BeritaFeature

Framing Kampus Terpapar Radikalisme, Waspadai Pecah Belah Umat

Semua ini menunjukkan kegagalan rezim dalam menjalankan fungsi kepemimpinan, yang disebabkan karena 2 faktor, yaitu rezim tidak punya konsep bernegara yang kuat dan tangguh, selanjutnya rezim dibangun atas asas yang keliru yaitu asas sekularisme.


MuslimahNews.com, FEATURE — Belakangan ini isu radikalisme menggema di seluruh Nusantara, tak terkecuali dalam ranah pendidikan. Bahkan, Kemenristek Dikti pada Juni lalu merilis 10 nama Perguruan Tinggi terpapar radikalisme.

Kesepuluh perguruan tinggi itu adalah Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Institut Teknologi Bandung, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga, dan Universitas Mataram.

Isu radikalisme ini kemudian mendapat perhatian dari para intelektual kampus. Wujud dari perhatian ini adalah terselenggaranya sebuah agenda diskusi Muslimah yang membahas tentang benarkah kampus terpapar radikalisme, Sabtu (25/8/2019) di Makassar.

Sejumlah dosen dari berbagai kampus menghadiri kegiatan ini dan mengemukakan berbagai pandangan mereka terkait isu tersebut. Tak banyak perbedaan pendapat di antara mereka. Mayoritas tokoh intelektual dalam forum tersebut memandang bahwa isu ini adalah framing buruk terhadap dunia kampus.

Salah seorang dosen di salah satu PTN kota Makassar menganalisis bahwa isu radikalisme ini berbahaya untuk daya kritis intelektual.

Kita bisa melihat bahwa isu radikalisme ini bisa menggiring dosen untuk bungkam terhadap menyuarakan kebenaran. Seperti yang terjadi pada Prof Suteki, karena menjadi saksi ahli pada kasus pencabutan BHP HTI, beliau dicap sebagai dosen radikal. Targetnya framing ini adalah setiap dosen berbicara tentang kebenaran Islam, serta Islam sebgai solusi permasalahan, maka akan dicap sebagai dosen radikal, atau bagian dari orang-orang yang anti Pancasila dan anti NKRI,” ungkapnya.

Baca juga:  Menggoreng Isu Radikalisme, Topeng Tutupi Hancurnya Ekonomi

Dia juga menyeru kepada rekan sesama dosen dalam forum tersebut untuk waspada, jangan sampai isu ini membelokkan kewajiban dan peran mereka sebagai akademisi.

Salah satu dosen di Makassar juga memberikan penjelasan bahwa yang terjadi saat ini adalah fobia akut terhadap Islam dan ajarannya. “Memang ada ketakutan pada pemerintah kita terhadap Islam. Mungkin solusi yang bisa saya simpulkan di sini adalah memberikan pemahaman yang jelas tentang Islam yang benar. Agar tidak ada kesalahpamahan dan fobia terhadap agama kita ini.

Sementara, dari rilis 10 kampus radikal ini, dianggap merupakan upaya mengerdilkan kampus sebagai produsen para pemikir, ini akan memandulkan fungsi kritis Mahasiswa maupun dosen terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan framing kampus terpapar radikalisme ini dan daya tekan rezim yang kuat akan membuat dosen dan Mahasiswa bungkam terhadap kebenaran. Padahal kata beliau, wujud dari pengabdian intelektual kepada umat adalah menyuarakan kebenaran dan berbicara untuk kepentingan umat.

Untuk itu, forum tersebut menyepakati bahwa harus ada upaya terstruktur yang dilakukan umat. Intelektual harus memahami akar permasalahan yang dihadapi kaum Muslimin. Bahwa kondisi dunia hari ini termasuk Indonesia berada dalam cengkeraman kapitalisme global.

Radikalisme adalah proyek barat untuk menjaga kepentingan mereka untuk menguasai dunia.

Islamofobia berlanjut dengan dimunculkannya Khilafah sebagai bahasa yang bermasalah. Hal ini dalam rangka menghadang kebangkitan Islam. “Kenapa Khilafah dimusuhi? Karena hanya Khilafah yang bisa menghentikan hegemoni barat atas dunia Islam.

Baca juga:  Sertifikasi Dai dan Deradikalisasi

Selanjutnya, dalam forum tersebut pun dikupas tentang radikalisme di Indonesia, hal ini juga merupakan pengalihan masalah kegagalan rezim. Misalnya kegagalan rezim di bidang pendidikan, rezim menjanjikan adanya IR 4.0 akan meningkatkan kualitas pendidikan dan daya saing di bidang pendidikan.

Tapi apa yang terjadi? Konsekuensi logis dari penerapan kapitalisme berdampak pada mahalnya biaya pendidikan dan pengalihan fungsi pendidikan tinggi dan arah riset. Justru kemajuan teknologi semakin menguatkan penjajahan di bidang pendidikan.

Lalu, di bidang kesehatan, BPJS gagal melayani kesehatan rakyat. Fakta yang terjadi BPJS hanya merupakan iuran yang dipaksakan, jika tidak ada BPJS, tak mendapatkan beberapa layanan. Dana BPJS disebut defisit, tapi anehnya menyumbang 73 triliun untuk infrastruktur. Dan masih banyak lagi bukti kegagalan rezim.

Semua ini menunjukkan kegagalan rezim dalam menjalankan fungsi kepemimpinan, yang disebabkan karena 2 faktor, yaitu rezim tidak punya konsep bernegara yang kuat dan tangguh, selanjutnya rezim dibangun atas asas yang keliru yaitu asas sekularisme. “Jadi, yang gagal adalah rezim, tapi kenapa Khilafah yang dimusuhi? Jika rezim yang gagal maka rezimlah yang harus dijauhi dan diganti dengan Khilafah.”

Radikalisme ingin menjadikan islamofobia untuk melenyapkan pemikiran ideologi Islam. Bagaimana mungkin mereka memisahkan ideologi yang melekat dengan akidah Islam. Ide yang paling ditakuti adalah Khilafah. Khilafah merupakan kepemimpinan yang satu untuk umat Islam yang menerapkan semua hukum Islam. Khilafah merupakan mahkota kewajiban. Jadi proyek besar barat adalah jangan pernah kaum Muslim bersatu dalam Khilafah. Padahal Khilafah adalah solusi atas semua persoalan bangsa. Kaum Muslimin mencapai masa kejayaan di berbagai bidang saat Khilafah tegak.

Baca juga:  [News] Ustaz MIY: Memandang 2021, Otoritarianisme Makin Lengkap

Menanggapi isu ini setidaknya harus ada 3 sikap yang harus diambil sebagai intelektual. “Yang pertama, harus membongkar fakta-fakta buruk yang dimainkan oleh penjajah melalui kaki tangannya yang sengaja diarahkan pada Islam seperti radikalisme ini. Kedua, edukasi untuk memunculkan kesadaran politik yang sahih di tengah-tengah umat khususnya di kampus. Ketiga, harus ada entitas Islam atau jamaah yang merumuskan langkah-langakah atau metode untuk mengaplikasikan konsep yang menjadi kajian intelektual,” tukas salah satu peserta diskusi.

Diskusi kemudian berakhir dengan pandangan yang sama bahwa isu radikalisme ini merupakan framing buruk yang ditujukan untuk menyerang Islam, dan amat berbahaya untuk keutuhan dan persatuan kaum Muslim.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *