Opini

Mulia Karena Bertakwa, Bukan Karena Bertahta

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Al Hujuraat : 13)

Oleh: Ahmad Sastra

MuslimahNews.com, NAFSIYAH — Ayat Alquran suci ini menegaskan kepada seluruh manusia di dunia yang hidup di muka bumi milik-Nya, bahwa kemuliaan bukan terletak kepada harta atau tahta.

Kemuliaan juga bukan terletak kepada apakah dia raja atau rakyat jelata. Kemuliaan juga bukan karena suku bangsa atau warna kulit dan bahasa. Seorang raja yang bertahta tidak otomatis mulia di hadapan Allah.

Ath-Thobari menegaskan ayat ini dalam tafsirnya (Ath-Thobari, 21 : 386) bahwa yang paling mulia di antara seluruh manusia adalah yang paling tinggi takwanya kepada Allah, yaitu dengan menunaikan seluruh kewajiban dan menjauhi seluruh larangan (maksiat).

Bukanlah yang paling mulia yang paling megah rumahnya atau berasal dari keturunan yang mulia. Imam Ibnu Katsir menguatkan dengan mengatakan bahwa mulia dengan taqwa, bukan dengan keturunan (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 16 : 169).

Karena itu, ditegaskan dalam Tafsir al-Jalalain (528) bahwa manusia dilarang berbangga-bangga dengan tingginya nasab atau keturunan. Larangan berbangga-bangga dengan nasab dan keturunan apakah dari Arab atau non Arab juga ditegaskan oleh Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qodir, 7 : 20.

Makna takwa dalam arti melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan Allah, sebagaimana didefinisikan oleh jumhur ulama, sejalan dengan firman Allah dalam QS Al Hasyr ayat 7

Baca juga:  Kekuasaan Politik Ulama dalam Kubangan Lumpur Sekularisme

“… apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dann apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda,

“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian. Namun yang Allah lihat adalah hati dan amal kalian.” (HR. Muslim No. 2564).

Dari Abu Dzar, Rasulullah bersabda,

“Lihatlah, engkau tidaklah akan baik dari orang yang berkulit merah atau berkulit hitam sampai engkau mengungguli mereka dengan takwa.” (HR. Ahmad, 5 : 158).

Karena itu, yang bertahta belum tentu bertakwa dan yang bertakwa belum tentu bertahta. Idealnya adalah seperti Rasulullah yang memiliki ‘tahta’ sebagai pemimpin tertinggi Daulah Madinah, namun beliau juga adalah orang yang paling bertakwa. Sebab, bagaimanapun Islam adalah prinsip nilai sekaligus sistem perundang-undangan yang berkonsekuensi kepada adanya tahta atau kepemimpinan pemerintahan.

Masalah kepemimpinan (tahta) dalam pandangan Islam adalah perkara yang sangat penting. Karena pentingnya keberadaan pemimpin dalam Islam, tatkala Rasulullah wafat, para sahabat menunda memakamkan jenazah Rasulullah selama dua malam untuk bermusyawarah memilih pemimpin Daulah Madinah pengganti Rasulullah, dan terpilihlah sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi seorang khalifah pertama dalam Islam.

Fungsi kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mengatur urusan manusia agar tertib sejalan dengan nas Alquran, serta tidak terjadi kekacauan dan perselisihan.

Rasulullah memerintahkan agar mengangkat salah satu menjadi pemimpin dalam sebuah  perjalanan. Islam mewajibkan umat untuk taat kepada Allah, Rasulullah, dan kepada ulil amri, yakni orang yang diamanahi untuk mengatur urusan umat.

Baca juga:  Belajar dari Keseriusan Tsumamah bin Utsal Al Hanafi رضي الله عنه

Ali bin Abi Thalib dalam Tafsir Alquran karya al-Baghawi menjelaskan, bahwa seorang imam atau pemimpin negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT, serta menunaikan amanah sebagai manifestasi ketakwaan.

Jika dia melakukan itu, maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan mentaatinya. Sebaliknya, tidak wajib taat kepada pemimpin yang tidak memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT atau memerintahkan  kemaksiatan kepada Allah.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, bahwa tidak ada ketaatan kepada makhluk yang memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. (HR Ahmad).

Dengan demikian, ketaatan kepada pemimpin dalam pandangan Islam hanya jika pemimpin tersebut beriman dan bertakwa kepada Allah serta mengikuti keteladanan Rasulullah. Sebab, Rasulullah, selain sebagai Rasul juga adalah seorang pemimpin negara.

Dalam ajaran Islam, kepemimpinan dan ketakwaan adalah dua sisi mata uang. Sebab, ketakwaan adalah sebaik-baik bekal bagi seorang muslim untuk meraih keselamatan dunia akhirat.

Terlebih seorang pemimpin yang diberikan amanah berat untuk mengatur segala urusan rakyat. Ketakwaan kepada Allah artinya seorang pemimpin melibatkan Allah dalam melaksanakan amanah.

Pengertian takwa menurut Abu Hurairah yang dijelaskan Ibn Abi Dunya dalam kitab at-Taqwa dengan memberikan ilustrasi seseorang yang berhati-hati saat mendapati jalan yang dilewatinya banyak duri agar terhindar dari tajamnya tusukan duri di kaki.

Kehati-hatian dalam menjalani kehidupan agar tetap dalam koridor hukum Allah dan tidak terjerembab dalam kubangan dosa inilah yang dimaksud takwa menurut Abu Hurairah.

Perkataan Abu Hurairah sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ibn Majah, al-Hakim, dan al-Baihaqi, bahwa tidaklah dikatakan sebagai orang mukmin yang mencapai derajat takwa hingga ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna karena khawatir terjerumus kepada hal-hal yang haram.

Baca juga:  Visi Pemimpin Islami, Kunci Keberkahan Negeri

Ketakwaan menurut ulama adalah melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan Allah. Seluruh perintah Allah mencakup aspek fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.

Dengan demikian, indikator ketakwaan seorang pemimpin adalah menerapkan hukum-hukum Allah secara kaffah (menyeluruh) di seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai manifestasi ketakwaan.

Menerapkan syariah secara kaffah dalam negara adalah menjadikan seluruh aspek negara seperti politik, budaya, pendidikan, ekonomi, dan keamanan berbasis tauhid. Pemimpin yang bertakwa adalah pemimpin yang tunduk dan patuh sepenuhnya terhadap syariat Allah.

Meminjam bahasa Hamka yang menyindir, “Buat apa berkuasa jika tidak mau menegakkan hukum Allah?”

Kesempurnaan ketakwaan seorang pemimpin hanya bisa direalisasikan dalam daulah Islam yang menerapkan Islam secara kaffah. Ketakwaan seorang pemimpin tidak bisa sempurna dilaksanakan dalam negara berbentuk demokrasi sekuler, apalagi dalam negara komunis ateis.

Inilah pentingnya seorang pemimpin yang bertakwa ditopang oleh sistem negara yang juga islami. Hanya dalam daulah Islam, keimanan dan ketakwaan rakyat dan pemimpin bisa diwujudkan secara sempurna.

Allah berjanji kepada penduduk suatu negeri,

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96). [MN]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *