Editorial

Kiat Islam Memilih Pemimpin Dunia Akhirat

Simpel namun esensial. Demikianlah Islam menempatkan aktivitas memilih pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.


MuslimahNews, EDITORIAL — Tak ada keriaan, penghamburan dana dan sumber daya, apalagi kekisruhan dan jatuhnya korban jiwa seperti jamak terjadi dalam sistem demokrasi. Yang nampak justru suasana sakral dan spirit pertanggungjawaban atas masa depan Islam dan umatnya. Tak hanya menyangkut urusan dunia, tapi juga akhirat.

Itulah yang bisa kita lihat dari apa yang terjadi sesaat setelah baginda Nabi Saw wafat. Di tengah rasa sedih yang begitu mendalam, para sahabat besar segera berkumpul di Tasqifah Bani Sa’adah untuk memilih seorang pengganti Rasulullah Saw sebagai pemimpin negara.

Mereka bahkan menunda penguburan jasad baginda Rasul Saw selama 3 hari. Hingga melalui musyawarah mufakat antara kaum Anshar dan Muhajirin, terpilihlah Sayyidina Abu Bakar ra secara aklamasi sebagai pengganti Rasulullah Saw.

Maka beliau pun dibaiat oleh umat sebagai Khalifah yang pertama. Lalu atas dasar baiat itu, beliau memimpin umat dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, hingga Allah SWT mewafatkan beliau, setelah di masa-masa sakitnya beliau mengisyaratkan Sayyidina Umar sebagai penggantinya.

Lalu atas dasar isyarat tersebut, kaum Muslimin pun membaiat Sayyidina Umar ra untuk memimpin mereka dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Dan di bawah kepemimpinan beliau yang heroik luar biasa, wilayah kekuasaan Islam pun meluas sedemikian rupa, hingga negara Islam menjadi mercusuar peradaban dan disegani negara-negara adidaya.

Lalu waktupun berlalu. Sesaat sebelum Sayyidina Umar wafat, beliau sempat menunjuk 6 sahabat besar sebagai tim formatur yang bertugas memilih pengganti beliau di antara mereka. Dan di bawah pimpinan Abdurrahman Bin Auf, tim tersebut menjalankan tugasnya untuk memilih pengganti Sayyidina Umar, hingga pilihan mengerucut pada 2 orang di antara mereka; Sayyidina Utsman dan Ali ra. Lalu dengan melibatkan pendapat umat, akhirnya terpilihlah Sayyidina Utsman ra sebagai khalifah pengganti Umar. Dan beliau pun dibaiat oleh umat untuk memimpin mereka dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

Lalu waktu pun berlalu. Sayyidina Utsman ra pun wafat. Kemudian umat secara aklamasi mengangkat dan membaiat sayyidina Ali sebagai Khalifah. Maka atas baiat umat tersebut, beliau pun memimpin mereka dengan bersandar pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

Baca juga:  Pengamat Ungkap 'Perselingkuhan' Rezim dengan Asing dan Aseng

Itulah sekelumit fakta pemilihan para Khulafaur Rasyidin sepeninggal Rasulullah Saw. Fakta-fakta itu menunjukkan banyak hal terkait kepemimpinan. Pertama, tentang urgensi kepemimpinan dalam Islam dan keharaman umat Islam hidup tanpa Khalifah lebih dari 3 hari. Ini bisa dipahami, karena tanpa seorang khalifah, maka akan banyak urusan umat yang terbengkalai, dan akan banyak hukum syara yang tak tertunai. Dan ini dosa.

Kedua, bahwa esensi kepemimpinan dalam Islam adalah sebagai pelaksana hukum-hukum Allah, baik yang termaktub dalam Kitabullah (Alquran) maupun dalam Sunnah Rasulullah Saw. Bahkan dengan itulah seseorang dibaiat sebagai Khalifah bagi kaum Muslim. Dan karenanya pula, sang Khalifah berhak mendapat ketaatan mutlak dari rakyatnya, baik dalam keadaan ridha maupun tidak ridha.

Konsistensi terhadap tugas melaksanakan hukum Allah ini bahkan menjadi penentu apakah kepemimpinan seorang Khalifah layak berlanjut atau diputus. Jika Khalifah bertindak amanah dan konsisten, maka tak ada yang berhak mencabut kepemimpinannya. Namun jika tidak, maka sang Khalifah layak di-impeach. Bukan oleh rakyat, tapi melalui mekanisme peradilan oleh mahkamah khusus yang bernama Mahkamah Madzalim.

Dengan demikian, dalam sistem islam tak perlu ada pesta pemilihan umum secara periodik sebagaimana dalam sistem demokrasi. Yang selain berbiaya tinggi, juga tak pernah menjamin munculnya pemimpin amanah dan siap menjalankan hukum-hukum Allah. Bahkan pemilu berkala ala demokrasi ini faktanya justru menjadi alat untuk melanggengkan sistem sekuler, sekaligus menjadi alat untuk mencegah tampilnya kepemimpinan Islam.

Hal ini dikarenakan, ada perbedaan diametral antara pemilihan pemimpin negara dalam Islam dan dalam sistem sekuler demokrasi. Dalam Islam, pemimpin dipilih untuk menjadi abdi umat dan agama. Tugasnya tak lain mengurus umat dengan menerapkan hukum-hukum syara tadi, baik di dalam negeri, maupun dalam urusan luar negeri (dakwah dan jihad).

Sementara dalam demokrasi, pemimpin dipilih hanya untuk menjadi penguasa dan abdi pengusaha. Tugasnya, melaksanakan Undang-undang yang dirumuskan anggota parlemen, dimana anggota parlemen ini (teorinya) merupakan wakil rakyat, namun faktanya justru terdiri dari para pemilik modal atau orang yang disponsori para pemilik modal.

Baca juga:  Menagih Janji Kedaulatan Pangan

Dalam Islam, landasan memilih pemimpin negara adalah akidah dan hukum syara, bukan kemaslahatan atau manfaat dalam kacamata akal manusia. Dan hal ini nampak nyata dari periode ke periode kepemimpinan para Khulafaur Rasyidin. Bahkan tradisi ini terus berlangsung di masa-masa setelahnya, hingga sistem khilafah terakhir yang berpusat di Turki runtuh pada tahun 1924 di tangan antek Inggeris berdarah yahudi bernama Mustafa Kemal Attaturk.

Dan meski nampak ada berbagai varian teknis pemilihan, namun semuanya tak menghilangkan esensi pengangkatan seorang pemimpin dalam sistem islam. Yakni adanya pemberian baiat dari umat sebagai pemilik hakiki kekuasaan kepada Khalifah yang mereka pilih. Dan baiat ini diikuti dengan kesiapan sang Khalifah untuk menerapkan hukum-hukum syara, mengurus umat dengannya dan mengajak umat untuk taat padanya.

Dengan demikian, jelas bahwa pemilihan pemimpin dalam Islam tak hanya berbicara tentang siapa yang akan menjadi pemimpin, tapi juga tentang dengan apa dia akan memimpin. Artinya, dalam sistem Islam, soal person dan sistem, tak bisa dipisahkan. Keduanya, bak dua sisi mata uang.

Sementara dalam sistem demokrasi, keduanya tak dipentingkan. Bahkan jamak jika seorang kafir bisa dipilih, atau pemimpin muslim yang dipilih, tapi hukum yang ditegakkannya adalah sistem buatan manusia. Padahal sistem kepemimpinan seperti ini jelas diharamkan dalam Islam.

Menyangkut kriteria, para ulama telah merumuskan dari berbagai nash syara yang menyangkut kepemimpinan berupa 7 syarat sah in’iqad yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan diangkat menjadi Khalifah. Syarat tersebut adalah harus seorang muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil (tidak fasiq), merdeka (independen) dan punya kapabilitas untuk memimpin negara. Namun meski tak menyebutkan soal sistem yang akan ditegakkan, sesungguhnya hal ini include dalam ke 7 syarat tersebut, terutama pada syarat adil yang berarti menjalankan hukum-hukum syara, dan pada syarat kapabel, yang diantaranya menyangkut pemahaman terhadap kitabullaah dan sunnah Rasulullah Saw, serta kesiapannya untuk menerapkan secara kaffah dan konsisten.

Ke-7 syarat ini mutlak ada karena demikianlah tuntutan hukum syara. Terlebih pada faktanya, pemimpin dalam Islam memiliki tugas yang sangat berat, tak kenal waktu, dan melingkupi wilayah kepemimpinan yang sangat luas, karena wilayah Khilafah tak mengenal sekat negara sebagaimana dalam konsep nation state, kecuali dibatasi dengan wilayah darul kufur. Sehingga dipastikan, hanya orang yang memenuhi 7 syarat in’iqad inilah, amanah berat seorang Khalifah bisa dipikul dan dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat.

Baca juga:  Kekuasaan Politik Ulama dalam Kubangan Lumpur Sekularisme

Islam juga memandang bahwa jabatan Khilafah tak lebih mulia daripada posisi sebagai rakyat. Khalifah adalah pelaksana hukum syara di level negara, sementara rakyatlah yang mem-backup-nya dengan kewajiban melakukan muhassabah dan amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa. Islam bahkan menjadikan aktivitas muhassabah kepada penguasa (yang zalim) sebagai sebaik-baik aktivitas jihad.

Alaa kulli haalin, jabatan pemimpin umat dalam Islam memang bisa menjadi pedang bermata dua. Membawa kebaikan jika kepemimpinan dijadikan washilah untuk membangun ketaatan. Dan akan menjadi sesalan, jika kepemimpinan justru menjadi washilah kemaksiatan, kekufuran dan penjajahan.

Sayangnya, inilah yang justru nampak telanjang dalam sistem kepemimpinan sekuler demokrasi. Sistem ini hanya berdimensi duniawi dan materi, sehingga dalam masyarakat yang didominasi pemikiran sekuler, kepemimpinan nenjadi hal yang dipeerebutkan. Bahkan untuk meraihnya mereka bisa menghalalkan segala cara.

Itulah kenapa penerapan sistem kepemimpinan ini justru menjadi jalan munculnya berbagai kerusakan, termasuk penguasaan orang-orang kafir atas kekayaan kaum Muslim bahkan atas kemerdekaan diri mereka sendiri. Dan inilah yang sedang dipertontonkan hari ini, termasuk di negeri Muslim terbesar bernama Indonesia.

Karenanya sudah saatnya kepemimpinan yang rusak dan batil ini dicampakkan, dan umat kembali menerapkan sistem kepemimpinan Islam yang terbukti telah membawa kemuliaan selama belasan abad. Caranya adalah dengan melalui proses penyadaran umat dengan ideologi Islam. Karena dengan cara ini, umat akan paham bahwa tak ada kemuliaan selain dengan hidup di bawah naungan hukum-hukum Allah. Dan hanya satu cara mewujudkannya, yakni dengan bejuang menegakkan kembali sistem kepemimpinan Islam, yakni Khilafah Islamiyah yang dijanjikan. Wallaahu a’lam.[]SNA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *