Editorial

Indonesia (Memang) Sudah Lama Jadi Kapitalis Liberal

Inilah potret asli Indonesia. Negara yang kaya raya namun banyak perampok di dalamnya. Perampok yang berkonspirasi dengan asing untuk menghancurkan kedaulatan dan melemahkan rakyatnya.


MuslimahNews.com, EDITORIAL — Saat memberikan kuliah umum di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, yang bertema “Tantangan Bangsa Indonesia Kini dan Masa Depan” pada 14/8 lalu, Surya Paloh lugas menyatakan, bahwa sistem bernegara Indonesia menganut sistem kapitalis yang liberal.

Indonesia –menurutnya– terlalu bersahabat dengan pragmatisme transaksional. “Kita bertikai satu sama lain. Kita dekat dengan materialistik, kita bersahabat dengan pragmatisme transaksional, kita pakai jubah nilai-nilai religi, tapi kita sebenarnya penuh hipokrisi (munafik),” tuturnya.

Lepas dari soal motif, statement SP yang Ketua Umum Partai Nasdem ini jelas bukan sekedar tudingan biasa. Secara politik, SP dan parpol yang diusungnya, sempat satu kubu dengan rezim petahana yang dikritiknya. Bahkan partainya, diketahui merupakan mitra utama partai pemenang dalam pertarungan pesta demokrasi periode ini.

Namun sayang seribu sayang. Saat kemenangan sudah di tangan, kue kekuasaan nampak menyilaukan. Semua parpol yang bermitra kemudian saling berebut jatah hidangan. Bahkan hingga level yang menggelikan.

Semua tanpa malu menuntut keuntungan saham, baik dengan bahasa halus maupun dengan bahasa sedikit lancang. Dan puncak pemicu kesenewenan adalah saat pidato kontroversial sang pinisepuh disampaikan di hadapan para pimpinan. Sungguh nampak sangat arogan dan mengecewakan.

Kekecewaan itulah yang nampaknya membuat SP akhirnya bicara blak-blakan. Bahwa Indonesia ini sudah benar-benar salah jalan. Menapaki jalan politik yang semua berbasis uang. Bicara pancasila, tapi ideologi yang diterapkan justru pancasila boong-boongan.

Namun meski statement-nya benar, Surya Paloh jelas sudah terlalu kesiangan. Indonesia memang sejak lama tersesat menapaki jalan salah. Masuk dalam perangkap skenario yang dibuat penjajah, menerima sekularisme sebagai landasan berbangsa dan bernegara, bahkan sejak momen kemerdekaan diumumkan.

Tersebab itulah, sejak berdirinya, bangunan Indonesia nampak tak punya tiang pancang yang kuat. Pengaruh penjajahan, kadung masuk lewat para penguasa dan pejabat, berikut kelompok thinkthank yang sebelumnya sudah disiapkan. Dan tentunya mereka sudah terjauhkan dari visi misi Islam yang sebenarnya diinginkan para pejuang.

Betul bahwa saat Soekarno berkuasa, Indonesia masih punya sedikit kedaulatan. Namun tiang pancang bangunan sekuler yang rapuh tadi, membuat pintu penjajahan tetap terbuka lebar. Di aspek ideologi, politik, ekonomi, hukum, maupun sosial budaya, tak ada satu pun yang bisa benar-benar bebas dari pengaruh atau kepentingan negara-negara besar.

Setidaknya, secara ideologi dan politik, Indonesia, sejak awal berdirinya, sudah masuk dalam kancah perebutan pengaruh dua kekuatan besar. Yakni antara blok Timur dan Barat alias blok kapitalisme dan sosialisme.

Namun ujung dari semuanya adalah sama. Yakni, perebutan loyalitas, demi dan atas nama upaya penguasaan sumberdaya indonesia yang potensinya luar biasa. Bil khusus sumberdaya minyak, emas dan bahan tambang lain yang depositnya sangat besar. Bahkan dalam suksesi kekuasaan Soekarno pun ditengarai ada peran CIA, berikut aroma target penguasaan emas oleh Amerika.

Baca juga:  Memalak Rakyat atas Nama Pajak

Di masa setelahnya, yakni masa Soeharto, siapapun akhirnya tahu, visi Indonesia memang mulai serius bergeser ke sudut Barat. Kebijakan-kebijakan ekonominya diarahkan para intelektual yang dididik dan dikader di dunia barat.

Mereka tak lain adalah para mafia Barkeley yang otaknya sudah terdoktrin sedemikian rupa. Bahwa Indonesia akan maju saat mengikuti jejak hidup para penjajah dan mengikuti arahan-arahan mereka. Yakni dengan mengadopsi paham sekularisme, berikut sistem hidupnya yang kapitalistik dan menjunjung tinggi paham kebebasan.

Itulah yang halus menyusup melalui penerapan konsep pembangunan bertahap ala JJ Rostow. Yakni konsep Repelita yang justru berhasil memandulkan potensi Indonesia untuk menjadi negara industri maju melalui pengelolaan sektor-sektor strategis. Dan akhirnya justru membuat Indonesia benar-benar tinggal di landasan.

Saat itu, Indonesia malah berasyik masyuk dengan keberhasilan proyek swa sembada pangan yang fenomenal. Dan lantas lupa bahwa untuk menjadikan indonesia negara yang kuat haruslah bersegera menguasai industri berat, bukan malah meninggalkannya dengan dalih tak cukup dana.

Yang lebih fatal, penguasa di masa itu berhasil dijebak oleh konsep pembangunan berbasis utang. Investasi modal asing pun mengalir masuk dengan lancar. Satu demi satu sektor strategis, dikuasai modal asing, yang tentunya tak lepas dari riba dan resiko ketergantungan. Yang fenomenal, adalah jatuhnya emas papua pada PT Freeport Mc Moran asal Amerika di tahun 1969.

Melansir catatan USAID di bulan Nopember 2018 lalu, dalam periode 1967 hingga 1971 saja, pemerintah Indonesia sudah membuka pintu untuk 428 investor asing dengan total nilai investasi mencapai US$ 1,6 miliar, di luar sektor minyak bumi. Dan di era 1983-1997 liberalisasi pun berlangsung makin masif, termasuk di bidang pertanian dan pangan.

Baca juga:  Sri Mulyani Sebut Negara Rugi Rp22 Triliun karena Bencana, Pengamat: Penguasa Bermental Kapitalis hanya Hitung-hitungan Untung Rugi

Betul bahwa ekonomi Indonesia saat itu bertumbuh dengan signifikan. Namun dengan kecepatan yang tak wajar dan minus pemerataan. Membentuk gap sosial yang lebar dan bubble economy yang menggelembung sedemikian besar. Hingga di saat yang tepat, diletuskan oleh kekuatan asing yang ingin melanggengkan penjajahan.

30 tahun kekuasaan Soeharto pun akhirnya tumbang. Dan masuklah Indonesia pada babak baru yang sebelumnya tak pernah dibayangkan. Semua percaya, bahwa suksesi dilakukan secara paksa akibat loyalitas Sang Jenderal tak bisa lagi dipegang oleh si tuan karena mulai dekat dengan kubu Islam.

Maka, jatuhlah Indonesia pada krisis berkepanjangan. Krisis yang kian memudahkan lembaga rente dunia IMF masuk menjerat Indonesia lebih dalam. Memberi berbagai advis yang justru makin menjerumuskan Indonesia ke kubangan lumpur sistem neoliberal dan penguasaan asing secara lebih legal.

Di fase ini, privatisasi aset-aset milik negara, pencabutan subsidi, deregulasi dan debirokratisasi dll benar-benar gencar dilaksanakan. Dan sesuai advis IMF, berbagai undang-undang berbau neoliberal pun terus diproduksi untuk mengukuhkan proyek liberalisasi yang sejatinya merupakan wujud baru penjajahan.

Maka tak heran jika di fase ini kekuasaan swasta dan asing kian merajalela. Apa yang disebut oleh Karl Marx sebagai proses akumulasi modal memang benar-benar terjadi. Perusahaan-perusahaan bermodal minim dan rakyat kebanyakan pun kian tersingkirkan.

Di pihak lain, muncullah raksasa-raksasa ekonomi baru yang menguasai penuh berbagai faktor ekonomi termasuk modal. Bahkan kekuatan modal ini kian menggurita, hingga mencengkram bidang politik kekuasaan. Maka terbangunlah apa yang disebut sistem politik korporatokrasi. Yakni sebuah sistem kekuasaan yang disetir kekuatan modal.

Bukan kebetulan jika kondisi ini sejalan dengan sistem pemerintahan yang diterapkan. Yakni sistem demokrasi yang sejatinya memang menjadikan kekuatan modal sebagai basis kekuasaan. Sehingga sistem politik demokrasi dikenal pula sebagai politik berbiaya mahal.

Dampak kolaborasi sistem pemerintahan demokrasi dan sistem ekonomi liberal ini menghasilkan pola hubungan penguasa pengusaha sebagai simbiosis mutualisma. Namun di pihak lain, antara penguasa dan rakyatnya, justru terjalin hubungan laiknya pembeli dan pedagang. Peran negara sangat diminimalisir, sementara peran swasta dibuka lebar-lebar.

Baca juga:  Moderasi Islam di Tengah Pandemi, Lebih Ganas dari Virus Corona

Ironisnya, swasta dimaksud adalah swasta yang sudah bermain mata dengan para pemangku kekuasaan. Atau bisa jadi, karena para penguasanya pun memang berprofesi sebagai pengusaha besar.

Maka jangan heran, jika dengan dalih demi efisiensi, aset-aset strategis milik rakyatpun satu demi satu dijual atau dilego kepada swasta. Dan di saat sama, pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam milik umat pun diserahkan kepada mereka.

Ironisnya, tak sedikit para pejabat yang ikut bermain, apakah dengan menjadi pemegang saham, atau langsung memegang konsesi pengelolaan. Dan semuanya dilegalkan oleh undang-undang!

Jadilah Indonesia yang super kaya raya ini kian tergadai kepada swasta, terutama asing. Utang yang menumpuk pun, dianggap kewajaran. Tanah airnya dipetak-petak dan diserahkan kepada pengusaha. Sementara semua infrastruktur yang jor-joran dibangun hanya didedikasikan demi kepentingan korporasi.

Adapun rakyat kebanyakan, tak bisa lagi menjadi tuan di negerinya sendiri. Mereka hanya jadi objek pemalakan oleh penguasa yang bisanya cuma mengeluh soal defisit anggaran, dan ujung-ujungnya kembali mengemplang utang. Program-program subsidi layanan publik pun, sedikit demi sedikit dihapuskan. Alasannya, lagi-lagi demi mengirit anggaran.

Inilah potret asli Indonesia. Negara yang kaya raya namun banyak perampok di dalamnya. Perampok yang berkonspirasi dengan asing untuk menghancurkan kedaulatan dan melemahkan rakyatnya.

Inilah potret asli Indonesia. Negeri Muslim yang kaya raya. Namun rakyatnya menderita tersebab penguasa tak peduli pada agamanya. Yakni agama Islam yang mengatur urusan negara dan rakyat sejalan dengan titah Allah SWT.

Sungguh dalam Islam, penguasa adalah pengatur dan pelindung dunia akhirat rakyatnya. Yakni dengan menerapkan sistem aturan hidup yang dipastikan akan membawa kebaikan dan keberkahan bagi semua.

Aturan inilah yang hari ini musuh berkehendak mencegah penegakkannya. Dikarenakan tegaknya aturan dan sistem Islam akan menghentikan kerakusan mereka dan menghapus mimpi-mimpi mereka.

Sudah saatnya umat mencampakkan sistem sekuler demokrasi kapitalis neoliberal yang terbukti menjadi jalan penjajahan. Dan bangkit dengan menegakkan sistem Islam. Yakni sistem Khilafah warisan nabi Muhammad Saw.

Sistem inilah yang telah terbukti selama belasan abad membawa umat pada kemuliaan. Sekaligus mampu menutup jalan penguasaan swasta dan asing. Karena sistem ini secara tegas menempatkan negara sebagai penanggungjawab utama urusan rakyat sekaligus menjadi pelindung umat dari setiap ancaman.[]SNA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *