KeluargaPernikahan

Menjadi Suami Istri yang Saling Mendukung Perjuangan Islam

Mari kita menghindari perkara-perkara yang membuat keluarga para aktivis ini menjadi kecil hati. Menjadi tidak bersemangat, bersedih, pesimistis dan sebagainya. Sebab kalau tidak berlaku seperti itu, secara tidak langsung, kita sedang menikam diri sendiri.


Oleh: Abu Rusydan

MuslimahNews.com — Bagaimana agar sebuah rumah tangga bisa harmonis bekerjasama untuk sebuah proyek dan perjuangan besar bernama iqamatuddin? Setidaknya harus ada tiga syarat berikut ini.

(1) Samaahatun Nafs

سَمَاحَةُ النَّفْسِ

Yang pertama adalah apa yang disebut dengan samaahatun nafs. Arti paling mudahnya adalah: kedermawanan hati atau kelapangan dada.

Karena persoalan-persoalan yang kita hadapi dalam perjuangan ini jelas panjang dan berat, langkah pertama kita adalah fokus. Fokus bahwa kita punya persoalan besar. Maka, sebaiknya perkara-perkara yang kecil tidak kita jadikan perkara besar. Itu diperlukan samaahatun nafs. Bagaimana kita ini menjadi pemaaf, baik di dalam lingkungan keluarga, di dalam pergaulan sesama ikhwan atau akhwat atau di dalam pergaulan yang lebih besar lagi.

Misalnya dalam sebuah keluarga, suami merasakan pelayanan yang kurang dari istrinya, atau sebaliknya. Maka, berlapang dadalah. Jangan terlalu sibuk dalam urusan-urusan yang sebenarnya masih bisa ditoleransi. Mengapa? Karena kita menghadapi persoalan yang lebih besar lagi. Yaitu persoalan Iqamatuddin ini.

Yang penting kekurangan-kekurangan itu tidak secara fatal melanggar ketentuan syari’at. Misalnya hanya persoalan-persoalan selera atau hal yang sederhana lainnya. Penampilan suami atau istri yang kurang sedap dipandang, aksesori dan perlengkapan rumah yang kurang, dan lainnya. Untuk persoalan-persoalan sederhana seperti itu, hendaklah berlapang dada. Marilah kita pikirkan persoalan yang jauh lebih besar daripada itu.

Demikian pula misalnya jatah untuk makanan yang berlebih tidak ada. Pakaian cukup satu pasang satu musim hujan, satu pasang untuk musim kemarau misalnya. Kita harus sabar. Karena apa? Sekali lagi, karena kita punya persoalan yang jauh lebih besar daripada hanya sekadar urusan-urusan yang seperti itu.

Baca juga:  Hukum Suami Memukul Istri dalam Islam

(2) Husnut Ta’awun

حُسْنُ التَّعَاوُنِ عَلَى إِقَامَةِ دِيْنِ اللّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Kemudian yang kedua adalah bagaimana ada husnut ta’awun ‘ala iqamatid dinillah ‘azza wa jalla secara umum dan jihad fi sabilillah secara khusus. Ada kerjasama yang baik di dalam keluarga itu dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan iqamatuddin pada umumnya dan al-jihad fi sabililah pada khususnya.

Masing-masing suami istri itu punya harapan kepada pasangannya. Harapan bahwa kehidupan keluarga itu akan harmonis. Tetapi bila ada sedikit yang kurang dari masing-masing pasangan kita, cobalah kita pahami. Yang penting bisa diajak bekerjsama untuk iqamatuddin.

Kalau kita bisa menjadi partner perjuangan, insya Allah bisa menjadi partner sebagai istri atau istri yang baik. Sebab perjuangan kita dijamin Allah SWT. Ini perkara ini penting sekali. Sebab kita menghadapi qadhiyah (masalah) yang lebih besar.

(3) Nasyrul ijaabiyat

الْإيْجَابِيَاتِ وَالسُّكُوْتُ عَنِ الْعُيُوْبِ وَالسَّيِئَةِ

Yaitu bagaimana kita menyebarkan optimisme, perkara-perkara yang positif (ijaabiyaat) dan kita berdiam diri terhadap kelemahan-kelemahan, aib-aib dan perkara-perkara yang buruk.

Mari kita coba sebarkan perkara-perkara positif. Kemudian yang baik dan kita berdiam diri terhadap perkara-perkara yang buruk dan aib-aib.

Mari kita menghindari perkara-perkara yang membuat keluarga para aktivis ini menjadi kecil hati. Menjadi tidak bersemangat, bersedih, pesimistis dan sebagainya. Sebab kalau tidak berlaku seperti itu, secara tidak langsung, kita sedang menikam diri sendiri.[]Kiblat.net

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *