Kisah InspiratifSahabat Nabi

Sa’ad bin Mu’adz: Ahlu Nushrah yang Menggetarkan Arsy Ar-Rahman

Singgasana Allah Azza wa Jalla bergoncang karena kematian Sad bin Mu’adz. [HR al-Bukhâri]


Oleh: Rahmadinda Siregar (Founder Muslimah Sejarawan)

MuslimahNews.com — Salah satu figur dan sosok teladan pemuka Bani Aus yang patut untuk diteladani oleh para pemimpin, ulama, praktisi, sekaligus Ahlul Quwwah di negeri-negeri kaum Muslimin adalah sosok sahabat Sa’ad bin Mu’adz. Dia lah seorang pemimpin sejati, yang bersegera menolong dakwah Rasulullah beserta sahabat assabiqunal awwalun melalui peristiwa Bai’at Aqabah kedua.

Tidak hanya itu, keislamannya turut mengajak kaumnya untuk bersegera memeluk Islam hingga tidak tersisa kecuali hanya satu saja. Dengan pertolongan dan kekuatan yang ia miliki, ia serahkan seluruhnya hanya untuk Islam. Padahal, perkara menyerahkan kesetiaan dan pengorbanan bukanlah perkara mudah untuk diberikan oleh Sa’ad, apalagi pada saat itu prestise beliau adalah seorang pemimpin Bani Aus yang cukup disegani oleh pengikutnya.

Maka, keislaman yang menghujam dalam dadanya sajalah yang menjadi pendorong utama keridaan serta keikhlasannya menyerahkan kekuatan dan kekuasaannya untuk melindungi dakwah beserta jaminan bagi tegaknya Islam sebagai Negara adidaya pertama di Madinah.

Sa’ad adalah figur yang harus dicontoh untuk menjadi bagian dari orang yang dijamin oleh Allah subhanahu wa ta’ala mendapatkan balasan surga dengan berbagai kenikmatan di dalamnya. Disampaikan dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ mengabarkan berita gembira kematian Sa’ad bin Mu’adz, beliau bersabda,

اهْتَزَّ الْعَرْشُ لِمَوْتِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ

Singgasana Allah Azza wa Jalla bergoncang karena kematian Sad bin Mu’adz. [HR al-Bukhâri]

Sungguh, kematian Sa’ad telah mengguncang singgasana Ar-Rahman. Namun, apakah yang menyebabkan Arsy Allah itu berguncang?

Sa’ad bin Mu’adz bin an-Numan bin Imri al-Qais al-Asyhali al-Anshâri Radhiyallahu anhu, dulunya adalah seorang musyrik pemuka Bani Abdul Ashyul yang masuk Islam melalui tangan sang diplomat Islam pertama, yakni Mushab bin Umair Radhiyallahu anhu.

Di balik keislaman Sa’ad bin Mu’adz, siapa yang menyangka, bahwa sebelum masuk Islam ketika mendengar kabar bahwa Mushab bin Umair sedang berdakwah di tengah-tengah penduduk Madinah, Ia langsung memerintahkan sahabat karibnya, Usaid bin Hudhair, untuk menemui Mush’ab yang ketika itu bersama As’ad bin Zurarah (anak bibi Sa’ad bin Mu’adz) agar mau menghentikan aksinya.

Baca juga:  Meneladani Rasulullah dalam Perjuangan dan Dakwah

Namun, sesampai di tempat Mushab dan setelah berdialog dengannya, Usaid malah menyatakan keislamannya. Ia pun segera pulang untuk menemui Sa’ad dengan harapan agar Sa’ad juga dapat mengikuti jejaknya.

Mendengar hal itu, Sa’ad bangkit dengan marah, mengambil tombaknya lalu menghampiri As’ad bin Zurarah dan Mush’ab. Dengan wajah cemberut Sa’ad berdiri di hadapan mereka berdua, lalu berkata kepada As’ad bin Zurarah, “Demi Allah wahai Abu Umamah, kalau bukan karena ada hubungan kekerabatan antara kita, aku tidak menginginkan hal ini terjadi. Engkau datang ke perkampungan kami dengan membawa sesuatu yang tidak kami sukai.

Mush’ab berkata kepada Sa’ad, “Bagaimana jika engkau duduk dan mendengar apa yang aku sampaikan? Jika engkau suka terhadap sesuatu yang aku sampaikan, maka engkau bisa menerimanya. Dan jika engkau tidak menyukainya, maka kami akan menjauhkan darimu apa yang tidak kau sukai.”

Engkau cukup adil” kata Sa’ad, sembari menancapkan tombaknya, dan duduk bersama keduanya. Lalu Mush’ab menjelaskan Islam kepadanya dan membacakan Alquran dari permulaan surat Az-Zukhruf. Kemudian Sa’ad bertanya, “Apa yang kalian lakukan tatkala dahulu kalian masuk Islam?

Hendaklah engkau mandi, bersuci dan mempersaksikan dengan kesaksian yang benar,” jawab Mush’ab. Maka Sa’ad segera mandi dan bersyahadat, kemudian shalat dua rakaat. Ia memungut tombaknya, lalu kembali menuju balairung, yang di sana ada kaumnya. Setelah berdiri di hadapan mereka, ia berkata, “Wahai Bani Abdul Asyhal, apa pendapat kalian tentang diriku di tengah kalian?” Mereka menjawab, “Engkau adalah pemimpin kami, orang yang paling kami ikuti pendapatnya di antara kami dan orang yang paling kami percaya.”

Sa’ad melanjutkan, “Tak seorang pun diantara kalian, baik laki-laki maupun wanita dilarang berbicara denganku sebelum kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Belum sampai petang hari, tak seorang pun, baik laki-laki maupun perempuan di Bani Abdul Asyhal melainkan sudah menjadi Muslim dan Muslimah. Masya Allah.

Baca juga:  Ketika Kekuasaan Bukan Kebanggaan

Demikianlah keislaman Sa’ad bin Mu’adz yang turut menjadi magnet bagi pengikutnya. Kebenaran Islam membalikkan arah hidupnya, hingga loyalitasnya hanya ditujukan untuk Islam. Bahkan kepemimpinan beliau atas kaumnya juga menjadi penarik untuk membesarkan tubuh barisan kaum Muslimin di Madinah, hingga Allah subhanahu wa ta’ala membukakan pintu pertolongan-Nya melalui kaum Anshar.

***

Dalam peristiwa Baiat Aqabah kedua, Sa’ad bin Mu’adz termasuk di antara 73 sahabat yang menyaksikan dan berbaiat kepada Rasulullah ﷺ di bukit Aqabah. Dengan baiat yang diberikan oleh 73 golongan sahabat berpengaruh dari Suku Aus dan Khazraz maka pintu tegaknya Daulah Islam pertama mulai terbuka. Dan Sa’ad bin Mu’adz menjadi salah satu pembuka pintu tersebut, hingga Allah terus memuliakannya dengan Islam.

Sa’ad telah memeluk Islam, memikul tangung jawab itu dengan keberanian dan kesabaran. Ketika menjelang perang Badar, Rasulullah mengumpulkan sahabat-sahabatnya dari golongan Muhajirin dan Anshar untuk bermusyawarah dengan mereka tentang urusan perang.

Rasul bertanya, ‘Bagaimana pendapat kalian?’ Abu Bakar menjawab, ‘Wahai Rasulullah, telah sampai berita kepadaku bahwa mereka (Quraisy) demikian dan demikian’. Kemudian Rasulullah kembali berkhutbah, lalu bertanya lagi, ‘Bagaimana pendapat kalian?’ Umar menjawab sebagaimana jawaban Abu Bakar.

Kemudian beliau berkhutbah dan kembali bertanya, ‘Bagaimana pendapat kalian?’ Ternyata Rasulullah tidak membutuhkan pendapat mereka, tetapi komitmen mereka.

Lalu Sa’ad bin Mu’adz berdiri menghadap Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, sepertinya yang kau inginkan bukanlah musyawarah, tapi yang kau inginkan adalah komitmen dari kami, ya Rasulullah saksikanlah. Kami tidak akan menjadi sebagian dari orang-orang Bani Israil yang berkata kepada Musa, “Pergilah engkau bersama Rabmu, berperanglah, sesungguhnya kami di sini duduk-duduk saja.” (QS. Al-Maidah: 24)

Jikalau engkau perintahkan kepada kami untuk menaiki gunung kami akan ikuti, dan jika engkau perintahkan kami untuk menyeberangi lautan kami akan taati perintahmu ya Rasulullah

Kata-kata Sa’ad itu muncul tak ubah bagai berita gembira, sehingga membuat wajah Rasul pun bersinar-sinar dipenuhi rasa ridha dan bangga serta bahagia. Karena itulah komitmen yang diinginkan dari kaum muslimin. Sebab Rasulullah khawatir mereka di hari penentuan (yaumul furqan) itu melakukan penghianatan dengan melarikan diri.

Baca juga:  Mukjizat Nabi dan Pertolongan Allah

Wafatnya Sa’ad bin Mu’adz

Dalam peristiwa Perang Khandaq atau Perang Ahzab, Kota Madinah dikepung oleh sekutu-sekutu kafir Quraisy. Sa’ad bin Mu’adz turut serta dalam perang yang sangat sulit ini. Dalam perang itu, urat nadi Sa’ad disambar oleh sebuah anak panah orang musyrik, darah pun deras mengalir dari tangannya. Ia dirawat secara darurat untuk menghentikan keluamya darah. Rasulullah ﷺ memerintahkan agar Sa’ad dibawa ke masjid, dan didirikan kemah untuknya agar ia berada di dekat beliau selama perawatan.

Sebulan kemudian lukanya pun bertambah parah. Tidak ada sesuatu yang mengejutkan penghuni kemah bani Ghifar (penghuni masjid) tatkala itu, melainkan darah yang terus mengalir menuju mereka. Mereka bertanya: “Wahai penghuni tenda, apa ini yang mengalir menuju kami dari arah kalian?” Tiba-tiba darah itu mengalir semakin cepat, Rasulullah meraih kepalanya dan menaruhnya di atas pangkuannya, kemudian beliau berdoa kepada Allah, “Ya Allah Sa’ad telah berjihad di jalan-Mu dan telah memenuhi kewajibannya. Maka, terimalah ruhnya dengan sebaik-baiknya, cara Engkau menerima ruh”.

Setelah Rasulullah mendoakan dirinya, Sa’ad bin Mu’adz dengan perlahan-lahan membuka matanya guna melihat wajah Rasulullah selagi dia masih hidup, lalu berkata “Salam atasmu wahai Rasulullah. Ketahuilah bahwa saya mengakui bahwa Anda adalah Rasulullah”. Dan Rasulullah pun menatap matanya dengan kata “Kebahagiaan bagimu, wahai Abu Amr”. Kemudian mata Sa’ad tertutup.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *