Memahami Kapitalisme Timur Tiongkok dan Posisi Dunia Islam
Meski pola ini belum terlihat gamblang di Asia Tenggara, tapi dengan terjeratnya Indonesia dan Malaysia melalui agenda OBOR, maka menjadi dekat kemungkinan gaya represif Tiongkok juga segera diekspor ke Asia Tenggara.
Oleh: Fika Komara
Transformasi “Campursari” Politik Cina
MuslimahNews, FOKUS — Terjadinya Perang Candu antara Cina dan Inggris pada tahun 1839-1842 serta semakin cepatnya penyelesaian teknologi, budaya, ekonomi, dan politik Barat, melanjutkan pola tradisional Cina yang bertahan selama berabad-abad lamanya mulai goyah. Setelah Perang Candu merupakan masa perang melawan Barat dalam sejarah Cina. Kemenangan Inggris menyetujui Cina mengakui superioritas militer Asing. Hal ini merupakan yang pertama diselesaikan dalam seluruh sejarah Cina, di mana Cina disetujui untuk disetujui tidak dapat diselesaikan. Perjanjian Nanjing merupakan titik balik dalam hubungan Cina dengan Barat. Menjelang akhir abad ke-19, wilayah-wilayah Cina jatuh ke dalam kekuasaan negara-negara Barat, seperti Hongkong dan Weihaiwei ke tangan Inggris, Qingdao ke tangan Jerman, Makao ke tangan Portugal, Guangzhouwan ke tangan Prancis, dan Dalian ke tangan Rusia. Jepang pun ikut meraih keuntungan ekonomi, politik, dan teritorial di Cina, karena memperoleh wilayah perbatasan, seperti Korea dan Taiwan. Kenyataan-realitas demikian merupakan perubahan yang mendasar bagi tatanan Cina tradisional. Mereka setuju melakukan perjanjian dengan Barat untuk menyetujui eksistensi sekaligus menembus negara-negara Barat ke wilayah Cina secara lebih luas dan leluasa.
Pengalaman sejarah seperti yang dikemukakan di atas memiliki kepentingan yang cukup kuat terhadap kesadaran para pemimpin Cina modern (Pasca-Revolusi 1911). Kesadaran ini tidak hanya di kalangan pemimpin Komunis, tetapi juga di kalangan pemimpin Cina Nasionalis (Guomingdan). Kebangkitan Cina sebagai salah satu kekuatan yang dianggap akan mendominasi Amerika dan Rusia tentu tidak lepas dari kebijakan strategis Cina sendiri dalam menyikapi kepentingan yang ada. Orang sering heran Cina Menjadi negara komunis. Jika dipikirkan bahwa ideologi komunisme adalah ideologi yang paling modern pada saat itu, dan komunisme adalah produk negara Barat, bisa dipahami para intelektual Cina yang begitu bergairah memeluknya. Berdirinya Partai Komunis Cina (PKC) pada tahun 1921 harus dibahas sebagai strategi. Starategi untuk mengalahkan Barat dengan alat Barat (Wibowo, 2004: 217). Ini berarti Cina tidak “malumalu” untuk mengubah kebijakan atau ideologinya untuk mencapai keinginannya.
Ubah kebijakan luar negeri Cina juga selalu berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhannya. Kebijakan para pemimpin Tiongkok yang selalu tanggap dalam menyikapi perubahan internasional sangat memengaruhi kebijakan luar negerinya. Namun hal yang paling dominan dalam perubahan politik luar negerinya adalah keadaan dalam negerinya yang sangat mempengaruhi tingkah lakunya di dunia internasional. (Hallang, 2007)
Tiongkok yang selama ribuan tahun dibentuk monarki absolut kemudian berevolusi menjadi negara republik modern pada tahun 1911. Negara yang dipelopori oleh Dr. Sun Yat Sen ini hanya dapat berkembang selama tiga dekade dan kemudian muncullah revolusi Komunisme dan berdirilah Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949. , Tiongkok telah mengganti beberapa kali pergantian sistem politik. Perkembangan politik ini juga telah menghasilkan arti dan budaya politik di Tiongkok. Dalam perjalanan kekuasaan, PKC di Tiongkok tidak berarti tidak ada perubahan, ia juga memperbaiki pasang surut dan perebutan kekuasaan. Hanya saja, dalam perkembangannya, masyarakat Tiongkok, para cendekiawan, para politikus, dan juga elit partai belajar terus dari pengalaman dan melakukan beberapa perubahan. Terutama, Reformasi Ekonomi pada tahun 1978.
Tiongkok pada dasarnya telah berubah sama sekali. Garis politiknya yang ‘campur sari’ tapi adaptif terhadap perkembangan global telah membuat Tiongkok tidak lagi seperti negara komunis yang nampak pada masa Mao Ze Dong berkuasa. Tiongkok memiliki wajah baru yang berbeda. Tiongkok telah muncul menjadi satu kekuatan dunia namun dengan sistem politik Komunis khas Tiongkok namun mendukung ekonomi Kapitalis, juga ada perbedaan dari filsafat Konfusianisme yang dipegang masyarakat Tiongkok selama ribuan tahun dan masih menghasilkan besar dalam konteks politik. (Hakam, 2018) Cerita singkat berpuncak pada awal kepemimpinan Xi Jinping tahun 2012 yang lalu, dimana telah terjadi beberapa perubahan penting di Cina untuk pembuatan kebijakan luar negeri dan hubungan internasional secara geopolitik.
Hidupnya kembali mimpi Tiongkok: pengokohan atas Kapitalisme Timur dan Kapitalisme Negara ala Tiongkok
Xi Jinping menguraikan apa yang disebut “Impian Cina” 29 November 2012, pada pertemuan politik formal besar (di museum nasional), yang menyatukan para anggota dari semua biro politik dan lembaga yang dirancang. Menurut pemahaman publik tentang konsep ini, itu melengkapi dua tujuan utama: menggandakan pendapatan per kapita dari sekitar USD 600 menjadi 1.200 pada sekitar tahun 2020, yang akan membawa Tiongkok ke dalam klub negara-negara maju saat memperbincangkan negara Komunis Tiongkok dalam hubungan; dan menjadi pasukan ekonomi nomor satu di pertengahan abad ini, saat Tiongkok merambat 100 tahun sejak berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Mimpi Cina ini telah melahirkannya sebagai kekuatan kapitalis baru, hanya saja dengan model China yaitu negara-kapitalis ala Cina, yang cukup berbeda dengan pasar-kapitalis ala Amerika.
Dalam pembicaraan pikir inilah Xi Jinping dan Li Keqiang telah menyetujui secara resmi rencana “Jalan Sutra” Jalan dan Sabuk (OBOR) pada 2013 yang menyasar negara-negara tetangga yang kemudian sering disebut sebagai Marshall Plan versi Cina, sedangkan Marshal nama diambil dari Sekretaris Negara AS saat itu: George Marshall) pasca Perang Dunia II untuk membangun kembali dan memulihkan ekonomi Eropa Barat yang hancur akibat perang, ini memiliki kemiripan dengan OBOR karena sama-sama merupakan proyek mercusuar magnetik di bidang ekonomi yang terkait dengan pembangunan infrastruktur.
Marshall Plan terjadi pada awal kebangkitan AS sebagai negara adikuasa kala itu, lantas apakah persetujuan OBOR ini juga pertanda Cina sedang menuju proses yang sama? Yang jelas OBOR merupakan mega proyek terbesar dalam sejarah umat manusia yang dilihat dari besarnya dana yang dikucurkan dan juga negara yang dibenarkan. Bahkan 10 kali lebih besar dari Marshall Plan.
Cina mengundang untuk kembali memulai jalur sutra lama dan memperkenalkannya pada dunia internasional dengan nama Jalan Sutra Baru: Satu Sabuk, Satu Jalan. Tujuan Cina dalam transisi jalur sutra ini adalah untuk membangun kerjasama dengan berbagai negara yang ada di Asia, Afrika, dan Eropa dengan pembangunan berbagai infrastruktur untuk memperlengkapi jalur perdagangan antar tiga benua tersebut. Dengan demikian Cina dengan kapitalisme negara telah berhasil menjadi kontraktor raksasa global yang membangun jaringan infrastruktur lintas benua.
Kapitalisme membahas perdagangan bebas dan pasar terbuka tetapi, pada persetujuan, slogan-slogan ini adalah tentang pentingnya merkantilisme yang diekspresikan secara internasional dalam bentuk agenda imperialis yang rakus. Di mana prinsip-prinsip ekonomi Islam menjamin kemakmuran sejati bagi semua orang, Kapitalisme memastikan semua manfaat diperoleh negara yang dominan, karena kekayaan dengan cepat habis dari wilayah kolonial. Inggris di India, misalnya, mengembangkan infrastruktur rel dan kanal yang luas, tetapi konsekuensinya adalah ekstraksi yang rakus dari kekayaan India yang membutuhkan pemiskinan besar-besaran di kawasan ekonomi terkemuka dunia dalam satu abad.
Jalan Sutra Baru ini mengusung semboyan Satu Sabuk, Satu Jalan(OBOR) yang memuat dua konsep yaitu Jalur Ekonomi Jalan Sutra dan Jalur Sutra Maritim Abad 21. Terkait adalah strategi Cina dalam kolaborasi ekonomi melalui rute-rute yang sudah ditentukan. Concept Silk Road Belt Ekonomi akan through Jalur darat sedangkan 21 stCentury Maritime Silk Road through Jalur laut. Istilah OBOR kemudian diperhalus oleh pemerintahan Cina menjadi Belt and Road Initiative (BRI) lantaran kekhawatiran kata ‘seseorang’ bisa disalahartikan.
Kapitalisme Timur Tiongkok semakin eksis tatkala dunia Islam sedang menghadapi multi tantangan dan serangan dari Barat. Eksploitasi isu ISIS, massifnya program counter radicalism (turunan dari conter terrorism), juga berbagai tragedi termasuk yang menimpa Muslim Uyghur di Xinjiang – wilayah Barat Tiongkok. Setelah membahas latar belakang kebijakan luar negeri serta mimpi China yang menjadi penggerak meluncurnya mega proyek Belt and Road, maka bagian kedua tulisan ini akan mengulas bagaimana inisiatif ambisius dari sang Kapitalis Timur menimbulkan banyak implikasi berbahaya pada dunia Islam seperti yang akan dijabarkan berikut ini:
Dampak OBOR/BRI pada Dunia Muslim
Tren umum yang diamati dalam keterlibatan Cina dengan banyak negara berkembang adalah bahwa ia tidak suka mengatur ekonomi mikro. Namun, beberapa konsesi yang signifikan dituntut sebagai imbalan. Ini mungkin termasuk kepemilikan saham yang lebih tinggi, peran yang lebih besar dalam menentukan proyek-proyek besar, dan akses pasar yang lebih besar untuk perusahaan-perusahaan Cina. Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka adalah salah satu contohnya, di mana Tiongkok mengakuisisi saham pengendali dan sewa 99 tahun pada 2017 setelah kegagalan Sri Lanka untuk membayar kembali pinjaman. Mencerminkan kegelisahan yang berkembang tentang Belt Road Initiative (BRI), PM Malaysia Mahathir pernah membatalkan proyek Cina senilai $ 22 miliar, mempertanyakan alasan ekonomi mereka dan mengutip kekhawatiran utang, menolak ‘versi baru kolonialisme.’ Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa persyaratan untuk Pinjaman Cina lebih banyak merusak kedaulatan.
Kasus di Indonesia, Cina telah meneken 23 kesepakatan kerjasama di berbagai sektor usaha. Dari 23 proyek tersebut, nilai investasi dari 14 MoU bernilai total USD 14.2 miliar, yang dipastikan Luhut bukan merupakan utang yang harus ditanggung pemerintah. Hal ini dikarenakan bentuk kerjasaman yang terjadi adalah bussiness to bussiness, bukan goverment to government. Saat menghadiri konferensi OBOR pertama (2017), Jokowi mendapat komitmen investasi hingga US$ 28 miliar saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi One Belt One Road (OBOR) pertama di Beijing.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan tiga provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Kalimantan Utara, dengan Sulawesi Utara. Profil area yang menguntungkan Cina dalam hal konektivitas. Secara geografis, Bambang beralasan tiga wilayah tersebut merupakan wilayah Indonesia yang dapat terhubung dengan Tiongkok melalui Laut Cina Selatan. “Terutama dari konsep belt-nya yang terhubung (dengan Tiongkok) dengan laut,” jelasnya (katadata.co.id, 2017).
Serba utara untuk Cina; Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Dari sudut pandang kepentingan China, wajar saja karena tiga provinsi inilah yang berdekatan dengan jalur strategis Indo-Pasifik yang juga menjadi nafas ekonomi Cina. Namun bagaimana dengan sudut pandang kepentingan umat Islam? Kekhawatiran hegemoni atas nama infrastruktur ini bukan terjadi di jaman ini saja, di era Sukarno pun sudah terjadi. Dalam buku yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno bercerita pembangunan irigasi dan jalan di Hindia-Belanda bukan terutama untuk mengairi sawah rakyat, melainkan untuk pengairan perkebunan tebu dan tembakau milik kapitalis Belanda. Begitu juga dengan proyek jalan raya. Jalan raya tidak dibangun untuk menembus hutan atau antar pulau, sehingga melancarkan mobilitas penduduk dan barang-barang, melainkan untuk melayani transportasi logistik dan hasil produksi kapitalis (Hartono, 2017). Pembangunan infrastruktur sesungguhnya tidak lepas dari urusan keberpihakan; apakah mengabdi pada cita-cita pemerataan kesejahteraan rakyat ataukah sekedar melayani akses rantai pasok global para pemodal?
Dampak Ideologis – Politis
Di sisi lain yang dampak yang paling berbahaya adalah dampak ideologis. Agenda OBOR ini ternyata sejalan dan sepaket dengan proyek kontra terorisme untuk melawan Islam. Jadi OBOR bukan hanya bermuatan ekonomi tapi juga politis. Hal ini sangat terlihat dari manuver di Asia Tengah, dimana agenda kontra terorisme dan radikalisme meluncur deras bersamaan dengan program ekonomi OBOR/ BRI. Pada tahun 2015, Pemerintah China dikabarkan telah meminta dukungan Amerika Serikat (AS) guna melawan militan di Xinjiang, di wilayah barat negaranya. Seorang Pejabat China mengungkapkan, adanya permintaan bantuan ini tak lepas dari kian masifnya aktivitas Pergerakan Islam Turkistan Timur (ETIM) dalam merekrut kaum Muslim minoritas Xinjiang, Uighur. (CNN, Agustus 2015)
Fakta terbaru adalah lawatan Xi Jinping ke Asia Tengah (Tajikistan, Kirgistan) Juni 2019 baru saja – semakin menegaskan komitmen BRI berdampingan dengan upaya melawan ‘terorisme’ termasuk Muslim Uyghur. Melalui Shanghai Cooperation Organisation, organisasi bentukan Cina dan Rusia untuk mengontrol Asia Tengah, Cina berusaha memperkuat implementasi Belt and Road bersamaan dengan slogan terorisme dan ekstremisme dalam perang melawan Muslim di negeri-negeri Muslim Asia Tengah. Kepentingan ekonomi politik Cina melalui BRI ini membutuhkan kestabilan politik melalui pembungkaman banyak gerakan Islam di Asia Tengah. Meski pola ini belum terlihat gamblang di Asia Tenggara, tapi dengan terjeratnya Indonesia dan Malaysia melalui agenda OBOR, maka menjadi dekat kemungkinan gaya represif Tiongkok juga segera diekspor ke Asia Tenggara.
Bagaimana lantas kita bersikap sebagai Umat Islam? Tatkala umat Islam mempunyai tugas mengemban dakwah Islam kepada seluruh umat manusia, mereka harus melakukan kontak dengan dunia, dengan menyadari sepenuhnya keadaan-keadaan mereka, memahami problem-problemnya, mengetahui motif-motif politik berbagai negara dan bangsa, dan mengikuti aktivitas-aktivitas politik yang terjadi di dunia.
Allah SWT telah memberikan kepada kita umat Islam – suatu kehormatan besar dan status yang agung. Tetapi posisi yang luar biasa dan juga berkah yang berlimpah dari Rabb SWT ini, sekaligus datang dengan tanggung jawab besar, seperti yang Allah SWT sebutkan dalam ayat di atas – untuk menjadi “saksi atas umat manusia”. Peran agung umat Islam ini juga disebutkan dalam Surah Al-Baqarah, di mana Allah SWT berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian” (QS al-Baqarah [2]: 143).
Ibnu Katsir, ulama besar Islam, dalam tafsirnya pada ayat ini menyatakan bahwa ‘UMMATAN WASATHAN’ bermakna sebagai umat pilihan dan yang terbaik, ia menjelaskan bahwa posisi ini adalah karena: pertama, umat Islam akan bersaksi pada Hari Pembalasan atas semua bangsa lain di dunia – masa lalu, sekarang dan masa depan; yang kedua adalah karena Allah Swt. telah mengkhususkannya dengan syariat yang paling sempurna dan tuntunan yang paling lurus serta manhaj yang paling jelas.
Absennya ‘Kekuatan Negara’ pada Dunia Islam
Berbeda dengan ideologi Kapitalisme yang dilayani oleh banyak negara, ideologi Islam sangat miskin bahkan absen negara yang berani melayani. Pada abad ke-21 ini, tidak banyak aktor negara (state actor) dari dunia Islam yang memiliki independensi sikap politik, melainkan hanya segelintir saja.
Samuel Huntington mengatakan dalam bukunya yang terkenal Benturan Peradaban; konsep Islam sebagai kesatuan religio-politis mengandung arti kesatuan kepemimpinan politik dan keagamaan yaitu Kekhalifahan dan kesultanan yang terjewantahkan melalui sebuah institusi kekuasaan (pemerintahan) global (Global-State) tunggal. Runtuhnya institusi kepemimpinan politik Islam yang terakhir yaitu Kekhilafahan Turki Utsmani, membuat dunia Islam tidak lagi memiliki Negara Inti, wilayah kekuasaannya terpecah-pecah, sebagian masuk ke wilayah Barat dan sebagian lagi masuk ke wilayah-wilayah negara Islam. Karenanya pada abad XX tidak ada satupun negara Islam yang memiliki legitimasi kekuasaan kultural maupun keagamaan untuk memainkan peran sebagaimana Turki Utsmani yang diterima sebagai ‘pemimpin Islam’ oleh negeri-negeri Islam maupun non-Islam. Absennya Negara Islam yang berperan sebagai Negara inti merupakan factor utama yang menjadi sebab terjadinya konflik-konflik internal maupun eksternal di kalangan masyarakat Islam.
Di mata elit AS, masih terlihat bahwa sebagian besar negara Islam memiliki karakter a-politis, yang moderat dan pro barat seperti pemerintahan Saudi, Mesir, Tunisia, Turki, Pakistan, Malaysia dan Indonesia sebagaimana yang dinilai oleh Fawaz A. Gerges. Hanya segelintir aktor negara yang memiliki militansi dalam sikap politiknya terhadap Barat khususnya Amerika, misalnya Iran dan Palestina, menurut Gerges. Aktor negara dalam dunia Islam kebanyakan bersifat pasif dan ‘mengikuti arus’ ini dikarenakan negara – negara Islam pada umumnya tidak memiliki visi ideologi dan sikap politik yang jelas dan independent.
Walhasil apa yang terjadi sekarang di dunia Islam saat ini memudahkan hegemoni Kapitalis baik kapitalis Timur maupun Barat menghujam pada negeri-negeri Muslim. Arus dunia yang bipolar hari ini juga membuat banyak negeri Muslim kebingungan memilih antara Cina dan AS, hal ini tercermin dalam banyak pernyataan politik pemimpin dunia. Ini terang-terangan terlihat di saat persekusi dan penghinaan yang dialami umat Muslim Uighur di Xinjiang oleh pemerintahan Cina; rezim Indonesia, Arab Saudi, Pakistan, Malaysia, Turki dan banyak negeri Muslim lainnya justru bergandengan mesra menjalin kerjasama, membuka kran sebesar-besarnya bagi pengusaha Cina berinvestasi di tanah mereka. Ketidakberdayaan negeri Muslim diakibatkan ketergantungan besar pada Cina dalam proyek OBOR ini. Padahal, proyek OBOR merupakan proyek ambisius China dalam penguasaan kepentingan ekonomi dan politik.
Menurut Abdurrahman al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam, pendanaan proyek-proyek dengan mengundang investasi asing adalah cara paling berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri islam. Investasi ini bisa membuat umat menderita akibat bencana yang ditimbulkan, juga merupakan jalan untuk menjajah suatu negara. Memang benar, kerjasama proyek ini menyimpan bahaya besar, merugikan dan mengancam negeri Muslim. Ancaman terbesar dari sisi ekonomi adalah tergadainya negeri ini dalam jebakan hutang dan hegemoni asing penjajah. Hegemoni/penjajahan (ekonomi dan politik) merupakan metode baku pengusung kapitalisme. Negara yang dijajah akan dieksploitasi besar-besaran kekayaan alamnya dan dijauhkan dari agamanya. Penjajahan ini untuk melemahkan semangat kaum Muslim untuk bangkit kembali kepada Islam. Namun, hal ini sering tidak dipahami dan disadari umat, dikarenakan uslub penjajahan yang bersifat halus seperti bantuan, skema utang, kerjasama dll.
Jebakan utang, pembengkakkan utang luar negeri akan membebani pembayaran cicilan pokok dan bunga. Makin besar jumlah hutang, makin besar jumlah kas negara untuk membayarnya. Akibatnya, kapasitas APBN untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat makin terbatas. Resiko terbesar gagal bayar hutang adalah pengambil-alihan/penguasaan aset oleh Cina. Bahkan telah nyata pendudukan suatu wilayah dengan hegemoni militer seperti di Djibouti. Padahal Allah mengharamkan jalan apapun penguasaan umat islam dan negerinya oleh orang-orang kafir, sebagaimana firman Allah yang artinya
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan sekali-kali Allah tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir jalan untuk memusnahkan orang-orang beriman” (An-Nisa:141).
Harapan terhadap Gerakan Islam
Satu-satunya harapan umat Islam untuk membendung hegemoni Cina adalah peran gerakan Islam sebagai Aktor Non Negara (non-state actor), terutama gerakan Islam (Harakah Islam) yang bersifat Ideologis-Politis. Gerakan ini secara dinamis mampu memainkan peran sebagai aktor non negara (non state actor) yang bergerak lintas nasional di negeri-negeri Muslim.
Gerakan (harakah) Islam harus mampu mendidik umat dengan Aqidah Islam dan penjelasan detail Syariat Islam, membukakan mata umat akan makar-makar musuh Islam, mengedukasi umat dengan tsaqafah Islam termasuk bagaimana membangun infrastruktur secara mandiri tanpa utang dan juga tanpa terjebak arus penjajahan ekonomi. Dalam sistem ekonomi kapitalis, termasuk yang diterapkan di Indonesia, biaya pembangunan dan pemeliharaan berbagai macam infrastruktur diperoleh dari sektor pajak sebagai pemasukan terbesar penerimaan negara, dari pinjaman atau uang luar negeri dan melalui skenario kerjasama pemerintah dan swasta (KPS). Pada akhirnya masyarakat yang harus menanggung beban bak secara langsung melalui pungutan penggunanan infrastruktur.
Dalam sistem ekonomi Islam, Infrastruktur adalah hal penting dalam membangun dan meratakan ekonomi sebuah negara demi kesejahteraan bagi rakyatnya. Karena itu Khilafah wajib membangun insfrastruktur yang baik, bagus dan merata ke pelosok negeri. Dasarnya adalah kaidah, “Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib (Suatu kewajiban yang tidak bisa terlaksana dengan baik karena sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib). Infrastruktur yang masuk kategori milik umum harus dikelola oleh negara dan dibiaya dari dana milik umum. Bisa juga dari dana milik negara, tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya. Walaupun ada pungutan, hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya dalam bentuk yang lain. Ini termasuk juga membangun infrastruktur atau sarana lain yang menjadi kewajiban negara untuk masyarakat seperti sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, jalan-jalan umum, dan sarana-sarana lain yang lazim diperuntukkan bagi masyarakat sebagai bentuk pengaturan dan pemeliharaan urusan mereka. Dalam hal ini, negara tidak mendapat pendapatan sedikit pun. Yang ada adalah subsidi terus-menerus. Jadi, sama sekali tidak ada pos pendapatan dari sarana-sarana ini.
Maka kembali harapan ini hanya bisa tertambat pada gerakan Islam. Pada level lanjut, jika aktor non-negara ini berhasil menyadarkan aktor negara (state actor) secara intensif, membangun basis dukungan dari umat dan berhasil memunculkan kesadaran penguasa-penguasa negeri Muslim, maka terwujudnya kesatuan dunia Islam di bawah naungan Khilafah Islam, menjadi sangat niscaya. Insya Allah bi idznillah
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Wallahu a’lam bish shawwab.[]
Sumber Bacaan:
Andi Hallang, 2007, Pola Perubahan Kebijakan Luar Negeri Cina, Jurnal LITE Vol.3, diakses 21 Juni 2019
Saiful Hakam, 2018, Tiongkok Yang Adaptif: Politik Komunis, Ekonomi Kapitalis, Kolom Peneliti LIPI, diakses 21 Juni 2019
Simon Shen, 2016, Bagaimana ‘Belt and Road’ China Dibandingkan dengan Marshall Plan, Diplomat, diakses 21 Juni 2019
Wang Yizhou, 2014, Kebijakan Luar Negeri Baru Tiongkok: Transformasi dan Tantangan Tercermin dalam Mengubah Wacana , Forum Asan, diakses 21 Juni 2019
Fawaz A. Gerges, Amerika dan Islam Politik : Benturan Peradaban atau Benturan Kepentingan? (Jakarta : Alvabet, 2002)
Hartono, R., (2017), Masukan Untuk Politik Infrastruktur Jokowi, diakses 2 September 2017
Kitab al Amwal
Kitab Mafahim Siyasi li Hizbit Tahrir
Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia (Yogyakarta : CV. Qalam, 2003)
Sumber: imune.id