klaim kebenaran (truth claim).

Pluralisme pada faktanya memunculkan klaim kebenaran yang sering dipersoalkan oleh kelompok liberal. Dalam bayangan mereka, kalau masing-masing penganut paham tersebut mengklaim dirinya benar, dan yang lain salah, pasti akan terjadi pemaksaan kebenaran seseorang kepada orang lain.

Menurut mereka, ini berbahaya, karena akan menyebabkan hilangnya pluralitas dan kebebasan. Karena itu tidak boleh ada klaim kebenaran. Kebenaran harus direlatifkan. Dengan begitu masing-masing pihak tidak akan merasa terancam dengan pihak lain, yang mengklaim benar.

Inilah yang melatarbelakangi kelahiran paham pluralisme. Pluralisme intinya menyatakan bahwa semua pandangan, aliran, paham, agama, dan ideologi itu sama-sama benar. Dengan cara seperti itu, kehidupan yang plural bisa tetap dipertahankan dalam keharmonisan.

Paham pluralisme seperti itu justru utopis karena jelas mengingkari kebenaran yang diyakini oleh masing-masing penganut pandangan, aliran, paham, agama, dan ideologi yang memang plural tersebut. Sebab, betapapun tolerannya penganut paham tertentu, dia tetap berkeyakinan, bahwa apa yang dia anut adalah benar. Bagi dia, kebenaran yang dia anut itu bukanlah klaim.

Karena itu, orang Kristen, Hindu atau yang lain pasti akan marah, kalau kebenaran yang mereka yakini itu dianggap sekadar klaim. Apalagi kemudian masing-masing disuruh melakukan kompromi, dengan merelatifkan kebenaran yang mereka yakini, pasti tidak akan mereka terima. Itulah yang juga menjadi sikap Magnis Suseno. Karena itu dengan keras Magnis Suseno menolak pluralisme.

Baca juga:  BKsPPI: Ada Pesan Liberalisasi Disusupkan di Film The Santri

Memang, boleh jadi keragaman pandangan, aliran, paham, agama, dan ideologi akan menyebabkan terjadinya benturan. Ini merupakan keniscayaan yang tidak dapat dielakkan. Karena itu menghindari benturan, dengan mengingkari perbedaan atau pluralitas, jelas merupakan pengingkaran terhadap fakta.

Demikian halnya, menghindari benturan dengan mengingkari klaim kebenaran juga bertentangan dengan kenyataan. Karena itu, sebagai keniscayaan, benturan tersebut pasti akan terjadi, sebagai konsekuensi dari kemajemukan. Masalahnya, bagaimana caranya benturan tersebut tidak menyebabkan terjadinya disharmonisasi dalam komunitas sosial? Itulah yang sesungguhnya harus diatur.

Caranya, benturan itu harus diwadahi dalam batas-batas nonfisik, atau bersifat pemikiran dan intelektual semata. Karena itu, benturan yang terjadi sebagai konsekuensi dari kemajemukan tersebut tidak boleh mengarah pada konflik fisik. Nah, dengan cara seperti itulah, pluralitas yang ada justru bisa diselesaikan dengan baik. Inilah yang sesungguhnya diajarkan oleh Islam.

Islam tidak memaksa orang non-Muslim untuk memeluk dan meyakini Islam (QS al-Baqarah [2]: 256). Orang non-Muslim, baik Ahlul Kitab, seperti Yahudi dan Nasrani, maupun musyrik, seperti Hindu, Buddha, Konghucu, dan sebagainya, juga tetap bisa hidup di dalam Daulah Islam. Mereka bebas memeluk keyakinan mereka dan mengklaim kebenaran atas keyakinan mereka.

Hanya saja, melalui proses dakwah yang dilakukan secara argumentatif (bi al-hikmah) dan debat terbuka dengan menampilkan argumen yang lebih unggul (wa jadilhum bi-Llati hiya ahsan) (QS an-Nahl [16]: 125), ditopang dengan penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, maka orang-orang non-Muslim itu pun akhirnya bisa meyakini, bahwa Islamlah satu-satunya agama dan ideologi yang benar.

Pada akhirnya mereka akan berbondong-bondong memeluk Islam, bukan karena terpaksa, tetapi dengan sukarela. Dengan begitu, kebenaran yang sebelumnya mereka klaim pun akhirnya mereka tinggalkan setelah menyaksikan kebenaran Islam.

Akan tetapi, semuanya itu ditampilkan oleh Islam secara elegan dan rasional. Kisah masuk Islamnya ribuan orang Kristen di Irak, di tangan Abu Hudzail al-‘Allaf, tokoh Muktazilah, setelah melalui debat intelektual, adalah sedikit bukti yang bisa dipaparkan di sini.

Coba kita bandingkan dengan cara kapitalis maupun sosialis. Kapitalisme, dengan pluralismenya, memaksa agar masing-masing penganut keyakinan tertentu merelatifkan kebenaran yang mereka anut. Dengan kata lain, mereka tidak boleh mengklaim benar sendiri. Setelah itu, mereka dipaksa untuk menerima sebagian kebenarannya sendiri, dan kebenaran orang lain. Inilah yang kemudian dikenal dengan sinkretisme/eklektisisme.

Sebaliknya, Sosialisme justru memberangus setiap paham yang berbeda dengannya. Karena itu, baik solusi yang ditawarkan oleh Kapitalisme maupun Sosialisme jelas bukan merupakan solusi yang sesuai dengan akal dan fitrah manusia.

Perang Salib yang dilakukan oleh Dunia Barat terhadap Islam telah melahirkan kesimpulan bahwa Islam dan umatnya tidak bisa dikalahkan secara fisik, melalui perang. Karena itu Barat mulai menyadari, bahwa kaum Muslim harus dikalahkan dengan pemikiran.

Pada abad ke-14 M, mereka mendirikan kajian ketimuran (oriental studies), yang kemudian melahirkan orientalisme. Akan tetapi, sayang, kajian mereka tidak berangkat dari argumentasi yang logis, melainkan berakar dari kebencian terhadap Islam. Akibatnya, upaya untuk mengalahkan klaim kebenaran Islam itu tidak pernah mereka lakukan dengan jujur dan objektif.

Di sisi lain, mereka juga tidak berani melakukan benturan dengan Islam secara terbuka. Karena itu mereka pun menempuh langkah penyesatan. Apa yang bukan dari Islam, mereka katakan Islam, bersumber dari Islam, atau bahkan dikatakan sebagai inti dari ajaran Islam. Inilah yang terjadi dalam kasus sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, misalnya.

Dengan demikian, pemikiran yang mereka gunakan untuk mengalahkan Islam, sejatinya bukan pemikiran argumentatif yang logis, melainkan tikaman dan penyesatan terhadap Islam. Wallâhu a‘lam. [MN]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *