Editorial

Mengaku Muslim, Tapi Alergi Syariah dan Khilafah (?)

MuslimahNews.com, EDITORIAL — Aneh rasanya, jika ada yang mengaku muslim tapi sangat sensitif mendengar kata syariah dan khilafah. Apalagi tak sedikit pula di antara mereka yang sangat benci terhadap gagasan penegakannya.

Namun, itulah yang terjadi pada sebagian petinggi di Indonesia. Meski mayoritas mereka beragama Islam, namun kata syariah dan khilafah seolah menjadi kata yang menyeramkan. Ide penegakannya pun dianggap sebagai ancaman berbahaya. Seolah-olah, jika syariah dan khilafah tegak, maka Indonesia ini akan hancur berantakan.

Sebelumnya, narasi ‘syariah Islam dan khilafah sebagai ancaman’ memang tak secara lugas disampaikan. Karena narasi seperti ini tentu sangat riskan bagi pamor penguasa yang rakyatnya juga mayoritas muslim. Jangan-jangan nanti distigma sebagai rezim yang represif anti-Islam.

Namun kemudian, stigma itu akhirnya melekat juga. Terutama setelah para pejabat negara masif mengaruskan sikap penolakan atas gagasan penegakkan syariah dan khilafah Islam, yang makin menyeruak ke permukaan.

Begitu banyak narasi dilontarkan. Mulai yang bernada ‘positif’ semisal ‘pentingnya menjaga toleransi dan keberagaman’, narasi ‘pancasila sudah final’, narasi ‘NKRI harga mati’ dan narasi soal ‘negara hasil kesepakatan’. Maupun yang negatif, seperti menolak langsung gagasan negara bersyariah. Atau menuding para pengemban dakwah syariah khilafah sebagai pengkhianat bangsa.

Lucunya, terakhir seorang pejabat mengatakan, bahwa syariat sudah tercakup dalam pancasila. Namun, jika betul demikian, mengapa mereka begitu antisyariah dan khilafah ajaran Islam? Bahkan hingga menciptakan berbagai narasi dan situasi yang menggiring umat Islam untuk takut mendakwahkan bahkan turut menolaknya?

Selama ini, umat Islam memang sering disuguhi drama kasus intoleransi maupun kekerasan atas nama agama, yang terkadang diikuti drama-drama penangkapan. Dengan ini semua, seolah ada bukti bahwa dakwah Islam kaffah adalah dakwah intoleran, penyebab kekacauan, dan stigma lain yang memperkuat simpulan bahwa ide syariah khilafah dan pengembannya harus segera disingkirkan.

Jadilah aktivis rohis, para ustadz, majelis taklim, kampus-kampus, mahasiswa, para ASN, pondok pesantren, madrasah, bahkan emak-emak pun tak luput dari tudingan kata radikal. Yang terakhir, bendera tauhid pun tak luput dari stigma sebagai simbol radikalisme dan pemberontakan.

Apa yang sesungguhnya dimaui oleh para penguasa? Sementara di saat yang sama, berbagai kerusakan akibat penerapan sistem sekuler demokrasi tak bisa lagi disembunyikan.

Baca juga:  Politik Identitas Warnai Pemilu

Di bidang ekonomi dan politik, indonesia sudah sangat hancur-hancuran. Hegemoni asing sudah mencengkeram sendi-sendi politik dan ekonomi atas nama kerja sama, investasi, dan jebakan utang. Bahkan boleh dikata, negeri ini benar-benar sudah tergadai karena tak sedikit para pejabatnya yang rela menjadi perpanjangan asing dan berkhidmat pada kepentingan korporasi.

Lalu di tengah pembangunan proyek infrastruktur yang jor-joran dilakukan, kesejahteraan rakyat pun dikamuflase oleh angka-angka semu yang disebut indikator pertumbuhan ekonomi. Sementara di dunia nyata, mayoritas rakyat hidup dalam keadaan susah payah, mengais remah-remah pembangunan, bahkan teralienasi di rumahnya sendiri. Bak tikus mati di lumbung padi.

Bidang moral pun, jangan ditanya. Generasi tua dan muda sudah nyaris kehilangan jati diri sebagai bangsa yang beragama. Pergaulan bebas, praktik curang, riswah dan korupsi, tindak kriminal dan yang sejenisnya seolah-olah sudah menjadi budaya dan mengikis nurani anak bangsa. Tak mengherankan, jika hari ini, orang yang lurus dan jujur, justru jadi entitas yang aneh, langka, dan termarjinalkan.

Lantas saat semua ini terjadi, di manakah pancasila? Dan di mana pula negara berada?

Selama ini para penguasa terus berkoar-koar, negara dan pancasila sudah final. Namun faktanya negara dan rakyat justru diambang kehancuran. Mereka pun berkoar-koar, wajib menjaga negara dari penjajahan. Padahal mereka sendirilah yang justru menjerumuskan negara ini pada cengkeraman penjajahan.

Akan halnya Pancasila, selama ini ditempatkan pada posisi sakral. Namun nyatanya tak lebih dari jargon dan alat gebuk lawan politik semata. Merekapun terus mengeluk-elukan pancasila sebagai versus bagi negara yang berlandas akidah Islam dan hukum Syara’. Karena menganggap pancasila adalah segalanya. Namun di saat sama, mereka menafikan fakta bahwa pancasila hanyalah kumpulan nilai-nilai yang tak punya konsep detail dan praktis untuk mengatur kehidupan.

Sehingga di dunia nyata, pancasila nyaris tak ditemukan wujudnya. Sementara Islam pernah mewujud nyata dalam sejarah peradaban manusia. Mengapa? Karena Islam adalah sebuah ideologi yang bukan hanya mengandung nilai-nilai keyakinan yang luhur, tapi juga memiliki aturan praktis sebagai solusi terbaik bagi seluruh persoalan kehidupan. Mari kita bandingkan.

Baca juga:  Poros Wasathiyah dalam Isu Gender

Sekalipun pancasila terus digadang-gadang sebagai ideologi negara, pada praktiknya sistem hidup kita diambil dari luar pancasila. Bahkan, sering kali bertentangan dengan nilai-nilai pancasila.

Di bidang ekonomi, mereka justru menerapkan sistem kapitalis neoliberal. Di bidang hukum, mereka menerapkan hukum buatan Perancis dan Belanda. Di bidang politik, diterapkan pula sistem politik ala trias politica. Sementara di bidang pergaulan, diadopsi sistem pergaulan yang permisif dan bebas merdeka.

Begitupun dengan sistem yang lainnya. Semua bisa dipastikan tak ada yang merepresentasikan pancasila. Apakah karena pancasila tidak diterapkan, atau karena pancasila memang tak punya konsep praktis untuk diwujudkan?

Bahkan, karena hanya sebagai falsafah atau nilai-nilai umum, setiap rezim bisa menafsirkan pancasila sesuai orientasi politik dan kepentingan mereka di masanya. Pancasila kadang disandingkan dengan sosialisme sebagaimana masa Soekarno. Di lain waktu disandingkan dengan kapitalisme neoliberal sebagaimana masa Soeharto. Bahkan makin liberal di masa-masa setelahnya.

Oleh karenanya, sudah semestinya para penguasa itu menyadari, bahwa apa yang mereka lakukan selama ini justru adalah wujud pengkhianatan. Karenanya, tatkala mereka menggadaikan negara ini dan menyerahkan kekayaan milik umat serta masa depan generasinya kepada asing, bukankah ini pengkhianatan?

Apapun namanya, ini adalah pengkhianatan! Yakni pengkhianatan terhadap amanah kepemimpinan dan amanah para syuhada yang berjuang melepas negeri ini dari segala bentuk penjajahan.

Terlebih tak ada yang bisa menafikan, sebelum Indonesia menjadi negara bangsa dengan asas nasionalismenya, bangsa ini adalah bagian dari kesatuan khilafah Islam.

Dan saat negeri ini dijajah, para ulama serta santrilah yang berkalang nyawa memimpin rakyat berjuang mati-matian dengan spirit Islam dan spirit menjaga persatuan di bawah satu kepemimpinan Islam beserta cita-cita menerapkan syariah Islam.

Banyak bukti yang bisa digali tentang hal penting ini. Berbagai peperangan melawan penjajah, mulai dari perang Paderi, perang Diponegoro, dan peperangan lain termasuk perang revolusi, semua dipimpin tokoh-tokoh umat Islam, dan di bawah simbol-simbol serta jargon-jargon Islam.

Sementara tentang fakta kesatuan kepemimpinan, antara lain dibuktikan dengan catatan sejarah tentang hubungan khilafah dengan kesultanan di nusantara. Salah satunya, terkait upaya khalifah yg berpusat di Turki menolong kaum Muslim Malaka dengan mengirimkan bantuan logistik dan tentara. Meski akhirnya diceritakan bahwa kapal-kapal laut itu tidak sampai ke Indonesia karena Portugis keburu berhasil diusir rakyat di tanah air.

Baca juga:  Akhiri Islamofobia dengan Khilafah

Sayangnya, fakta-fakta sejarah ini seolah sengaja dikaburkan, hingga umat kehilangan gambaran tentang kentalnya spirit dan praktik Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama berabad-abad ke belakang.

Termasuk fakta yang paling dekat, terkait penghapusan tujuh kata dalam pembukaan UUD ’45 yang sekaligus menghapus jejak perjuangan umat Islam yang sesungguhnya menginginkan syariah menjadi landasan.

‘Alaa kulli haalin, menolak gagasan penerapan syariah dan khilafah sebetulnya akan kian menjauhkan bangsa ini dari cita-cita mewujudkan negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur dan dari cita-cita meraih predikat khairu ummah.

Karena hanya Islam yang memiliki landasan akidah yang sahih, yang terbangun darinya sebuah sistem kehidupan yang komprehensif, dengan aturan yang rinci, praktis dan senantiasa cocok di sepanjang masa dan tempat.

Bahkan bisa dipastikan, aturan-aturan Islam ini bisa menjadi solusi atas semua problem kekinian. Termasuk menjadi solusi tuntas atas semua kerusakan yang diproduksi sistem sekuler demokrasi kapitalis neoliberal yang diterapkan saat ini, mulai dari persoalan politik, ekonomi, pergaulan atau sosial budaya, persoalan hukum dan pesoalan-persoalan lainnya.

Untuk itulah dakwah Islam kaffah tak boleh berhenti sekalipun terus dipersekusi bahkan dikriminalisasi. Karena sejatinya dakwah memang akan selalu menghadapi berbagai tantangan dan penolakan dari para penjaga sistem sekuler sebagaimana yang dulu pernah dialami Rasulullah (saw) dan generasi setelahnya.

Bahkan pertentangan antara Islam dan kekufuran akan senantiasa terjadi hingga akhir zaman. Namun Allah menjanjikan akan memberi kemenangan pada mereka yang sungguh-sungguh beramal dan berjuang. Dan menguji sebagian mereka dengan berbagai cobaan dan rintangan.

Allah swt berfirman:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).” (QS Al-Ahzab : 23) [] SNA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *