Editorial

Pindah Ibu Kota, Demi Apa?

Munculnya semua polemik terkait pemindahan ibu kota adalah sesuatu yang lumrah. Terlebih performa rezim ini memang lekat dengan paradigma kapitalis neoliberal dan dikenal sangat dekat dengan pemerintahan Cina, bahkan nampak sangat bergantung kepadanya.


MuslimahNews.com, EDITORIAL — Meski kritik pedas bertubi disampaikan, nampaknya Presiden Jokowi sudah bertekad bulat, ibu kota harus dipindahkan. Dan pilihannya, jatuh kepada wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian wilayah Kutai Kertanegara di Provinsi Kalimantan Timur.

Tak usah ditanya, apakah keputusan ini berbasis studi kelayakan ataukah tidak. Yang jelas ibu kota, menurutnya, “Bukan hanya simbol identitas bangsa, tetapi juga representasi kemajuan bangsa. Ini demi terwujudnya pemerataan dan keadilan ekonomi. Ini demi visi Indonesia maju. Indonesia yang hidup selama-lamanya.” Demikian isi pidato kenegaraannya di Gedung MPR/DPR (16/8/2019).

Masalahnya, meski pindah ibu kota merupakan hal biasa, banyak pihak yang memandang, belum cukup alasan ibu kota berpindah saat sekarang. Apalagi anggaran yang dibutuhkan sangatlah besar. Yakni sekira 466 triliun rupiah.

Faktanya, situasi keuangan negara hari ini sedang dalam keadaan morat marit. APBN selalu tekor. Utang luar negeri terus menumpuk. Sampai-sampai demi alasan menutup defisit anggaran, negara berkali-kali mengeluarkan kebijakan yang membuat hidup rakyat makin kesulitan.

Lihat saja. Pajak sudah merambah di berbagai bidang. Hingga kresek dan pempek pun tak luput dari incaran.

Iuran BPJS juga dipastikan naik dua kali lipat. Disusul rencana pengurangan kembali subsidi listrik dan LPG yang dipastikan berdampak kenaikan harga-harga kebutuhan. Juga rencana kenaikan tarif PDAM dan tarif tol, karena perusahaan terus mengalami kerugian.

Lantas mengapa Pemerintah begitu ngotot? Alih-alih berpikir keras menuntaskan berbagai problem yang sudah ada, malah sibuk dengan proyek-proyek pembangunan mercusuar yang manfaatnya hanya dirasakan sebagian kecil masyarakat saja.

Terlebih, di luar soal anggaran, banyak pula yang menyorot dari sisi aspek ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, hingga aspek politik yang tentu tak bisa disederhanakan, apalagi diabaikan. Mereka melihat, biaya sosial, ekonomi, dan budaya yang harus dibayar akan sangat besar. Karena memindahkan ibu kota tentu tak semudah pindah rumah.

Faktanya, akan ada banyak aspek dan pihak yang terlibat. Karena yang terjadi adalah perpindahan manusia berikut segala yang melingkupinya. Itupun bukan hanya pejabat dan ASN-nya saja, tapi juga sanak keluarganya.

Aspek lingkungan apalagi. Mengingat Kalimantan adalah salah satu paru-paru dunia. Andai diubah menjadi ibu kota —sekalipun hanya untuk administrasinya—, tetap saja akan berdampak pada perubahan lingkungan. Pertumbuhan kawasan-kawasan ekonomi baru tak mungkin dihindarkan. Dan dampaknya, tentu saja akan memicu konversi besar-besaran lahan hutan.

Baca juga:  Demokrasi Menyamakan Suara Kaum Cendikia dengan Pengidap Gangguan Jiwa

Soal anggaran, pemerintah memang beralasan, tak akan menggunakan anggaran negara kecuali 19 persennya saja. Itu pun akan didapat dari skema kerja sama pengelolaan aset di ibu kota baru dan di DKI Jakarta, termasuk menjual sebagian lahan milik negara kepada swasta. Sementara untuk menutupi sisanya, bisa diperoleh dengan Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), serta investasi langsung baik dari pihak swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Namun, penjelasan soal skema anggaran ini justru menguatkan arus penolakan. Karena rencana pemindahan ibu kota ternyata membuka akses besar terhadap proses kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi yang lebih masif dan merata. Mengingat para pelaku bisnis yang nanti akan terlibat, tentu adalah para kapitalis level naga, yang orientasinya tak semata demi kepentingan negara, tapi akan berhitung soal profit atau kompensasi yang harus didapatkan.

Wajarlah jika banyak yang curiga, bahwa di balik rencana pemindahan ibukota, ada proyek bancakan dari berbagai korporasi kelas naga, baik level lokal maupun level internasional. Maklumlah, sistem politik di Indonesia, memang meniscayakan demikian. Politik kekuasaan, tak bisa dipisahkan dari permainan para pemilik modal. Bahkan, para pemilik modal menjadi penopang utama kekuasaan.

Salah satu bukti kecilnya, rencana proyek mercusuar ini serta merta membuat girang para spekulan tanah dan para pengusaha properti karena dipandang berimbas positif bagi proyek padat modal mereka. Bahkan, proyek belum dimulai pun, beberapa dari mereka sigap memanfaatkan isu pemindahan ibu kota sebagai tagline iklan penjualan produk properti mereka.

Yang lebih politis, ada pula yang menghubungkan rencana pemerintah ini dengan kepentingan asing dalam proyek OBOR Cina dan wacana The New Jakarta Project 2025 yang juga disebut sebagai visi Singapuranisasi Jakarta. Hal ini melengkapi kecurigaan yang tengah berkembang di tengah masyarakat terkait ambisi Cina menguasai Indonesia melalui pembiayaan proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang super masif, sistematis, dan terstruktur di berbagai tempat lainnya.

OBOR (One Belt One Road) sendiri adalah proyek pemerintah Cina untuk mengembalikan kejayaannya menguasai jalur sutra di masa lalu melalui upaya penyambungan urat nadi perdagangan dunia. Melalui proyek ini dibangunlah megainfrastruktur di titik-titik jalur perdagangan sutera baru, dalam rangka memperkuat fasilitas perdagangan, dengan fokus pada penghapusan hambatan dagang (trade barriers), guna mengurangi biaya perdagangan dan investasi mereka di dunia.

Dan Indonesia adalah salah satu titik sasaran strategis. Mengingat Indonesia secara internasional memiliki pengaruh penting, baik secara geopolitis maupun geostrategis, serta memiliki potensi sumber alam dan potensi pasar yang sangat besar.

Di laman website resminya, Menkominfo memang telah mengklarifikasi tudingan masyarakat soal adanya keterkaitan antara pemindahan ibu kota dengan proyek OBOR Cina. Bahkan menyebutnya sebagai hoax. Namun kecurigaan masyarakat ini tentu bukan tanpa alasan.

Baca juga:  Islam adalah Sistem Hidup, bukan Sekadar Nilai-nilai

Ada banyak peristiwa yang menunjukkan betapa Cina memang sangat berkepentingan ‘menyokong’ berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang berbasis konsep interkoneksi yang didedikasikan untuk mempermudah arus keluar masuk orang, modal, barang dan jasa. Di samping ada fakta, pemerintah Indonesia dan Cina juga intens membangun kerjasama-kerjasama dagang yang berbasis pengurangan atau penghapusan tarif bea masuk barang dan jasa.

Saat KTT Belt and Road Initiative (BRI) di Beijing, April lalu, setidaknya ada 23 Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding–Mou) dari 28 proyek strategis yang ditawarkan yang telah diteken oleh pebisnis Indonesia dan Cina.

Tentang hal ini, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang dikenal sangat Cina minded itu mengatakan, dengan ditandatanganinya MoU ini, berarti proyek kerja sama Indonesia dan Cina dalam kerangka One Belt One Road (OBOR) –yang sekarang berubah menjadi BRI (Belt Road and Initiative) atau dikenal pula dengan sebutan empat koridor–, siap dilaksanakan. Keempat koridor itu ada di Sumatra Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Pulau Bali.

Dalam skema kerja sama proyek OBOR Cina tersebut, wilayah Kalimantan Timur yang kini dipilih sebagai calon wilayah ibu kota baru memang tidak disebut-sebut sebagai salah satu koridornya. Namun, sebagian masyarakat tetap saja percaya bahwa pemilihan wilayah ini ada kaitannya dengan upaya menyukseskan proyek OBOR Cina, termasuk yang ada di Kalimantan Utara. Setidaknya, wilayah Kaltim relatif dekat dengan perbatasan negara, sehingga perlu juga dipersiapkan infrastruktur wilayah di sekitarnya.

Alaa kulli haalin, munculnya semua polemik terkait pemindahan ibu kota adalah sesuatu yang lumrah. Terlebih performa rezim ini memang lekat dengan paradigma kapitalis neoliberal dan dikenal sangat dekat dengan pemerintahan Cina, bahkan nampak sangat bergantung kepadanya.

Dan realitasnya, semua kebijakan dan proyek pembangunan yang digagas oleh rezim ini memang sangat berpihak pada kepentingan para kapitalis, bil khusus kapitalis Cina. Bahkan, pemerintah Indonesia seakan memberi karpet merah pada mereka untuk lebih masif mengeksploitasi sumberdaya milik kita, memanfaatkan tenaga kerja murah dari kalangan masyarakat kita, serta menjadikannya sebagai objek pasar besar bagi barang-barang produksi mereka.

Sungguh kondisi miris ini tak akan pernah terjadi seandainya paradigma yang digunakan negara adalah paradigma kepemimpinan Islam. Karena Islam menjadikan fungsi kepemimpinan negara sebagai pengurus sekaligus pelindung bagi rakyat, tanah air, dan kedaulatannya.

Dalam Islam, negara haram membuat kebijakan yang merugikan rakyat, apalagi hingga menyerahkan kedaulatannya. Bahkan melalui penerapan seluruh aturan Islam, tertutup celah bagi pihak manapun untuk menguasai aset-aset strategis yang bisa menjadi jalan penjajahan asing atas wilayah negara meski hanya sejengkal.

Baca juga:  Kebijakan Soal Games yang bikin Gemes

Negara dalam Islam, akan memaksimalkan seluruh potensi yang dimiliki, untuk menyejahterakan rakyatnya dengan pendekatan person to person, baik untuk hal terkait kebutuhan dasar maupun terkait kebutuhan komunal alias layanan publik. Dan ini niscaya, karena dengan penerapan sistem ekonomi Islam, negara akan memiliki modal cukup untuk membangun tanpa harus tergantung kepada permodalan dan bantuan tenaga asing.

Dalam sistem ekonomi Islam, pengaturan soal kepemilikan kekayaan memang menjadi hal yang mendasar. Islam menetapkan, seluruh sumber daya alam yang depositnya melimpah adalah milik rakyat. Demikian pula sumber-sumber kekayaan berupa air, energi dan hutan. Sehingga tak diperkenankan pihak manapun menguasainya, sekalipun atas izin negara. Bahkan negara diharamkan membuka celah ketergantungan pada asing, dengan alasan apapun.

Negara dalam Islam, wajib memastikan bahwa seluruh kebijakannya memang didedikasikan untuk kemaslahatan rakyat dan memperkuat kedaulatan negara. Dan ini dimungkinkan jika negara menerapkan seluruh aturan Islam (poleksosbudhukhankam) secara murni dan konsekuen atas landasan keimanan dan ketakwaan.

Dan amanah kepemimpinan ini akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Manakala mereka lalai atau khianat, maka mereka diancam dengan hukuman yang berat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran.” (HR. Tirmidzi)

Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum Muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat…” (Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim)

Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat.” (HR. Ath-Thabrani)

Wallaahu a’lam bi ash-shawwab.[]SNA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *